Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Salah Presidennya atau Salah Anak-anaknya?

31 Agustus 2012   05:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:06 2154 15
Sudah banyak berita mengenai subject diatas menghiasi semua media beberapa hari ini. Sayapun jengah. Saya pernah mengalami kondisi betapa lelahnya mengikuti acara-acara yang resmi seperti ini. Dan saya sangat tidak setuju dengan apa yang dilakukan oleh bapak presiden. Siapa yang salah, Presidennya atau anak-anak yang jadi peserta? Semoga cerita saya ini bisa menjadi sedikit jawaban atas pertanyaan tersebut.

Belasan tahun lalu, di bangku SMP saya sangat aktif dalam pramuka. Walaupun saya berbadan kecil dari teman-teman yang lain, saya ditunjuk menjadi pemimpin regu dan berakhir menjadi Pratama Putri. Satu kebanggaan buat saya saat itu. Saya berhasil memimpin regu untuk memenangkan perlombaaan seperti baris-berbaris, hiking, dll. Kami juga sering diundang untuk upacara-upacara resmi di luar sekolah mewakili sekolah kami.

Persiapan-persiapan yang saya (kami) lakukan menjelang hari H:

  1. Latihan akhir dan technical meeting (jika hanya menghadiri upacara biasanya hanya gladi resik di area upacara). Guru-guru (Pembina) meminta kami mempersiapkan diri, bangun pagi, tiba di sekolah lebih awal, kondisi rapi dengan attribut yang lengkap.
  2. Sampai dirumah, saya menceritakan kepada ibu saya apa-apa yang harus dipersiapkan (anak manja hehehe, jagonya diluar rumah)
  3. Pagi-pagi sudah bangun, dan buru-buru berangkat kesekolah (taat pada aturan pembina)
  4. Sampai disekolah Pukul 6.30. Agenda berangkat pukul7 pagi. Jemputan tiba pukul 7.30,  tiba ditempat pukul 08.00.
  5. Duduk manis ditempat acara (jika didalam ruangan). Atau, berdiri berjejer rapi dalam jika dilapangan bergabung bersama pasukan-pasukan besar seperti Polisi, TNI, Instansi Pemerintah, regu Pramuka dan utusan dari sekolah-sekolah lain.
  6. Jam 10 acara dimulai. Syukur-syukur lebih cepat.
  7. Agenda acara tersebut padat, mulai dari pembukaan, laporan, pengibaran bendera, ini, itu dan lain sebagainya. Puncak acara adalah “Amanat Pembina Upacara”. Entahlah, apakah istilah itu masih digunakan atau tidak. Nah, dikala sesi inilah cobaan datang. Isi pidato sangaaat lama. Kantukpun tiba, kaki lelah berdiri. Keringat mengucur deras karena panas matahari. Jika didalam ruangan, lelah duduk, bosan, goyang-goyangkan kaki, celingak clinguk kiri kanan.Terkadang ada beberapa teman yang pingsan, atau tidak kuat dan akhirnya menyerah pindah ke barisan paling belakang.
  8. Menunggu acara hingga selesai.
  9. Bubar, kembali kesekolah masing-masing, lalu pulang kerumah.

Kira-kira itu urutan kejadian bertahun-tahun lalu.

Mulai dari pagi, bangun lebih awal, berangkat ke sekolah, persiapan di sekolah, ke lokasi acara butuh tenaga. Wajar sekiranya anak-anak itu mengantuk. Apalagi ditambah dengan persiapan hari sebelumnya. Mereka lelah. Di tempat upacara hanya menjadi pendengar, mendengarkan kata-kata yang “serius” untuk dimengerti oleh anak-anak. Pandangan mata kosong kedepan, pikirannya bermain kesana kemari (pengalaman pribadi hehehe). Berbeda jika berpartisipasi dalam lomba. Amanat pembina upacara penuh semangat, memberikan semangat kepada seluruh peserta. Tidak ada rasa kantuk sama sekali, karena acara tersebut penuh kegiatan, anggota tubuh bergerak. Bahagia pulang ke sekolah membawa Piala dan Piagam Penghargaan (terkadang uang).

Alangkah baiknya bapak Presiden menyampaikan dengan bahasa anak-anak, tidak serius, sambil bercanda (walaupun di acara resmi). Anak-anak bukan anggota DPR yang bisa ditunjuk sesukanya. Rasa malu akan timbul karena kejadian tersebut. Anak-anak akan divonis menjadi tukang tidur sepanjang rekan-rekan mereka masih mengingatnya. Ejekan akan berlanjut hingga semua lupa atas kejadian itu.

Dijaman Rasulullah, beliau selalu mengajak anak-anak untuk aktif, ajak lomba lari, berbagi kurma dan makanan, bahkan minta mereka tidur di dada dan pahanya. Rasulullah suka bercanda dengan anak-anak, menjulurkan lidah agar mereka tertawa, yang jelas tidak pernah menegur anak saat tidur lelah *beda kondisi dan jaman hahaha*.

Disaat saya membaca artikel ini saya membayangkan, wajah bapak Presiden akan lebih segar bisa bercanda  pada setiap kesempatan bertemu dengan anak-anak.

Ah, bapak Presidenku yang malang, bapak selalu saja disalahkan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun