Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Mudik Horor (Bab 3)

24 Juli 2021   12:39 Diperbarui: 24 Juli 2021   13:09 316 1
(Bab 3: Suara Misterius)

Link Bab 2


Sekarang aku yang menjadi navigator. Google map ku-seting tanpa suara. Sebenarnya aku sudah tidak mau menggunakannya lagi. Trauma sejak mendengar suara naratornya yang menakutkan tadi.


Namun, tak ada pilihan. Hanya aplikasi itu satu-satunya yang bisa menjadi penunjuk jalan bagi kami saat ini. Kami berada di persawangan. Sama sekali tidak ada tempat bertanya. Jadi, mau tidak mau, tetap harus mengandalkan google map. Hanya saja, suaranya memang harus kumatikan. Aku tak ingin istri nantinya juga ketakutan andai suara menakutkan narator itu muncul lagi.


"Jalan aja terus, Bun. Tetap tenang ya. Sepertinya kita agak nyasar nih. Perkiraan kita tadi yang ancar-ancarnya sudah harus sampai di Muara Enim sekitar pukul sembilan atau sepuluh, kayaknya agak meleset."


"Berdasarkan google map, posisi kita sekarang berada di tengah-tengah. Dari sini kita bisa tetap menuju Muara Enim seperti rencana semula, tapi bisa juga menuju Prabumulih, dan dari Prabumulih bisa tembus ke Palembang. Kalau kita pilih arah Prabumulih, dan terus ke Palembang, otomatis rute kita berubah. Tidak lewat lintas tengah lagi, tapi lintas timur. Gimana menurut Bunda?"


Sekali lagi, aku berusaha menetralisir situasi supaya istri tidak panik. Aku ajak istri berdiskusi sesantai mungkin. Padahal, dalam hati aku sangat khawatir dengan situasi yang sedang kami hadapi.


"Baiknya kita tetap sesuai rencana semula aja, Yah. Kalau kita beralih ke rute lintas timur, sepertinya kita rugi waku, deh. Tapi, ya terserah Ayah aja lah. Mungkin Ayah bisa telpon teman yang paham dengan daerah ini. Minta pertimbangan. Kan teman-teman Ayah banyak yang Polhut, tuh. Barangkali ada yang bertugas di daerah sekitar sini. Pasti dia tahu situasi dan bisa memberi pertimbangan yang tepat untuk kita."


'Hmm, benar juga.' Aku teringat seorang teman yang memang seorang Polhut dan bertugas di Balai Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera dan berdomisili di Palembang. Pastinya dia tahu kondisi kawasan hutan di sekitar daerah Baturaja, Prabumulih, dan Muara Enim, ini.


Segera kucari nomor HP sang teman di daftar kontak, kemudian menelponnya. Berulang-ulang telponku tersambung, tapi tidak diangkat.


"Nggak diangkat, Bun. Udah terlalu malam. Mungkin dia udah tidur dan HP nya silent. Atau bisa jadi sedang khusyu' tadarusan iktikaf di mesjid. Kan ini sudah sepuluh hari terakhir Ramadhan. Udah, kita lanjut saja sesuai rencana semula. Ikuti panduan google map."


Akhirnya aku mengambil keputusan. Sebuah keputusan yang aku sendiri sebenarnya tidak terlalu yakin. Tapi aku tetap berusaha seolah yakin. Aku harus terus memberikan ketenangan pada istri. Akan jauh lebih berat perjalanan jika ditambah pula dengan kondisi kejiwaan istri yang diliputi rasa takut. Oleh karena itu, aku merasa harus mampu menanggung segala rasa khawatir ini seorang diri.


Selang tiga puluh menit setelah istri mengambil alih setir tadi, aku lihat google map mengarahkan untuk belok kanan.


"Belok kanan lima puluh meter lagi, ya, Bun."


Istri membelokkan mobil sesuai arahanku. Awal-awal setelah berbelok, kondisi jalanan masih relatif sama dengan jalan sebelumnya, aspal yang relatif bagus. Namun, makin lama kondisi jalan makin buruk.


Lima belas menit setelah belok kanan tadi, kondisi jalanan sudah tidak beraspal. Hanya jalan tanah dengan pengerasan batu-batu kali.


"Duh, kok jalannya makin sempit dan jelek, nih, Yah? Masih jauh, ya?" Istri tampak mulai gelisah.


"Jalan aja terus, Bun. Arahnya sudah benar kok. Jaraknya masih sekitar lima puluh kilo lagi. Tapi beberapa kilo lagi kita akan kembali ketemu jalan besar."


Aku masih berusaha berkata-kata dengan tenang, meski dalam hati sudah sangat ketar-ketir. Aku lirik speedo meter untuk melihat indikator bahan bakar. Aku sedikit tenang karena petak indikator masih berada pada posisi full. Setidaknya kami tidak akan kehabisan bensin.


Ketika aku sedang sibuk menekuri HP memperhatikan peta, tiba-tiba istri mengerem dan mobil berhenti.


"Ada apa, Bun?"


"Di depan, jalan sepertinya berlumpur, Yah."


Aku longok ke depan. Benar ternyata. Setengah dari badan jalan itu berlumpur.


"Lanjut aja, Bun. Lewati bagian yang tidak berlumpur."


Mobil kami terus melaju. Tapi, tak berapa lama kemudian, kembali berhenti. Di depan kembali ada jalan berlumpur. Bahkan lebih parah dari pada yang tadi. Hanya tersisa sedikit badan jalan yang tidak berlumpur.


"Aduh, gimana ni, Yah? Kok tambah parah aja, nih?"


"Tenang, Bun. Terus aja jalan. Turun sedikit ke bahu jalan, hindari lumpur. Kita harus terus, sampai ketemu lagi dengan jalan utama."


Tak bisa ditutupi lagi, kata-kataku mulai jelas bernada khawatir. Perasaan semakin tidak enak.


Dengan was-was istri menjalankan mobil perlahan dan sedikit turun dari badan jalan.


Setelah berhasil melewatinya, mobil kembali berjalan normal. Namun, tidak lama. Karena di hadapan kembali ada bagian jalan berlumpur.


Kali ini keseluruhan badan jalan yang tertutup lumpur. Kira-kira lima belas meter panjangnya jalanan berlumpur itu.


Sementara kiri dan kanan jalan ada gundukan tanah yang ditumbuhi semak yang sangat rapat dan tinggi. Tidak mungkin dilewati mobil.


"Ini tidak mungkin dilewati, Bun. Tidak ada sedikitpun badan jalan yang keras. Semuanya berlumpur. Kalau nekat melewatinya, bisa terjebak kita. Ban mobil hanya akan berputar-putar di tempat. Tidak bisa maju maupun mundur. Jalan berlumpur seperti itu hanya bisa dilewati mobil double gardan."


"Aduh, jadi, gimana dong, Yah? Apa kita harus balik lagi? Kan jalan besar udah dekat. Kita coba saja lewati lumpur ini. Sepertinya lumpur itu tidak terlalu dalam. Masih bisa dilewati kayaknya."


"Jangan, Bun. Iya kalau bisa lewat, kalau kita nyangkut di situ, gimana? Sampai pagi kita akan terjebak di sini."


Di tengah perdebatan itu, tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara dari jok belakang.


"Ayah, Bunda, jangan lewat sana!"


Suara anak kedua kami terdengar lantang.


Sontak kami menoleh ke belakang. Kami semakin terkejut, karena ketiga anak kami terlihat masih tertidur pulas.


Benarkah itu tadi suara si tengah? Jika iya, apakah dia berteriak dalam keadaan masih tertidur? Atau, itu bukan suara dia? Lantas, suara siapa? Kami merinding.


-Bersambung-

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun