Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Sebuah Akhir Pembelajaran Online

23 Februari 2021   09:01 Diperbarui: 23 Februari 2021   09:05 210 26
Dimulai dengan corona datang menghantam. Pembelejaran pindah haluan. Ketakutan penularan menyebabkan clusster baru berimbas pada pembelajaran jarak jauh.

Berbagai inovasi yang dilancarkan oleh kemendikbud, kepala daerah, hingga ke kepala sekolah tujuan akhirnya adalah bagaimana siswa tetap dapat berlajar seperti biasa.

Teringat istilah belajar yang artinya perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang diperkuat. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respons.

Tak mengherankan ketika google classroom manjadi salah satu alternatif yang paling gampang untuk digunakan. Mayoritas memang menggunakan aplikasi itu. Apa yang terjadi kemudian?

Sebelumnya, gegap gempita pelatihan online, webinar, dan sejenisnya hampir memenuhi kepala guru. Semangat membara, mereka berharap mendapatkan pengetahuan dan leterampilan baru dalam pembelajaran jarak jauh tersebut. Apalagi dengan sertifikat yang dihargai untuk kenaikan pangkat.

Ternyata sertifikat, pengetahuan, dan keterampilan saja tak cukup. Satu hal yang mendasar yanh hampir terlupakan. Kontinuitas, bahasa lumrahnya istiqomah. Begitulah kira-kira.

Satu dua pertemuan, sebagian besar guru masih bersemangat dengan ilmu dan keterampilan yang diperolah dari macam-macam webinar inovasi pebelajaran. Maka akun-akun baru di youtube bermunculan. Apalagi kalau bukan mengunggah video pembelajaran.

Sampai kapan bertahannya? Merasa bahwa video yang telah dibuat tak semenarik apa yang sudah berseliweran di laman youtube. Akhirnya kepincut juga, lebih baik mengambil yang sudah ada daripada membuat sendiri.

Waktu yang panjang untuk memproses sebuah video menjadi layak tonton memang memerlukan ketelatenan dan kemauan yang keras. Tidak hanya sekedar jadi. Jika itu terjadi pastilah siswa akaj bosan juga akhirnya. Mereka lebih tertarik pada video youtube lainnya.

Menganggap bahwa pembelajaran menggunakan video paling keren, perlahan-lahan powerpoint ditinggalkan. Apalagi kalau hanya screnshot halaman catatan. Pasti dianggap ketinggalan zaman.

Sementara guru berkuah keringat mengetengahkan model pembelajaran yang benar-benar merupakan hal baru, pandangan sebagian kepala sekolah bahwa jika guru tidak hadir ke sekolah seperti biasa dianggap belum maksimal bekerja.

Demikian juga pengasan pembina sekolah, dinas,  dan yang terkait yang akhirnya agar guru melaksakan tugasnya, segala macam isian online dengan alasan pembinaan, supervisi, pemantauan bertumpuk-tumpuk diberikan.

Secara logika memang masuk akal, bukti apalagi yang paling layak dijadikan dokumen selain isian online tersebut. Tentu saja ada benarnya juga pendapat ini.

Di lain pihak, orangtua yang mau tidak mai harus mendampingi anaknya belajar terutama jenjang SMP ke bawah, keluhan siswa pasti sama. Gurunya tidak menjelaskan, yang ada hanya powerpoint atau video saja. Bagaimana bisa kami menyerap pelajaran. Keluhan semacam ini sering dialamatkan kepada guru saat berkunjung atau berpapasan.

Apalagi beberapa waktu lalu, perubahan email baru teruntuk kepala sekolah, guru, dan siswa yang sebelumnya pembelajaran telah berjalan menjadi terkendala. Banyak siswa yang kebingungan dengaj akun google classroom dengan email baru.

Akhirnya satu persatu laporan masuk, bahwa classroomnya tidak bisa dibuka, dan seterusnya.

Semester genap telah berjalan hampir dua bulan, kelelahan guru, siswa, dan orang tua sepertinya mulai terlihat. Guru yang antusian memproduksi konten pembelajaran perlahan-lahan lebih memilih youtube sebagai sumber belajar untuk siswanya.

Siswa yang mulanya rajin mengisi daftar hadir setiap ada proses pembelajaran mulai satu persatu enggan. Demikian juga orangtua siswa, selain membimbing anaknya belajar mereka juga harus memenuhi kebutuhan keluarganya dan hal lain urusan rumah tangga.

Tiga kompenen penting pembelajaran telah sama-sama menahan lelah, guru dengan inovasi pembelajarannya, siswa dengan monotonnya pembelajaran, serta orangtua yang juga harus menyelesaikan urusan rumah tangga yang lain.

Kita tentu saja tidak akan selesai dengan saling menyalahkan, pemerintah yang dianggap lambat menangangi masalah corona, kementrian yang belum memberikan jalan keluar atas masalah berbagai komponen pembelajaran, guru yang kurang semangat dalam inovatif, dan seabreg keluhan lainnya.

Sampai-sampai anak saya yang kini kelas 12 SMA berkata, "Gurunya kasihan, siswanya kasihan, orangtua apalagi. Tidak ada yang layak dipersalahkan."

Saya sempat tercengan dan kemudian memikirkan, bagaimana akhir pembelakaran jarak jauh di masa yang akan datang.

Beberapa siswa yang kebetulan bertemu ketika saya mancing mengatakan, "Daripada belajar lewbelat youtube, mending mendulang (membantu orangtua mencari emas), mancing, atau berjualan."

Esok atau lusa memang tak bisa diprediksi apa yang akan terjadi. Yang jelas, bagaimana pun kondisinya, guru sebagai orang terdepan dalam pembelajaran jarak jauh harus kembali menata diri. Menahan keringat dan menyembunyikan lelah. Pembelajaran harus tetap berjalan.

Kita semua tentu saja berharap corona segera sirna. Hingga pada suatu saat nanti kembali proses belajar mengajar tatap muka seperti biasa terjadi mungkinkah? Mari kita berdoa.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun