Mohon tunggu...
Arfi Zon
Arfi Zon Mohon Tunggu... Penulis - PNS dan Penulis

Seorang Pegawai Negeri Sipil yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kasih Tak Sampai (Dear God)

24 Juni 2021   16:43 Diperbarui: 24 Juni 2021   16:50 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebagai gadis desa, aku sangat kikuk bergaul di kampus ternama di ibu kota provinsi ini. Aku merasa tidak punya modal apa-apa untuk bisa diterima dalam pergaulan.

Aku lihat mereka, semua sudah mengidentifikasi diri dan hanya bergaul dengan sesamanya. Si cantik berkelompok dengan sesama cantik, si modis hanya bergaul dengan sesama modis, si kaya pun demikian. Tak satu pun rasanya di antara kelompok pergaulan itu bisa ku masuki.

Alhasil, aku menjadi seorang penyendiri. Tak punya teman sama sekali. Aku benar-benar "kupu-kupu", kuliah pulang-kuliah pulang.

Aku tak pernah kesulitan mengikuti mata kuliah apapun. Meski anak desa, aku cukup pintar. Aku hanya kesulitan bergaul. Rasa minder membuatku semakin jauh menarik diri dari pergaulan. Bahkan aku tak berani sekedar datang ke kantin. Aku terlalu malu masuk ke sana sendirian dan menghadapi teror tatapan aneh orang-orang.

Hari bertukar hari, minggu demi minggu berlalu, bulan pun berganti. Tak sekali pun aku berani jajan ke kantin. Jika kuliah harus sampai lewat jam makan siang, aku bawa bekal dari rumah. Diam-diam aku buka bekalku dan menyantapnya di sudut ruangan perkuliahan yang paling sepi. Aku malu kalau ada yang melihatku sedang makan bekal yang dibawa dari rumah. Seperti anak TK saja.

Hingga suatu hari, ketika sedang menghabiskan bekal makan siangku, tiba-tiba pintu ruangan didorong pelan. Aku kaget dan buru buru menyembunyikan bekal yang baru habis setengah.

Seorang cowok masuk dan mendekat ke arahku. Wajahnya ramah. Tingginya sedang. Rambutnya ikal hampir sebahu. Dia memakai kemeja lengan panjang digulung yang tidak dikancingkan. Di balik kemeja dia memakai kaos berlogo Mapala kampus kami. Dia menyandang sebuah ransel usang dan memakai celana jeans lusuh. Sepatu kets-nya pun tak kalah lusuh.

Setelah berada di dekatku, dia tersenyum, "Kenapa kau selalu sendiri? Aku juga tidak pernah melihatmu ke kantin. Kau kan butuh makan jika kuliah sampai sore." Suaranya berwibawa dan menenangkan.

Aku hanya menunduk malu. Dia pasti tahu jawabanku. Karena bekal yang sedang kumakan tidak sempat segera kusembunyikan. Tentu dia bisa menyimpulkan, bahwa aku tak perlu makan ke kantin karena membawa bekal.

"Baiklah, kalau kau memang lebih suka makan sendiri di ruangan seperti ini, aku akan menemanimu setiap hari," ujarnya yakin diiringi senyum bersahabat, dan masih dengan baritonnya yang menenangkan.

Aku tak menjawab. Hanya menunduk semakin malu. Tapi, entah kenapa, ada bisikan senang dari sanubariku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun