Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Rumah di Dekat Lokalisasi Pelacuran

17 Juli 2012   07:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:53 699 5

Rumah di Dekat Lokalisasi Pelacuran

Oleh: AK Basuki

bukan rumahnya, bukan lokalisasinya...

Pindah ke sebuah rumah kontrakan dekat dengan lokalisasi pelacuran awalnya membuat Daniah berpikir yang bukan-bukan. Walaupun Markuat, suaminya, memang sudah sejak dulu mewanti-wanti dirinya untuk tidak terlalu terpengaruh pandangan negatif kebanyakan orang tentang tempat yang demikian. Terutama orang tua Daniah yang kurang setuju dengan lingkungan rumah itu.

“Contohlah ikan laut. Hidupnya di air asin, tapi dagingnya tidak berasa asin, kan?” kata Markuat menirukan seorang ustad yang dulu sering sekali muncul di televisi dan jadi tempat curhat ibu-ibu tapi setelah ngotot beristri lagi, popularitasnya agak-agak turun itu.

Air asin kan tidak berbahaya buat ikan, pikir Daniah, tapi lingkungan yang seperti ini tentu saja bisa membahayakan buat umat manusia. Bayangkan saja, baru beberapa hari, sudah beberapa orang mengetuk pintu rumah, mengira rumahnya itu sebagai salah satu penyedia layanan esek-esek. Itu belum seberapa. Pernah Daniah sedang nyantai duduk di serambi, ada lelaki, sepertinya mabuk, menegurnya dari luar pagar.

“Mbak, mau beli tempe sama susu dua gelas!” kata lelaki itu dengan ketawa-ketiwi menyebalkan. Daniah awalnya tidak mengerti.

“Maaf, Mas. Sayanya nggak jualan. Masnya salah alamat, mungkin.”

“Lha, itu kelihatan dari sini dagangannya. Nggak usah ditutup-tutupin gitu dong,” kata lelaki itu lagi sambil membuat-gerakan-gerakan yang mesum sambil cengengesan. Astagfirullohaladziim... Sadarlah Daniah dia sedang berhadapan dengan lelaki hidung belang. Asem kecut!

“Dagangan, dagangan... dagangannya Mbokem itu!” bentaknya sewot sambil cepet-cepat masuk ke rumah. Kejadian-kejadian seperti itu justru dijadikannya pelajaran. Sudah kepalang tanggung jika harus merasa tidak betah. Ya terpaksa dibetah-betahkan saja. Asalkan iman dalam hati kuat, tidak akan bermasalah hidup di lingkungan apapun. Apalagi hanya mengontrak, tidak akan selamanya.

Tapi, setelah dilakoni, semakin hari perasaan resah muncul di hatinya. Tahu kenapa? Bukan karena gangguan-gangguan semacam tadi, tapi justru karena kelakuan suaminya yang jadi aneh. Markuat jadi sering pulang malam dan keluar rumah dengan alasan macam-macam. Siapa yang tidak curiga? Ada di rumah pun, minimal bisa 50 kali suaminya itu bolak-balik dalam sehari, keluar-masuk dari halaman ke rumah dan sebaliknya, seperti tidak ingin melewatkan waktu sedikitpun untuk nongkrong di depan rumah melihat ke jalan. Ada saja alasannya. Potong rumput, nyiram tanaman, cuci motor sampai ke alasan yang paling tidak masuk akal, beli rokok. Padahal Daniah tahu sendiri, di rumah kadang sudah numpuk 3 bungkus samsu yang belum disedot.

Daniah akhirnya bisa menyimpulkan sendiri, memang banyak perempuan-perempuan dengan dandanan yang artistik dan minimalis lewat depan rumah. Auranya sangat menggoda dan membangkitkan selera. Rupanya itulah yang diincar suaminya.

“Hayo, nglihatin apa?” sentak Daniah garang suatu ketika saat memergoki mata Markuat sedang jelalatan, kepalanya bergerak-gerak ke kanan dan ke ke kiri mengikuti irama bokong super tembemseorang perempuan genit yang sedang berjalan lewat depan rumah. Seperti tahu kalau Markuat sedang khusyuk menikmati komoditasnya, perempuan itu mengerling lalu pura-pura menjatuhkan dompetnya yang segede kotak amal mesjid dan cara bawanya dikempit di antara ketiak lalu sengaja mengambilnya dengan gaya dramatis dibuat-buat. Tonjolan-tonjolan di tubuhnya semakin ditonjol-tonjolkan. Rok mininya diangkat sampai ke batas yang tidak mungkin bisa diangkat lagi alias sudah pol. Markuat tentu saja langsung menelan ludahnya. Cleguk!

Daniah yang kesal karena tidak digubris akhirnya melampiaskan rasa kesalnya itu dengan membuat konfrontasi. Dibukanya pintu pagar, ancang-ancang dengan sedikit berlari lalu langsung menendang bokong super yang sedang dionyor-onyorkan ke arah suaminya itu sekuat tenaga.

Blugh! Bunyinya senyaring silikon ditabok pakai gebukan kasur dan rasanya bagi Daniah seperti menendang bokong Jeniper Lopes .

Perempuan itu kontan mengaduh. Tubuhnya terjungkal ke depan dan wajahnya menggaruk aspal, lecet dan berdarah.

“Kalau disitunya mau genit, jangan di sini! Bikin enek, tau! Mending kalau daging asli semua,” kata Daniah mencibir sambil berkacak pinggang. Perempuan itu bangkit dan tanpa sungkan langsung balik menyerang Daniah dengan emosi. Terjadilah perkelahian yang tampaknya kurang seimbang karena yang satu kurus kering, dada normal dan pantat rata tapi alami, sementara yang satunya lagi berukuran kebalikannya tapi sebagian memang mengandung silikon. Markuat terkejut dan tentu saja tidak ingin istrinya dilindas oleh kumpulan daging bersilikon itu atau jadi tontonan warga sekitar. Ditariknya Daniah yang telah sempat menonjok mata si perempuan genit dua kali sampai bulu matanya ambrol. Untung bukan silikonnya yang ambrol.

Kejadian sore itu sangat membekas di perasaan Daniah. Pikirnya, jika sampai suaminya pun berani bermata liar di halaman rumahnya sendiri, bagaimana jika di luaran? Apa tidak lebih ngedab-edabi saja kelakuannya? Pikiran itu yang membuat Daniah semakin ketat mengawasi suaminya, terutama jika di rumah. Waktu pulang pun diatur-aturnya. Markuat harus sudah ada di rumah selepas ashar. Jika sudah berada di rumah, tidak boleh keluar-keluar lagi biarpun cuma untuk ke halaman sekalipun. Semua keperluan yang butuh untuk melewati pintu rumah kecuali bekerja, akan dilakukan seluruhnya oleh Daniah.

Markuat stres, merasa disunat kebebasannya. Daniah ngotot, merasa menyunat kebebasan suaminya adalah hak dia sebagai istri untuk menyelamatkan perkawinan. Mereka jadi bertengkar setiap hari. Pisah kamar dilakoni. Rumah jadi mirip kuburan karena sepi dengan konversasi kecuali untuk hal-hal yang perlu saja. Ujung-ujungnya, Markuat sering malas pulang ke rumah. Dia lebih memilih menginap di tempat kawannya sepulang bekerja, atau langsung menuju salah satu rumah di dalam lokalisasi. Minum-minum dan main perempuan. Kadang pulang subuh, kadang langsung ke tempat kerja lagi dari sana.

Daniah merana. Apalagi ketika seorang kawan Markuat yang bersimpati dengannya menceritakan kelakuan Markuat sekarang. Mendidih darahnya. Dengan pikiran yang penuh kemarahan hingga pikirannya gelap, dia mendatangi kompleks lokalisasi setelah tidak ada tanda-tanda Markuat bakalan pulang ke rumah lagi malam itu. Ponselnya tidak bisa dihubungi pula. Dia sekaligus ingin membuktikan cerita kawan Markuat. Dalam keadaan biasa, seorang perempuan seperti Daniah mungkin akan merasa canggung untuk sekedar mendekati kompleks itu, tapi saat itu tidak. Daniah justru mencari suaminya di setiap rumah yang ada di sana. Setiap dia bertanya di depan pintu rumah, perempuan-perempuan genit tertawa, lelaki-lelaki hidung belang justru jahil menggodanya yang kemudian hanya ditanggapi dengan dingin dan ketus.

“Cari suami atau pacarnya, Mbak? Saya juga mau tuh dicariin sama Mbak.”

“Sebentar lagi Mbahmu yang ke sini nyariin kamu wong gigi palsunya kamu pake!”

“Suami sampai minggat ke sini jangan-jangan pelayanan Mbaknya kurang memuaskan di rumah...”

Preeettt...!”

“Mbak, saya kasih dua ratus ribu aja deh buat satu jam... kalau nantinya memuaskan, saya tambah dua ribu lima ratus. Tapi jangan pakai kondom, ya!”

“Kondomnya buat njepret bijimu itu!”

Itu sebagian dan masih banyak lagi kata-kata yang ditebar oleh lelaki-lelaki hidung belang pada Daniah. Jengkel, takut dan jijik, tapi tanpa putus asa dia terus mencari sampai sepertinya semua outlet esek-esek di sana telah didatangi. Hasilnya nihil. Tidak ditemukannya Markuat di sana.

Akhirnya dengan tubuh lelah dan lesu dia memutuskan pulang ke rumah menjelang dini hari. Mudah-mudahan Markuat sudah di rumah, pikirnya. Mudah-mudahan cerita kawan Markuat itu tidak benar dan dia hanya terpengaruh emosi menanggapinya. Markuat hanya sekedar unjuk rasa dengan kecerewetannya yang sok mengatur. Ya, mudah-mudahan semuanya tidak benar. Setelah ini, dia akan mengajak suaminya untuk berbicara dari hati ke hati. Selama ini mereka hanya mengedepankan emosi sampai-sampai lupa bahwa dalam satu lembaga kecil bernama keluarga, dibutuhkan komunikasi dan rasa percaya untuk menghadapi masalah yang sekiranya akan muncul. Riak-riak pasti ada dalam perjalanan mengarungi samudera luas menuju kebahagiaan keluarga yang sejati, tapi perlu pengelolaan hati, dilandasi rasa saling mencintai, agar riak-riak itu tidak akan menjadi gelombang yang dapat menghancurkan bahtera yang mereka tumpangi.

Mereka pasti bisa. Berpikir seperti itu, Daniah jadi lebih tenang.

Tapi betapa terkejutnya ketika dia sampai di depan rumah. Dipergokinya seorang perempuan bepakaian minimalis baru saja menutup pintu pagar dan melenggang keluar. Mereka berpapasan dan si perempuan yang kemudian Daniah kenali sebagai perempuan genit yang pernah dia tendang bokongnya itu tertawa mengejek, sengaja menabrakkan bahunya ke bahu Daniah. Daniah hanya bisa tertegun.

Seperti mimpi dia berjalan masuk ke rumah, mengunci pintu, melalui ruang tamu, berakhir di depan pintu kamar. Dari sana bisa dilihatnya Markuat tertidur telentang di atas ranjang. Telanjang. Sepertinya mabuk. Siapapun bisa menduga apa yang baru saja terjadi di antara suaminya dan perempuan genit tadi. Hati Daniah hancur berkeping-keping. Rasanya seperti langit-langit rumah telah ambrol di atas kepalanya sehingga akal dan pikirannya jadi kosong.

Lama dia memandangi tubuh suaminya itu tanpa ekspresi yang sepatutnya dilakukan oleh perempuan yang disakiti suami sebelum lalu bergerak mengambil gunting dalam salah satu laci bufet...

Sepertinya akan ada potong memotong daging lagi seperti dalam cerpen picisan trio Ramdhani Nur, Mamar Abdurrahman dan AK Basuki yang pernah dibacanya, pikir Daniah sebelum guntingnya bergerak.

Cigugur, 17 Juli 2012

- bukan sekali duduk karena duduknya bukan sekali

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun