Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Re, Ketika Musim Duren Datang

4 April 2016   17:34 Diperbarui: 4 April 2016   21:40 248 9
Kepercayaan tidak hanya hadir dengan sayap-sayap langit, terbang di atas bebukitan dan menyelipkan keajaiban dalam setiap kepakannya. Kepercayaan seperti halnya batang pensil yang sering kita perebutkan sebelum pelajaran diawali, musti diraut, menuntut ditimang, dan memohon untuk disimpan dengan ucapan terima kasih. Jika kau masih memintaku untuk memelihara kepercayaan, sebenarnya kau hanya minta agar matahari itu terbit lagi di ufuk timur dan berpamitan di kaki barat kala senja. Ku merasa, telah kupintal benang kepercayaan tanpa nestapa, apalagi kidung pusara.
      Teman-teman sekantorku setiap hari bercerita tentang kelucuan, juga kenakalan anak-anaknya. Aku semakin tua, Re.
      Kutekan tombol “save”, lalu gadget itu kusimpan di tas pinggangku. Kutarik sekali lagi ransel di pundak. Berat terasa menggayut. Aku yang semakin tua? Atau memang terlalu banyak isi tas ransel coklat yang lama hanya teronggok di atas almari kamar kontrakanku. Sejak lulus kuliah, aku tidak lagi naik gunung. Aku takut kutukan Gie, mati di atas gunung karena keudzuran badan yang tidak berkompromi.
      Menghirup udara tanah kelahiranku, segenap khayal meloncat-menari hingga aku kesulitan menangkap cuping telinganya. Mataku menumbuk ke arah jalan setapak menuju rumah kakek. Dulu, jalan ini hanya tanah yang licin, terlebih saat musim hujan seperti sekarang. Tetapi, jalan setapak ini sekarang telah dihampari blok-blok paving. Meski juga licin, namun lumpur hitam yang biasanya menghiasi kaki tersurut dan tersudut. Aku melangkah ringan.
      Karena setiap usia memiliki masa, kuncup-kuncup akan bermekaran. Bebaris pohon duren yang dulu hanya beberapa hasta di atas tingkap genting rumah kakek pun semakin menjulang. Di balik daun-daunnya, barisan buah duren yang telah ranum menjuntai menyapa. Aromanya menebar ke empat penjuru mata angin. Ekor mataku menangkap ada salah satu yang kulitnya telah retak. Pantas aromanya genit menggambit hidung. Tak terasa, aku menelan kembali air liur di mulutku.
      Pelataran rumah kakek yang dulu puas dilibas cecaran cahaya matahari kala di puncak terik, kini pun rindang. Telah bertahun, aku tak menyambangi kakek, lelaki jawara pemanjat pohon duren yang begitu kupuja kala kanak. Dulu, aku dan teman-teman sebayaku sering bermain di pelataran ini. Petak umpet, jamuran, gobak sodor, dan patil lele sering kali kita mainkan menjelang senja. Tetapi, Re selalu hanya berdiri di seberang jalan memandang kami. Dia tidak pernah gabung bermain di pelataran ini. Waktu itu, aku terlalu kanak untuk menanyakan sebabnya.
      Pepohonan sebentuk buah dengan duri-duri sebesar ibu jari yang berbaris rapi seperti serdadu-serdadu kahyangan menyelimuti tanah kelahiranku, Wonosalam, sebuah kota kecamatan di ujung timur-selatan Kabupaten Jombang. Dalam bahasa Jawa, “wono” berarti 'hutan' dan “salam” adalah nama sejenis tumbuhan yang buahnya kecil-kecil sebesar kelereng, bahkan lebih kecil. Mungkin dulu hutan di sekitar tanah ini penuh dengan pohon salam. Tapi sekarang, pohon-pohon duren dan cengkeh yang justru menjadi tuan di hutan yang memagari tanah ini.
      Dulu sewaktu kanak, kakek sering cerita kalau orang-orang Belanda yang menjadi awal mula dikembangkannya tanaman duren di Wonosalam. Di masa penjajahan Belanda, kira-kira di abad 18, buah yang memiliki nama latin Durio Zibethinus itu pertama kali ditanam di tanah Wonosalam. Ketika aku belajar sejarah di bangku sekolah, aku kian tahu bahwa orang-orang Belanda, juga Spanyol, dan Portugis (baca; Portugal) yang membuat hutan-hutan alami di Tanah Air kita berubah menjadi hamparan lahan perkebunan, dari teh, tembakau, tebu, kakau, cengkeh, hingga duren.
      “Enaknya… Andai kita tak dijajah bangsa-bangsa Eropa, belum tentu pula kita mengenal tanaman-tanaman itu ya, Pak,” celetukku pada sebuah diskusi kelas. Mendengarnya bapak guru Sejarahku langsung merengut. “Apa pun enaknya, yang namanya dijajah itu tetap tidak enak, Win.”
      Seorang lelaki tua dengan tongkat mengkilap di tangan kanannya berdiri memicing-micingkan mata sepuluh meter di depanku. Kaca matanya dilepas, digosok-gosok, lalu menyinggasana kembali di mata tuanya. Aku segera menubruknya. Kupeluk badan renta itu. Erat. Erat sekali. Aku ingin membunuh rindu dari langit-langit hingga lantai hatiku.
      Kakek adalah lelaki yang disayangi Tuhan. Ingatannya masih utuh. Terbata ia sebut namaku dan mengimbangi pelukanku tak kalah eratnya. Entah berlari ke mana tongkat hitamnya yang mengkilat. Meski terbata, berulang kali bibirnya membisikkan namaku dan mengucap syukur. Tuhan sayang kepada kami.
      Dia lalu berseru keras memanggil-manggil seisi rumah. Seorang perempuan dengan wajah yang mirip sekali dengan ibuku muncul dari samping rumah. Tidak beberapa lama kemudian, seorang laki-laki setengah umur berdiri dari kibaran rumput gajah setinggi dada di sisi kanan rumah kakek. Dia juga berlari menghampiri. Semua tertawa. Semua bahagia. Memang, menyambung sesuatu yang lama tidak tersambung adalah nikmat luar biasa. Melampaui manis gula. Bersanding dengan manis daging buah duren.
      Beriring kami memasuki rumah kakek. Namun, andaikata di antara yang menyambutku siang ini ada dia.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun