Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Ego Tertidur 50 Tahun Di Hutan Tak Selamat

30 November 2020   00:49 Diperbarui: 30 November 2020   19:08 118 14
23.56 WIB
29 Novembee 2020

Penyakit imsomnia-ku kambuh,  setiap kali. Aku tidur di alam bebas.  Kali ini,  aku dan tiga temanku kemah elit,  glamping, di tepi air terjun Tirta Nadi.  Saat rombongan tidur pulas,  di rumah bilik kayu dengan atap segitiga ala rumah indian.

Aku justru melek,  tak bisa memejamkan mata barang sedetik pun.  Kuputuskan keluar,  menikmati malam yang mengasyikkan, jutaan,  mungkin milyaran bintang menghias langit tanpa cahaya lampu listrik . Sungguh ngarai lembah tepi hutan yang indah.

Setelah berjalan di jalan setapak berbatu,  aku mendekati tapian air terjun. Disitu ada pohon beringin putih besar yang usianya mungkin bukan ratusan tapi ribuan tahun.

Batang pohonnya yang besar,  tiga pelukan orang dewasa, dan batangnya yang demikian tinggi nyaris menyentuh awan.  Membuatku nyaman dan tenang saat menyentuh lalu bersandar di batang kayunya yang berkerak di sana sini.

Begitu kusenderkan tubuhku , melepas penat dan lelah,  tiba tiba aku tertidur pulas. Sepulas pulasnya.

Belum. Pernah aku tidur senyenyak malam itu,  gemericik air terjun,  nyanyian tonggeret tak terdengar lagi.

**

00.10
30 November 2070

Mataku terbuka,  terbangun,  dan langsung terbangun.  Seperti kebiasaanku,  langsung melihat HP yang menyala,  membuka notifikasi media sosial, tapi aku terkejut melihat angka tahun,  saat aku terbangun dini pagi ini. Benarkah ini tahun 2070, berarti aku tidur sudah selama 50 tahun kah?

Kukucek mataku,  kupastikan kembali angka tahan dan waktu terbangun di HP-ku,  benar adanya.  Lalu kucubit tanganku, kutampar pelan mukaku, aku merasa. Sakit,  jelas. Aku sadar dan tidak sedang bermimpi.

Karena masih mengantuk , aku mengarah ke Air Terjun Tirta Nadi,  hendak cuci muka,  aku terkejut, air terjun itu tidak ada. Hutan lebat,  pohon beringin putih raksasa pun tak ada lagi.

Lembah ngarai yang tadinya hijau sekarang gundul,  tanahnya berubah jadi pasir, ya,  semuanya hanya padang pasir disini.  Mataku terkesiap,  batinku goncang. Lalu aku harus kemana?

Tiba tiba datang angin kencang bertiup,  lalu pasir pun berhamburan, menyiram mukaku,  tubuhku,. Ampun.

Angin makin kencang , jadi badai yang membuat lembah yang tadinya hijau indah,  sekarang cokelat pasir sahara. Badai pasir yang mengerikan.  Aku lari kesana kemari,  mencari tempat berlindung.  Mataku perih,  dadaku. Sesak,  sulit bernafas,  pasir dimana mana.

Duk.
Bruk
Dalam kepanikan aku menabrak batu,  lalu tergelincir masuk ke dalam gua karst.  batuan putih,  berkapur, yang licin. Badanku terpelanting, meluncur. Tubuhku terbentur dinding batu alam yang keras,  

Buk !
Kepalaku terbentur  ujung runcing stalaktit gua.  Sakitnya tak terperi. Aku tak sempat memgaduh,  langsung hilang kesadaran. Gelap.  Pingsan...

**

00.28 WIB
30 Novembee 20....

Aku sudah tak berani lagi melihat angka tahun berapa aku terbangun lagi.  Aku pasrah juga takut sebenarnya. Bagaimana bila aku tidak terlempar lebih jauh ke masa depan,  tapi bila justru terlempar mundur ke jaman kuno?

Egoo
Egooo!
Banyak terdengar suara,  suara memanggil namaku, seolah mereka. Memanggilku sebagaimana  dewa sesembahan mereka.

Egoo
Egoo!
Semua memanggil namaku dengan agung dan pemuh puja puji.  Ratusan atau ribuan suku terasing rasanya. Mereka menabuh tambur, terompet dari kerang dan banyak kaki yang menari.

Jujur
aku takut bangun
Aku memilih tidur saja.  Aku berharap bisa terbangun di masaku,  saat awal tertidur.

Suara tetabuhan perkusi batu, kukit hewan,  dan kerang laut terdengat makin membahana, magis dan menenggelamkan nyaliku.
Teriakan pemujaan ribuan warga suku kuno teedengar menggema di tebing batu sekelilingku.

Ego!
Egooooooo?!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun