Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bola Pilihan

Good or Bad, It is Bola Indonesia - Catatan Tepi 1997/2023

15 Mei 2023   21:28 Diperbarui: 15 Mei 2023   21:33 433 1
Sore itu langit Jakarta cerah, waktu maghrib telah lewat. Hari Sabtu 18 Oktober 1997, sebanyak 110 ribu  manusia tumpah ruah mengisi stadion GBK.

Ini kali kedua stadion Gelora Bung karno dipenuhi manusia sebanyak itu setelah perhelatan pertandingan Persib Bandung dan PSMS Medan 1985 yang diisi hampir 150 ribu manusia penggila bola.

Rezim Soeharto menghelat sukan terakhir Sea games ke-19 di Jakarta. Malam itu Indonesia memupuk asa, menjadi 'The king of football' di Asia tenggara. Indonesia saat itu diambang juara umum Sea Games dan emas sepakbola akan menjadi pencapaian yang hebat dimata rakyat negeri ini dan harus menumbangkan rival sejati pasukan Gajah putih Thailand.

PSSI mengumumkan pertandingan tersebut tidak dikenakan biaya, rakyat bebas datang tanpa harus membeli karcis. Tak heran  saya yang datang satu jam sebelum laga sudah tak mampu menembus gerbang masuk yang dijaga oleh pasukan tentara dan polisi.

Dua orang turis inggris yang sengaja datang bertanya pada seorang perwira polisi menanyakan dimana mereka bisa membeli tiket tepat didepan saya. Polisi itu kemudian mengajak kedua turis mendekat ke gerbang dan mengatakan harga tiket sebesar seratus lima puluh ribu rupiah per-orang. Crazy scam,

Mereka membayar dengan cepat dan uang berpindah tangan ke perwira polisi itu. Saya hendak mencegahnya  karena masih mengekor dibelakang mereka, tetapi hal itu terjadi begitu cepat.

Atas perintah sang perwira, dua orang polisi membuka jalan kami bertiga namun hanya sampai dipelataran dalam saja setelah itu mereka pergi entah kemana dikerumunan penonton yang begitu memadati setiap sudut GBK.

"Tidak ada karcis yang harus dibeli, pertandingan ini gratis untuk siapa saja," jelas saya ketika mereka mencoba mencari polisi yang mengawal mereka semula.

"God Damned...." umpat mereka

Kala itu Indonesia dianggap perkasa, selama babak group tak pernah kalah, hanya ditahan seri oleh Vetnam dipertandingan kedua. Disemifinal mereka menumbangkan kesebelasan Singapura 2-1 dan selanjutnya menghadapi Thailand malam itu dengan percaya diri.

Saya tak dapat memasuki bangku lingkar lapangan stadion, begitu juga dua bule yang terus nekad merangsek masuk. Masa itu Hooligans memang masih menjadi trend di sepakbola inggris dan mungkin mereka sudah terbiasa dengan situasi itu.

Saya baru bisa masuk kedalam stadion setelah babak pertama usai. Kerusuhan sempat terjadi ditribun penonton, tak ada perkelahian tetapi bangku-bangku kayu sengaja dibakar karena penonton kecewa karena kesebelasan Indonesia tertinggal 1 gol dan tak kunjung melesakkan goal balasan ke gawang Thailand. Kerusuhan itu sedikit membuka jalan bagi saya untuk bisa masuk dan duduk dibangku stadion yang masih aman.

Indonesia membalas satu goal lewat kaki Kurniawan Dwi Yulianto tetapi laga berakhir seri dan Thailand memaksa perpanjangan waktu lalu terjadi adu penalti, sesuatu yang tak diinginkan oleh sekian ratus ribu penonton di GBK.

Petasan menggelegar diseantero stadion, botol botol minuman beterbangan dan itulah resiko tontonan gratis di sepakbola, penonton dari latar belakang apa saja bisa memasuki stadion.

Dalam adu penalti, pemain Indonesia kelihatan gamang dan dalam tekanan penonton termasuk saya diantaranya.  

Ujungnya Indonesia kalah 5-3, goal dua pemain Indonesia melambung jauh keatas gawang.  Seluruh pemain apalagi penonton kecewa. Bangku stadion kembali membara. Thailand juara tapi tak berani berpesta lama karena akan memancing kemarahan 110 ribu orang.

Mereka segera bergerak keruang ganti menghindari tekanan penonton yang kecewa , marah dan frustasi.

Thailand adalah rival abadi, bukan Vietnam. Besok Kurniawan dan Bima Sakti akan mengulang sejarah di kamboja. Dulu sebagai pemain dan kini sebagai pelatih, tinggal sejarah nantinya yang akan berjalan seperti apa tak ada yang tahu.

Ada teman yang bertanya kepada saya kenapa masih aja berharap bisa menang lawan Thailand..gak mungkin itu?

Saya cuma jawab dalam hati: "Selama yang main merah putih, saya selalu siap menang dan juga kalah. Untuk itu saya selalu hadir di stadion dimana mereka bermain"

Siap-siap saja, kalah sudah biasa, menang baru luar biasa. Hanya sayangnya saya gak bisa mengulang untuk berada di stadion bersama Timnas Garuda. Phnom Penh Jauuuh....

Yang patut dicatat adalah, mungkin sifat rusuh bisa menurun karena gen. Penonton saat itu yang rusuh hampir seumuran dengan saya yang kini juga punya anak seumuran yang bisa merusuh. Sifat rusuh cuma bisa dihentikan dengan mental siap menang dan siap kalah. Saya juga gak mau menurunkan sifat pesimis untuk sebuah perjuangan yang katanya mustahil, untuk hal apa saja, termasuk sepak bola.

-From the desk of Aryadi Noersaid-

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun