Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Dan Cinta Itu Ternyata Lucu

2 Agustus 2022   19:18 Diperbarui: 2 Agustus 2022   19:21 571 54


Adegannya seperti ini.

Seorang lelaki setengah berlari, menuju sebuah halte. Di sana tengah berdiri seorang gadis cantik. Menunggu bus datang.

"Kamu Ayu, kan? Yang kerja di gedung perkantoran itu?" Lelaki itu menunjuk ke sebuah arah.

K a m u? Nggak kenal udah berkamu-kamu. Gadis yang disebut Ayu itu tidak mengangguk dan tidak juga mengiyakan. Cowok rese. Biasanya ada maunya. Gadis itu menunjukkan bahasa tubuh yang tak senang.

"Maaf, cuma mau nanya," lelaki itu memelankan suaranya. "Kenal nggak yang namanya Bagus? Dia kerja di gedung itu juga."

Gadis itu memandang sekilas. Menggeleng, pelan.

"Nggak tahu, ya? Padahal, katanya, orang-orang satu gedung itu tahu semua cowok itu. Orangnya baik."

(Masa bodoh).

"Kamu bener-bener nggak tahu cowok itu?"

(Apaan, sih?). "Nggak."

"Mulai sekarang kamu udah tahu. Aku yang namanya Bagus."

Hfuih! Gadis itu tak menyambut uluran tangan si lelaki. Lagu lama!

***

Nama gadis itu, Ayu Dihastuti. Sedang cowok yang mengajak kenalan itu, Bagus Dirgantara.

Bagaimana adegan selanjutnya? Sebaiknya kita dengar penjelasan "aku". "Aku" di sini adalah sosok Ayu yang bercerita. Nanti ada juga "aku" yang lain, Bagus.

Wokeh, siapkan cemilan.

***

Ayu Diahastuti.

Mm, jadi nama cowok itu Bagus. Slengean. Sok pede, sok gentleman,  sok ngerti soal politik, dan segala ngesok lainnya.

Gondrong, baju nggak pernah rapi,   kalau ke kantor pake Vespa butut yang knalpotnya sering meledak. Ups! Astaga, sejak kapan aku memperhatikan cowok itu?

Dasar cowok sialan!

***

Bagus Dirgantara.

Ini pertaruhan gila. Brengseknya, aku menerima tantangan itu.

Sebenarnya bukan hanya soal itu. Aku, sudah 29 tahun. Kakak dan dua adikku sudah menikah. Dan setiap pertemuan keluarga besar, aku selalu menjadi sorotan. Nggak laku-laku. Dikira aku barang dagangan, apa?

Felix, teman sekantorku, pemantik awalnya.

"Namanya Ayu. Dia kerja masih satu gedung ini. Empat lantai di bawah kita, lantai lima," Felix mulai promosi.

"Putri Solo. Tapi anaknya dingin. Banyak teman-teman kita yang mendekati. Tapi kalah duluan sebelum hubungan berlanjut. Kalau kamu bisa deketin dia, dan jadi, aku bantu kateringnya," lanjut Felix.

"Kamu mau bantu biayanya?"

"Nggak. Aku bantu makannya." Felix ngakak.

Dan pertemuan di halte itu (yang memang sudah kurencanakan) adalah poin pertama.

***

Ayu Diahastuti.

Bagus sialan, belakangan ini seperti membayangi diriku. Setiap aku mau masuk kantor, kelihatan sekali ia sedang menungguku. Tersenyum. Menjejeri langkahku.

Bercerita apa saja. Aku tak peduli. Kasihan, Ukraina diserang Rusia. Hadeuh! Apa urusannya?

Tapi kenapa aku berdebar saat satu lift dengannya?

***

Bagus Dirgantara.

Sudah masuk poin kedua.

Sekarang Ayu nggak terlalu jutek. Mau tersenyum saat kusapa, walaupun mungkin sedikit dipaksakan.

Nggak pa pa. Nggak perlu terburu-buru.

***

Ayu Diahastuti.

Gawat! Gawat!

Aku terjerat dengan pesona Bagus? Oh, no! Bukan Ayu namanya kalau mudah takluk dengan cowok brengsek macam Bagus.

Brengsek? Sialan? Ah, rasanya nggak juga. Selama ini rasanya Bagus tak pernah mengucapkan kata-kata, atau tindakan yang kurang sopan. Aku dapat merasakan, saat Bagus berbicara denganku ia seperti menjaga agar aku tak tersinggung.

Eh? Eh ...? Kenapa aku mulai simpati?

***

Ayu Diahastuti.

Pagi ini aku benar-benar panik. Super panik. Bagus menjemputku ke rumah.

Mengusirnya? Mencaci-maki? Nggak. Nggak! Di jalan nanti akan kusemprot habis-habisan.

Tapi, duh, Gusti. Ibuku malah menyambutnya dengan ramah. Entah ilmu apa yang digunakan Bagus. Terdengar tawa-tawa kecil dari Ibu saat Bagus bercerita. Wah, wah, bakal terjadi interogasi tingkat tinggi saat aku pulang kerja nanti.

Belum lagi "ehm, ehm" dari Ken, adik bungsuku.

"Mbak Ayu pinter juga, ya, cari cowok. Ganteng," goda Ken.

"Cowok apaan? Cuma temen. Tempat kerjanya satu gedung dengan Mbak," kilahku. Apakah saat ini Ken menangkap wajahku yang memerah?

"Iya, temen ...." Ken menekankan kata "temen" itu. "Kalau Mbak Ayu nggak mau, kasih ke aku aja." Ken nyengir.

Langsung kulempar dengan bantal.

***

Bagus Dirgantara.

Akhirnya yang kutakuti selama ini terlewati. Ibu Ayu menyambutku ramah. Bahkan, "Memang sudah berapa lama Nak Bagus berhubungan dengan Ayu?" tanya ibu Ayu.

Masuk poin krusial!

Ayu. Ayu kini sudah tak nampak canggung lagi saat berbicara denganku. Ternyata pengetahuannya cukup luas. Dia juga tak ragu lagi berboncengan dengan Vespa bututku.

Dia juga bisa tersenyum dan membalas gurauan temannya, saat kami berdua.

Nonton bareng.

Makan bareng. Kadang dia yang bayar.

Dan, dia sudah berani meninju punggungku saat kugoda. Ah!

***

Ayu Diahastuti.

Tiba-tiba. Tiba-tiba aku sering aku kangen dengan Bagus. Cinta?

Aku senang, berdebar-debar, juga ... takut. Apa Bagus tidak sedang mempermainkanku?

Apalagi, "Bagus itu serius dengan kamu?" tanya Ibu suatu malam.

Tapak tanganku langsung keluar keringat dingin.

***

Bagus Dirgantara.

Sejak pertemuan pertama di halte itu dulu, berarti hubunganku dengan Ayu sudah 8 bulan, 9 hari, dan 19 jam.

Dan ibuku, "Jangan lama-lama. Apa Ibu jodohkan saja kamu dengan Menik, sepupu jauhmu itu?" ancam Ibu.

Ada rasa gentar.

***

Ini adegan terakhir.

Di sebuah bangku taman.

Matahari sore menerobos di sela-sela rerimbun dedaunan. Bagus gelisah, duduk di samping Ayu. Ia mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya.

Ayu tercekat. Kartu undangan?

"Ibuku sudah setuju. Dan aku nggak berani menolak omongan Ibuku. Menurutmu, bagaimana desain kartu undangan ini?"

Ternyata, ternyata ...? Tega benar kamu Bagus, mempermainkan diriku selama ini. Ngilu. Tidak, tidak! Ayu tak ingin menangis di depan lelaki ini.

Dengan perasaan tak karuan Ayu melihat juga kartu undangan itu. Terlihat selintas nama Bagus. Makin perih.

"Cukup menarik." Akhirnya. Memang bagaimana lagi?

Dengan dada bergemuruh Ayu bangkit. "Antar aku pulang!"

Bagus justru menarik tangan Ayu, untuk duduk kembali.

"Lihat baik-baik! Kartu undangan ini belum ada nama calon pengantin perempuannya. Ibuku dan seluruh keluarga besarku setuju kalau namamu yang tercantum di situ."

Ayu terpana.

"Itu kalau kamu mau."

Ayu menatap Bagus. Menggigit-gigit bibirnya. Air matanya yang ditahan-tahannya kini jebol.

"Nggak!"

"Kenapa?"

"Kamu jelek, nyebelin, gondrong, suka telat kalau jemput, ng ...."

"Terus?"

"Aku suka drakor, kamu lebih suka ngoprek motor. Juga ...."

"Apa lagi?"

"Ngangenin."

Ayu tersenyum, menghapus air matanya. Menjambak rambut Bagus.

***

Lebakwana, Agustus 2022


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun