Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money Pilihan

Menggenjot Penyelesaian Perjanjian Internasional

4 Juli 2019   13:30 Diperbarui: 4 Juli 2019   13:39 17 0
Menjajaki ekspor saja tidak mudah, apalagi membuka akses pasar bebas hambatan. Pekerjaan yang sungguh sulit, namun mesti ditempuh jua demi meningkatkan kinerja ekspor nasional. Tiga tahun belakangan, Indonesia ngebut memulai sekaligus menyelesaikan berbagai perjanjian perdagangan dengan negara-negara mitra.

Saat mendengar kabar ihwal perusahaan berskala UKM berhasil ekspor, netizen meresponnya dengan pujian. Tak sedikit pula yang balik bertanya mengapa volumenya kecil, atau kenapa hanya produk tertentu yang diekspor. Seolah-olah mengekspor barang sama saja seperti menjual sayur di pasar.

Jangan bayangkan ekspor mobil semudah transaksi di dealer, pemilik showroom ibarat Indonesia dan pembelinya adalah konsumen di negara tujuan. Tertarik, lalu beli, kemudian barang dikirim malam itu juga. Tidak seperti itu!

Bayangkan betapa rumit birokrasi pengiriman barang dari luar negeri ke Indonesia. Perhatikan harga produk impor yang dijual secara resmi di retail modern. Ingatlah syarat apa saja yang diterapkan Bea Cukai atas barang yang hendak kita bawa pulang usai jalan-jalan dari Hongkong atau Kuala Lumpur. Merepotkan? Tentu saja! Tapi semua aturan yang berlaku, diterapkan bukan tanpa alasan.

Semua negara memberlakukan aturan yang berbeda untuk mengatur peredaran barang impor di pasar dalam negeri. Tujuannya sama, yaitu untuk melindungi konsumen dan produsen. Pemerintah bertugas mengatur ini semua. Memastikan kebutuhan konsumen tercukupi, di saat yang bersamaan melindungi pangsa pasar bagi produsen agar tak diembat barang impor.

Bagi perlindungan konsumen, syarat umum yang ditetapkan adalah SNI (Standar Nasional Indonesia). Semua barang yang didatangkan dari luar negeri, harus memenuhi baku mutu SNI. Jika produknya berupa makanan segar, perlu diuji keamanannya di balai karantina, ada pula yang mesti diuji di laboratorium. Pokoknya, jangan sampai membahayakan konsumen.

Sedangkan bagi produsen. Sebelum mengizinkan importasi, pemerintah menimbang-nimbang tingkat kebutuhan, permintaan pasar, sekaligus stok yang tersedia. Jika produsen dalam negeri tidak mampu memenuhi permintaan, maka keran impor dibuka. Biasanya, hanya barang-barang tertentu yang tidak diproduksi di dalam negeri pun didatangkan dari luar.

Percayalah, semua negara menerapkan konsep yang sama. Ini belum termasuk bea masuk yang harus dibayar eksportir. Bea masuk boleh kita artikan sebagai uang setoran pedagang kepada pemilik pasar. Inilah mengapa barang impor yang kita temui di retail modern, harganya selangit.

Aturan yang bersifat protektif terhadap pasar, adalah kendala yang bakal menghambat ekspor. Inilah yang hendak dihilangkan oleh pemerintah melalui perjanjian perdagangan. Negara-negara yang berkepentingan saling merundingkan aturan. Menentukan pos mana yang bisa dikurangi bea masuknya, mana yang tidak. Produk dan sektor industri mana yang memungkinkan untuk diberi keringanan.

Kesepakatan yang diambil untuk sektor perikanan, tak bakal sama dengan sektor pertanian. Begitu pula dengan ekspor dari sektor manufaktur, tak bakal sama dengan ekspor sektor UKM. Semua dipertimbangkan sesuai kebutuhan masing-masing.

Tak jarang proses perundingan ini memakan waktu hingga bertahun-tahun. Sebab semua negara yang terlibat, punya kepentingan yang harus dilindungi. Mereka tak sembarangan membuat kesepakatan. Jika tak menguntungkan produsen dan konsumennya di tanah air masing-masing. Bisa dijamin, perundingan itu tak bakal selesai-selesai!

URGENSI PEMBUKAAN AKSES PASAR
Ada 11 perjanjian yang tengah diselesaikan Indonesia dengan beberapa negara mitranya. Diantaranya dengan Uni Eropa, Mozambik, Tunisia, Maroko, Tukri, Mesir, dan RCEP. Jika kita amati, banyak negara-negara kawasan Afrika dalam daftar itu. Untuk apa Indonesia membuka akses pasar di sana?

Jawabannya adalah untuk menambah negara tujuan ekspor. Semakin banyak tujuan, semakin baik. Kita sudah pernah---bahkan masih---merasakan ketergantungan pada satu produk, ataupun satu negara utama. Kinerja ekspor bakal gonjang-ganjing saat negara tujuan sedang bermasalah, atau saat harga komoditas dunia tengah anjlok. Seperti minyak bumi dan batu bara.

Sampai saat ini Indonesia mengandalkan CPO dan batu bara untuk menopang kinerja ekspor nasional. Saking besarnya volume ekspor kedua itu, kontribusanya bisa mencapai belasan persen dari total ekspor nasional.

Demikian juga dengan negara tujuan utama. Pada Mei 2019, BPS mencatat Indonesia masih langganan ekspor ke Amerika Serikat, Tiongkok, dan Jepang. Masing-masing senilai US$1,63 miliar, US$2,08 miliar, dan US$1,06 miliar.  

Ekspor ke Tiongkok berkontribusi 15,13% terhadap total ekspor nasional. Sedangkan Amerika Serikat dan Jepang masing-masing menyumbang 11,49% dan 8,98%. Jika ketiganya ditotal, maka kita mendapatkan angka 37,17%. Ya, sebesar itulah ekspor ke ketiga negara itu berperan pada kinerja ekspor Indonesia. Sejak dulu, hingga kini.

Ekspor ke negara-negara lain, belum berkontribusi besar. Dari laporan BPS, beberapa negara di Eropa dan ASEAN masuk dalam daftar tujuan ekspor dengan volume dan nilai yang tinggi. Bisa kita bayangkan, betapa kecil nilai ekspor kita ke negara-negara di kawasan Afrika dan Amerika Latin.

Apakah pasarnya tidak potensial? Apakah tidak ada produk yang bisa diekspor besar-besaran ke tempat lain selain AS, Tiongkok, dan Jepang? Tentu saja ada. Namun kita perlu jeli mencarinya. Sekaligus ulet mencari produk potensial apa yang bisa dikembangkan, lantas dicarikan pangsa pasar permanen di negara-negara lain.

Inilah mengapa, Kemendag begitu rajin---hingga nyaris ngegas---membuka akses pasar perdagangan tanpa hambatan di Afrika dan Amerika Latin. Supaya eksportir Indonesia punya tempat baru untuk menjual barangnya, supaya produsen dalam negeri terpacu memproduksi barang yang dibutuhkan negara lain. Tidak melulu mengandalkan konsumen di negara utama, dan tidak keenakan menjagokan CPO serta batu bara.

Kita sudah merasakan repotnya imbas perang dagang terhadap kelancaran ekspor ke Amerika Serikat. Gara-gara dengki dengan pertumbuhan Tiongkok, Amerika mendeklarasikan banyak larangan. Menerbitkan blacklist, bahkan mengevaluasi kembali pemberian GSP (Generalyzed System of Preference) yang selama ini meringankan beban bea masuk eksportir baja.

Bayangkan saja jika seterusnya Indonesia bergantung pada pasar Amerika dan Tiongkok. Sedikit saja keduanya bermasalah, kontribusi belasan persen pada kinerja ekspor nasional bakal terganggu.

Perjanjian perdagangan tidak akan berdampak seketika begitu diterapkan. Para eksportir dari semua pihak perlu saling mengkaji potensi dan mempelajari kebutuhan konsumen sebelum mengembangkan ekspor di pasar negara lain. Tapi setidaknya, dengan adanya pemangkasan bea masuk pada berbagai pos tarif, eksportir sudah selangkah lebih maju. Tak repot memikirkan biaya untuk membayar bea masuk yang mahal.

Mungkin perjanjian perdagangan bakal berdampak pada efektifitas dan efisiensi ekspor setelah bertahun-tahun diterapkan. Namun mengembangkan ekspor nasional memang seperti itu. Kerja keras sekarang, untuk menikmati hasil di kemudian hari.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun