Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kitorang Su Dapat Sinyal, Jendral! (1)

23 Mei 2012   05:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:56 409 2
Cerita usaha pencarian sinyal ini mungkin cukup panjang, agar tidak ahistoris, aku ingin menuliskannya sesuai dengan kronologis.

Gara-gara galau di atas sebuah pulau

17 Juni 2011

Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Kampung Tarak, Distrik Karas, Kab. Fakfak, Papua Barat, sebuah kampung yang dipasangkan denganku selama bertugas sebagai pengajar muda Gerakan Indonesia Mengajar.

Sesuai SOP Pengajar Muda, aku harus membuat baseline assessment tentang keadaan sekolah dan kampung di awal penempatan. Hasilnya, 13 hal kutemukan masih perlu digarap di tanah tempatku berdiri. Kehidupan di pulau yang menjadi daerah penempatanku laksana hutan lebat, terlalu banyak kekosongan yang harus diisi oleh berbagai program di sini. Namun saya tergelitik dengan 2 hal yang menjadi jembatan untuk program lainnya, transportasi dan komunikasi.

Kenapa saya tertarik dengan dua hal tersebut?

Dua bidang inilah yang menurutku menjadi determinan kemajuan di daerah, terutama kepulauan. Jika transportasi sudah lancar, maka mobilisasi barang dan jasa, terlebih manusia, akan berjalan lebih cepat. Sektor-sektor lain akan bergerak juga mengiringi perkembangan ini (multipplier effect).

Kemudian jika komunikasi sudah bisa di akses, maka arus pertukaran informasi juga akan lebih up-to date. Biarpun hidup di pulau, tetapi perkembangan tentang dunia pendidikan, kesehatan, pemerintahan, ekonomi, maupun bidang lainnya tidak ketinggalan.

Saat kutanya beberapa tokoh masyarakat tentang dua hal yang kusebutkan terakhir, jawaban mereka adalah “Ibarat kitorang teriak, itu sampai tenggorokan mau pecah. Sampai sekarang belum ada tanggapan atas usulan masyarakat”.

Perih membayangkan mereka bertahun-tahun hidup dalam keadaan seperti ini. Hidup di daerah kepulauan rupanya memiliki seribu satu hambatan untuk berkembang. Namun dengan usaha yang tak mau putus, mematikan rasa mengeluh dan menyalahkan, dan lebih mengutamakan katamelakukan”,aku beranikan diri untuk membujuk masyarakat. “Bapak, kalau kitorang usaha, pasti ada jalannya. Mari kitorang coba sama-sama”.

Gelap tanpa listrik, jauh dari kota dan tidak ada perahu reguler, ditambah tidak bisa berkomunikasi dengan pihak luar, adalah situasi yang kuhadapi saat hari-hari pertama di sini. Galau di atas sebuah pulau. Hanya berdiskusi di bawah remang cahaya pelita, mengintip sinar bintang, dan menikmati suara debur ombak Laut Seram. Pikiran pun terbang ke awang-awang.

Sejuta pikiran yang menyerbu otakku. Namun ada hal yang menyudut, meruncingkan imajinasi, dan mengerucutkan pikiran. Yang kupikirkan adalah bagaimana caranya kampung dan masyarakat di sini mendapat akses komunikasi yang lebih mudah. Itulah mimpiku, bermula dari ketiadaan, tanpa kutahu akan berlari kemana mimpi ini akan dilabuhkan.

29 Juni 2011

Seperti yang kuceritakan di tulisan bersejarah “Sinyal itu mahal, Jendral”, kala itu aku diajak ke pusat kecamatan (menyeberang di laut sekitar 1 jam) bermaksud untuk mencari sinyal barang 1 bar untuk menghubungi aparat keamanan Papua, mengabarkan bahwa aku sudah selamat sampai di kampung penempatan. Hari itu juga aku bertujuan menghubungi emakku di Jawa, emak pasti sangat khawatir karena hampir 2 minggu aku tak memberi kabar setelah kabar terakhir aku pamit untuk menyeberang.

Khayalan manisku musnah saat berkali-kali mengecek handphone namun tak muncul satu provider pun di pusat kecamatan. Mimpi indahku lenyap. Apa daya, sinyal seperempat bar saja tara da.

Sepulang dari pusat kecamatan itulah saya menulis di log-book Indonesia Mengajar, dengan judul “Sinyal Itu Mahal, Jendral!”.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun