Mohon tunggu...
KOMENTAR
Diary Pilihan

Beban atau Kehormatan Saat Mendapat Tugas Baru dari Pimpinan?

11 Agustus 2021   18:46 Diperbarui: 11 Agustus 2021   19:07 299 5
Bagi sebagian besar bawahan, apabila suatu ketika diberi tugas oleh atasan untuk mengerjakan suatu tugas yang bukan bidang pekerjaan rutinnya, dengan kata lain pekerjaan yang sama sekali sesuatu yang baru, bisa jadi akan muncul dilema. Bahkan perang batin yang tak terhingga.

Apakah akan mampu mengerjakannya sesuai yang diinginkan atasan, atau tidak. Apakah perintah itu merupakan sebuah ujian untuk meningkatkan karir, atau malah justru sebaliknya untuk mencari alasan untuk memecatnya?

Sebagaimana juga yang pernah saya alami beberapa puluh tahun lalu. Ketika sedang meniti karir sebagai seorang wartawan.

Begini kisahnya.

Suatu ketika, di saat rehat setelah menyerahkan naskah berita kepada editor, pesuruh kantor menghampiri saya dengan tergopoh-gopoh.

"Ada apa, Kang?"

"Bapak Pemred meminta untuk datang ke ruangannya."

Sebagai seorang bawahan, mendapat panggilan dari atasan dengan tiba-tiba, dan tanpa tahu apa maksudnya tentu saja beragam pertanyaan pun langsung bermunculan di dalam hati. Bahkan sampai kepikiran juga, jangan-jangan saya telah berbuat kesalahan di dalam pekerjaan. Ya, siapa tahu ada sumber berita yang komplain, misalnya.

Tanpa terasa, langkah kaki saya sudah sampai di depan pintu ruang kerja pimpinan redaksi. Daun pintu pun langsung saya ketuk.

"Masuk!" kata beliau dari dalam.

"Selamat sore, Pak."

"Sore. Silahkan duduk," cetusnya sambil wajahnya diangkat ke arah kursi di seberang meja yang di hadapannya. Tanpa dipersilahkan untuk kedua kalinya, sayapun langsung menduduki kursi itu.

"Barangkali ada masalah apa Bapak memanggil saya?"

"Begini, Mas (Entah mengapa kepada anak buahnya yang berjenis kelamin laki-laki,  beliau selalu memanggil Mas. Tapi bisa jadi karena beliau berasal dari Yogyakarta), sore ini saya harus menghadiri pertemuan di hotel X, sedangkan Tajuk Rencana belum saya kerjakan. Oleh karena itu saya minta tolong kepada Mas untuk mengerjakannya..."

Saya tercekat seketika mendengarnya. Apa tidak salah pimpinan redaksi menyuruh seorang wartawannya untuk menulis Tajuk Rencana? Bukankah ada wakil pimred, atau juga redaktur pelaksana?  Sehingga di kalangan para wartawan muncul anekdot, bahwa Tajuk Rencana merupakan kolom sakral, yang maksudnya hanya oleh orang tertentu saja mengerjakannya.

Tampaknya beliau sudah membaca kecamuk hi dalam hati saya, "Ya, memang seharusnya saya meminta Pak Henhen, atau kalau tidak kepada Pak Anton. Tapi kali ini hati saya lebih cenderung untuk meminta Mas saja untuk mengerjakannya. Apalagi Tajuk Rencana hari ini terkait dengan berita yang Mas tulis. Bagaimana, siap?"

Selama tiga tahun menjadi kuli tinta ( sebutan untuk profesi wartawan di tahun 1980-an masih berlaku), baru kali ini saya mendapatkan tugas untuk menulis suatu hal yang bukan semestinya menjadi tugas wartawan. Lha iya, menulis kolom Tajuk Rencana dimana-mana pun merupakan tugas pimpinan redaksi 'kan?

"Selain itu saya membaca beberapa opini yang pernah Mas tulis, style-nya kok mirip dengan tulisan saya..."

Saya tergelak. Rasa malu spontan datang menyergap. Tapi, "Mungkin karena Bapak termasuk salah seorang penulis yang saya kagumi. Sehingga tanpa disadari lagi saya pun tertular juga karenanya," saya mencoba mengelak dengan upaya membela diri, sekaligus memuji tanpa rasa sungkan lagi.

"Itulah makanya saya memberi tugas ini juga kepada Mas. Pokoknya sebelum deadline, sudah selesai, ya. Di sini saja mengerjakannya, nanti kalau sudah selesai langsung serahkan ke editor. Ayo, Mas, saya tinggal ya?!"

Setelah beliau pergi, untuk sesaat saya tercenung. Apakah akan mampu mengerjakan tugas yang diamanatkan pimpinan, dan sekaligus merupakan pekerjaan yang semestinya dikerjakan langsung oleh beliau?

Di sinilah kiranya tantangan yang harus saya hadapi. Di satu sisi kalau saya berhasil mengerjakannya sesuai dengan yang diharapkan pimpinan, bisa jadi hal itu merupakan suatu kehormatan yang tak terhingga bagi diri saya untuk bisa berkarier lebih baik lagi.

Akan tetapi di sisi lain, kalau saya tidak bisa mengerjakannya, alias gagal, sudah pasti harian ini yang terbit besok pagi tidak akan ada Tajuk Rencana yang biasa hadir pada halaman tiga. Selain itu, kepercayaan pimpinan yang dibebankan kepada saya kali ini, bisa berarti telah saya cederai. Sehingga tidak menutup kemungkinan karir sebagai wartawan di harian ini akan berakhir pula karenanya.

Perang batin seorang bawahan yang diberi tugas tambahan oleh atasan, sebagaimana yang pernah saya alami, apalagi tugas yang diberikan itu merupakan tugas yang bukan keahliannya, bisa jadi pernah dialami juga oleh orang lain.

Dalam kasus seperti yang pernah saya alami, kiranya tantangan seperti itu memang harus disertai dengan rasa percaya diri, juga... Jangan lupa, meskipun hal itu merupakan suatu yang baru, tapi kalau sebelumnya kita sering melihat, mendengar, dan juga mempelajarinya, kenapa tidak mampu?

Sebagaimana juga yang saya alami. Keberhasilan menunaikan tugas yang diembankan pimpinan, ternyata berlanjut untuk di hari kemudian. Saya beberapa kali mendapat tugas serupa, dan dibarengi angkat jempol dari yang memberikan tugas itu. Siapa lagi kalau bukan pimpinan redaksi.***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun