Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Langit Cinta

7 Juni 2016   22:05 Diperbarui: 7 Juni 2016   22:11 87 1
Jangan tulis sebuah puisi cinta untukku, aku tak akan membacanya
Jangan ucap rayuan manis kepadaku, aku tak mau mendengarkannya
Jangan belai rambut bau dan kusutku, aku tak nyaman menerimanya
Jangan beri pelukan yang kau kira dapat menenangkanku, aku tak mampu merasakannya
Jangan berbaik atau berburuk laku dalam menghadapiku, aku tak yakin akan mengingatnya

Aku telah mengatakan segala larangan untukmu, akanku
sejak aku terbangun di sore berawan mendung kala itu
mendapati kepalamu tergeletak di tepi pembaringanku
Matamu setengah terpejam, napasmu laun berburu
Aku menarik selimut, menjauhkan diri darimu, aku tak mengenalmu
Kau terbangun, tergesa berlari meninggalkanku, meloloskan kelegaanku

Mataku menyapu ke seluruh ruangan, menggali petunjuk atau mungkin sebuah inspirasi
Aku mencoba berpikir, tetapi sesuatu dalam diriku menonjok akalku tanpa permisi
Bungkam dan berkedip, tak ada hal lain yang dapat kulakukan selain ini

Kau datang, membawa sosok asing berbeda, yang terlihat rumit
Dia mendekatiku, menyentuh beberapa titik di tubuh kakuku
Aku tak siap, beringsut melipat badan, berteriak tanpa berbunyi
Dia menjauhiku, menepuk pundakmu dan membisikkan sesuatu
Kau menunduk, menggumamkan sesuatu, lalu menghampiri tempatku berbaring

Aku bergidik, menangkap kata-kata asing dalam bisikan hangatmu
Aku mendelik, diam dan menerka adanya kemaknaan dalam setiap ucapmu
Aku melirik, kepada orang asing yang pertama kulihat dalam hidupku, ke arahmu
Aku memekik, resah, membenarkan keyakinan, benar bahwa aku tak mengenalmu

Aku ingin melarikan diri, tapi kau menarik tubuhku ke dalam pelukanmu
Aku terkunci, dan kau kembali membisikkan kata-kata panjang ke telingaku
Aku menjauhkan diri, kulihat setitik air bening meluncur dari mata kirimu
Aku tak lagi menguasai diri, limbung, tenggelam kembali dalam gelap mimpiku

Bagiku, hari itu adalah hari aku dilahirkan
Hari pertama aku berjabat dengan dunia

Kau membawaku pergi dari tempatku terbangun, keesokan paginya
Menurunkanku di sebuah tempat baru, berbau basah dan bernuansa biru

"Laut," katamu

Kusimpan dia, laut
Kata pertama yang kuselipkan dalam kamusku
Lalu siapa aku?
Siapa orang di hadapanku?
Aku bertanya lewat tatapan
Gemas
Gamang

"Kau Rissa. Rissa namamu. Artinya laut, jika kau ingin tahu," tambahmu
Kata-kata terpanjangmu, yang akhirnya kuperhatikan dan kudengarkan

"R.. Ris...Rissa. Ma... Laut," ucapku
Kata-kata pertama yang keluar dari bibirku
Aku tak paham, sudah pasti
"Riss..sa. La...ut," ulangku lagi
Suaraku parau, sepertinya tak mampu kau kenali
Jemariku meremas pegangan kursi beroda yang kududuki

Kau membungkuk, menghadapku, menggenggam lembut jemari tangan kananku
Aku terlonjak, masih tak terbiasa, asing, tak tahu harus bersikap macam apa
"Rissa," kau menggerakkan genggaman tangan kita, menuntunnya ke arahku
Kau melepas genggaman itu, sedikit bergeser, setengah berjongkok, kita bersebelahan
"Laut," katamu, menunjuk permadani biru yang bergeliat dan bergulung di depanku

Aku pun mulai mengerti
Bagaimana cara bermain kata ini
Ini tentang membedakan benda ini dan itu
Ini tentang menamai mereka dengan sesuatu

Aku mengikuti apa yang kau lakukan, ajarkan
Menunjuk diriku, aku menggumam, "Rissa."
Menodongkan tangan kananku ke arah depan, aku setengah berteriak, "Laut."
"Rissa. Laut. Rissa. Laut. Rissa. Laut."
Ucapku berulang-ulang, sembari berolahraga tangan
Tak bosan

Kau tertawa pelan, matamu sayu, mengisyaratkan sesuatu
Aku berhenti mengulang dua kata itu
Diam, lalu aku melemparkan telunjukku ke arahmu
Aku ingin tahu, siapa kau, orang pertama yang menyaksikan kelahiranku

"Aku?" tanyamu, retoris
"Langit," mendaratkan telapak tanganmu ke dadamu
Lalu, kau tunjuk awang-awang di atas ubun-ubunmu
Menarik garis dari atas sana, hingga berhenti ke lini perbatasan
yang memagari dan memisahkan laut dan benda pucat lain di atasnya

Sepertinya aku mengerti maksudmu
Aku mengikuti gerakanmu
"Rissa," menunjuk diriku sendiri
"Laut," meraba dari jauh gemulung ombak yang menari
"Langit," meraih tangan kirimu yang terparkir di pegangan kursi

Kau terlonjak, berdiri, memandangku dengan tatapan yang tak mampu kubaca maknanya
Aku memejamkan mata terkaget, kulepas tanganmu, takut telah berbuat kesalahan

Lembut, sesuatu yang lembut mendarat di kepalaku
Aku membuka sebelah mata, tangan kirimu mengacak rambutku, lembut

"Kau pintar, Rissa. Seperti dulu. Ah, tidak. Selalu," pujimu
Hangat, tetiba angin menghangat menerpa setiap milimeter persegi permukaan kulitku
Ada perasaan asing, menjejal masuk ke dalam pembuluh dan sel di sekujur badanku,
mengalir bersama desiran darah, menghampir, keluar masuk dalam jantungku,
membuatnya berlompatan, lebih liar dari yang pernah aku rasa dan tahu

Berdebar
Kini, aku sudah tahu namanya
Rasa yang tak akan pernah aku lupa
Penanda kali "pertama" kita berkenalan
Rasa yang kekal, lekat selamanya, dalam ingatan

Aku tersenyum
Senyum pertamaku
Direnggut olehmu, karenamu
Dan memang, selamanya, hanya untukmu

"Rissa. Cintaku," ucapmu lembut
Tatapanmu lurus ke arah laut

Cinta?
Aku mengedarkan pandang
Menerka, memilah benda atau raga
Adakah benda yang tengah kau beri nama?
Ataukah kau tengah memperkenalkan sesosok raga?

Cinta?
Ini kata baru
Penglihatanku mulai campang-camping
Namun, tak kunjung kau memberiku petunjuk
Tak juga kau mulai melemparkan telunjuk

"Di sini," kau kembali menyentuh dada
Sepertinya kau sadar, aku bertanya-tanya
Itukah cinta?
Dan aku masih bertanya-tanya
Tak ada sesuatu di sana

"Kau tak akan melihatnya. Rasakanlah," jelasmu

Cinta?
Rasa?
Kepalaku berputar
Kau tertawa
Aku tersesat

"Nanti kau tahu," tambahmu

*****
Sewindu berlalu
Sejak aku terlahir kembali dan disambut olehmu
Sejak aku memberikan larangan untukmu
Sejak kau memperkenalkan laut, langit, dan cinta kepadaku
Sejak aku tersesat dalam pelajaran kata darimu, untukku

Langit,
Aku tengah berdiri
Di depan pusara berbatu

Setengah dasawarsa ini
Kau diam tertanam di dalamnya, kaku

Benar, aku di hadapanmu
Mengelus lembut kepala nisanmu,
sama seperti ketika kau mengelus kepalaku saat itu
Nyamankah?
Bahkan hingga kini,
masih dapat kurasakan sapuan jemarimu di rambutku

Langit,
Aku sudah banyak bicara
Aku lihai mengenali rasa
Aku pandai, seperti yang kau kata

Namun, kau meleset, Langit
Aku tak pandai dalam membacamu
Aku tak paham akan teka-tekimu
Aku tak peka membaca pias wajahmu

Apa kau ingat teka-tekimu?
Aku berhasil mengingatnya, jika kau ingin tahu
Kau mengucapkannya di hari aku terbangun di pembaringanku
Kau membisikkannya dengan lembut, tepat di telingaku
Andai aku dapat memecahkan teka-teki itu tepat waktu
Mungkin aku dapat mempersiapkan pergimu
Andai aku tak terlahir kembali
Mungkin kau tidak akan kelelahan
Andai aku tak pernah lupa
Mungkin kau tidak akan mati kesepian

Akukah pembunuhmu?

Kau pasti menggeleng, Langit
Karena kau terlalu bijaksana
Karena kau terlalu percaya cinta
Karena kau adalah lelaki istimewa
Karena kau adalah Langitku, Langit yang kucinta

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun