Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Kasih Tak Sampai (Dear God)

24 Juni 2021   16:43 Diperbarui: 24 Juni 2021   16:50 145 2
Sebagai gadis desa, aku sangat kikuk bergaul di kampus ternama di ibu kota provinsi ini. Aku merasa tidak punya modal apa-apa untuk bisa diterima dalam pergaulan.

Aku lihat mereka, semua sudah mengidentifikasi diri dan hanya bergaul dengan sesamanya. Si cantik berkelompok dengan sesama cantik, si modis hanya bergaul dengan sesama modis, si kaya pun demikian. Tak satu pun rasanya di antara kelompok pergaulan itu bisa ku masuki.

Alhasil, aku menjadi seorang penyendiri. Tak punya teman sama sekali. Aku benar-benar "kupu-kupu", kuliah pulang-kuliah pulang.

Aku tak pernah kesulitan mengikuti mata kuliah apapun. Meski anak desa, aku cukup pintar. Aku hanya kesulitan bergaul. Rasa minder membuatku semakin jauh menarik diri dari pergaulan. Bahkan aku tak berani sekedar datang ke kantin. Aku terlalu malu masuk ke sana sendirian dan menghadapi teror tatapan aneh orang-orang.

Hari bertukar hari, minggu demi minggu berlalu, bulan pun berganti. Tak sekali pun aku berani jajan ke kantin. Jika kuliah harus sampai lewat jam makan siang, aku bawa bekal dari rumah. Diam-diam aku buka bekalku dan menyantapnya di sudut ruangan perkuliahan yang paling sepi. Aku malu kalau ada yang melihatku sedang makan bekal yang dibawa dari rumah. Seperti anak TK saja.

Hingga suatu hari, ketika sedang menghabiskan bekal makan siangku, tiba-tiba pintu ruangan didorong pelan. Aku kaget dan buru buru menyembunyikan bekal yang baru habis setengah.

Seorang cowok masuk dan mendekat ke arahku. Wajahnya ramah. Tingginya sedang. Rambutnya ikal hampir sebahu. Dia memakai kemeja lengan panjang digulung yang tidak dikancingkan. Di balik kemeja dia memakai kaos berlogo Mapala kampus kami. Dia menyandang sebuah ransel usang dan memakai celana jeans lusuh. Sepatu kets-nya pun tak kalah lusuh.

Setelah berada di dekatku, dia tersenyum, "Kenapa kau selalu sendiri? Aku juga tidak pernah melihatmu ke kantin. Kau kan butuh makan jika kuliah sampai sore." Suaranya berwibawa dan menenangkan.

Aku hanya menunduk malu. Dia pasti tahu jawabanku. Karena bekal yang sedang kumakan tidak sempat segera kusembunyikan. Tentu dia bisa menyimpulkan, bahwa aku tak perlu makan ke kantin karena membawa bekal.

"Baiklah, kalau kau memang lebih suka makan sendiri di ruangan seperti ini, aku akan menemanimu setiap hari," ujarnya yakin diiringi senyum bersahabat, dan masih dengan baritonnya yang menenangkan.

Aku tak menjawab. Hanya menunduk semakin malu. Tapi, entah kenapa, ada bisikan senang dari sanubariku.

Benar ternyata, besoknya dia benar-benar menemaniku makan. Dia juga membawa bekal makanan dan memakannya persis di hadapanku. Aku kikuk makan di dekatnya. Tapi hatiku tak merasa keberatan.

Tiap hari seperti itu. Jika dia ada di kampus, tak pernah dia alpa menemaniku makan. Sekarang aku merasa nyaman ditemaninya. Kami tak banyak ngobrol. Lebih banyak saling diam. Meski merasa tentram, aku tetap saja malu bicara dengannya.

Suatu hari, dia datang membawa gitar. Selepas makan, dia ambil gitar itu dan mulai memainkannya.

"Dari pada sepi, izinkan aku bermain gitar, ya?" Tanpa menunggu persetujuanku, dia telah memainkan sebuah intro yang syahdu.

Aku tak tahu itu intro lagu apa. Yang jelas serasa magis di telingaku. Kemudian dia bersenandung memainkan lagu itu diiringi permainan gitarnya yang cukup bagus menurut pendengaranku yang awam soal gitar. Suaranya juga enak. Aku tak tahu lagu apa itu. Tapi aku suka.

****

Tak terasa, hampir setahun kami akrab dalam diam. Siang itu dia tidak datang menemaniku. Aneh, aku merasa canggung tanpa dia. Keesokan harinya juga sama, dia tidak ada. Aku mulai gelisah.

Hari ketiga dia tidak hadir, aku mencoba mencarinya. Selepas kuliah, aku jalan ke gedung dekanat. Di sana aku lihat banyak terpajang selebaran berisi pengumuman. Mataku tertuju pada sebuah pamflet pengumuman yang memajang foto wajahnya.

Aku baca pengumuman itu. Dia meninggal dalam sebuah kecelakaan arung jeram 3 hari yang lalu. Tanpa bisa kucegah, tangisku pecah.

Air mataku tak tertahankan membasahi pipi. Isakku mengusik orang sekitar. Mereka menoleh ke arahku. Aku segera berlari dari situ. Dadaku sesak.

Beberapa hari setelah itu, aku datang ke rumahnya. Di sana aku bertemu kakak perempuannya. Kepada kakaknya itu kuceritakan kedekatanku yang aneh dengan dia selama ini.

Tiba-tiba sang kakak menangis dan memelukku. Kata kakaknya, dia sangat menyukaiku. Namun dia memendam rasa itu. Karena katanya, sepertinya aku tidak menyukainya juga.

Dia belajar gitar dengan giat, demi bisa memainkan sebuah lagu untukku. Supaya bisa menghiburku yang terlalu pendiam. Nada dering HP-nya pun tidak pernah dia ganti, hanya lagu itu. Katanya, lagu itu selalu bisa membuat dia teringat padaku. Aku remuk mendengarnya. Aku ingat kembali intro, melody, dan senandungya itu.

"Apa judul lagu itu, Kak?" tanyaku.

"Dear God."

Sesampainya di rumah, aku rebahkan diri di pembaringan. Aku ambil HP, masuk ke youtube. Aku ketik di kolom pencarian, "Dear God". Ditemukan. Aku klick play, mengalun lah lagu itu.

Ketika sampai ke bagian reff nya, tangisku pecah,

Dear God the only thing I ask of you is
(Tuhan, satu-satunya yang kupinta dariMu)

to hold her when I'm not around,
(peluklah dia saat aku tak di sisinya)

when I'm much too far away
(saat aku sangat jauh darinya)

We all need that person who can be true to you
(Kita semua butuh seseorang yang bisa jujur)

But I left her when I found her
(Namun kutinggalkan dia setelah menemukannya)

And now I wish I'd stayed
(Dan kini aku berharap tetap di sana)

'Cause I'm lonely and I'm tired
(Karena aku kesepian dan lelah)

I'm missing you again oh no
(Aku merindukanmu lagi)

Once again
(Sekali lagi)

Sebagaimana dia dulu, sekarang, lagu ini juga jadi lagu abadiku. Karena setiap mendengarkannya, aku akan selalu teringat dia. Laki-laki simpatik yang memendam cintanya padaku hingga akhir hayatnya. Yang sesungguhnya, akupun amat mencintainya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun