Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Perlawanan "Lonte" Demi Pertaubatan

23 November 2020   06:40 Diperbarui: 24 November 2020   03:03 931 64
"Kenapa kamu dulu mendatangkan aku ke Indonesia, bila sesampai di sini kamu meninggalkanku?"

"Kau datang untuk menikah, sudah dapat bukan, Apa lagi yang kau tuntut dariku?
"

"Kehadiranmu. Kalau kau berani menghilang, aku akan membuatmu malu. Bukti kebersamaan kita masih ada. Gambarmu, saat di hotel dan villa akan kusebar ke media."

Hotel dan Villa, dua tempat itu menjadi saksi hubunganku dengan John. Banyak sudah yang terjadi di sana. Membuatku menekuri perjalanan selama menjadi partner sekaligus kekasihnya.

Tidak ada yang tahu kedekatan kami, ada yang kujaga dari sebuah keberlanjutan. Ketakutan dicap pelakor membuatku enggan maju ke pernikahan. Dia sudah punya istri, tak baik bagiku menikahi seorang suami.

Apalagi aku adalah wanita terhormat, dosen kampus ternama, pembicara kesetaraan gender di mana-mana, pejuang feminisme. Akan sangat memalukan bila bersedia jadi istri kedua. Bisa jatuh namaku, menjadi bulan-bulanan media.

Kukenal John lewat sebuah Webinar Zoom meeting. Aku menjadi nara sumber tentang bagaimana perempuan Indonesia berjuang saat suami tak bisa berperan di masa pandemi Covid ini. Sementara John, dia pengamat dari sebuah NGO di negaranya, Belanda.

Ya, Webinar ini memang diikuti oleh orang-orang dari negara mantan CGI, Consultative Group on Indonesia. Sebuah kumpulan negara pemberi bantuan untuk Indonesia era Soeharto yang asalnya bernama IGGI, Intergovernmental Group on Indonesia.

Wikipedia menulis IGGI adalah sebuah kelompok internasional yang didirikan pada tahun 1967, diprakarsai oleh Amerika Serikat untuk mengkoordinasikan dana bantuan multilateral kepada Indonesia.

Anggota IGGI adalah Bank Pembangunan Asia, Dana Moneter Internasional, UNDP, Bank Dunia, Australia, Belgia, Britania Raya, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Selandia Baru, Swiss dan Amerika Serikat. Dengan ketua negara Belanda.

John berasal dari Belanda, di webinar dia mewakili negara itu. Sebagai aktifis LSM yang giat menyoroti pembelaan terhadap perempuan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Usai Webinar berlangsung, John yang kemudian kutahu mempunyai darah 100 persen Indonesia sering menghubugniku secara personal. Lewat Chat WhatsApp. Mulanya hanya urusan pekerjaan saja.

Meminta pendapatku tentang bagaimana harusnya wanita Indonesia bisa berperan. Kuusahakan selalu membalas chatnya. Seringkali diskusi berlangsung lama bahkan hingga pagi buta.

Intensitas chatting makin meningkat, pembicaraan tak lagi melulu diskusi, tapi mengarah lebih pribadi. Nama aslinya, yang Sujono baru kutahu juga. Menjadi John Van Der Klaass setelah bermukim di Belanda. Ibunya Poniyem, asal Dampit Malang Selatan. Diperistri Meneer Klaass saat bekerja di salah satu rumah di Ijen Boulevard Malang.

Sekitar tahun '70 an Sujono kecil yang merupakan anak bawaan Poniyem dari almarhum suami asli Dampit dibawa ke negeri Belanda. Tinggal dan besar di sana selama hampir setengah abad. Ikatan darah dengan Indonesia, membuatnya selalu tertarik mendekat dengan apa saja yang berbau Indonesia. Termasuk menjadi staf IGGI hingga terkini aktif di NGO yang ada orang Indonesia juga sebagai anggota.

Menikah dengan perempuan Belanda merupakan bagian dari episode kehidupannya di sana. Bertahan 3 tahun dengan seorang putri hasil pernikahan sah. Sesudah itu dia menjalin affair dengan banyak wanita dari berbagai negara. Perancis, Spanyol, Itali, Jepang, Korea, Vietnam juga. Menguasai 7 bahasa termasuk Indonesia sebagai alat komunikasi dengan ibunya.

"Hanya dengan wanita Indonesia aku tidak pernah berhubungan. Kau bersediakah jadi kekasihku? I fall in love with you."

Tawaran yang mengagetkan sekaligus awal dari petaka kehidupanku selanjutnya. Sesudah dia ceritakan panjang lebar riwayat hidupnya aku merasa tersanjung dipercaya. Apalagi dijatuhi cinta. Dengan cara pengungkapan lugas yang tidak pernah kutemukan dari lelaki lain, lelaki Indonesia yang katanya mencintaiku.

Senen, 4 Mei 2020  merupakan hari pertama bagi John menginjakkan kaki ke Indonesia. Dari Amsterdam ke Soekarno Hatta. Dia mendarat di bandara cengkareng jelang senja. Setelah menempuh perjalan 18 Jam dengan Qatar Airlines.

"I'm arrive honey, in my mother country. Soon. Aku tak sabar ingin menemuimu."

"Lalu aku harus bagaimana?"

"Kau susul aku ke Jakarta ya, kuajak kau ke kedutaan, mengurus beragam surat untuk urusanku selama di Indonesia.
"

"Ke sananya bagaimana, masih Covid ini."

"Ikuti saja prosedurnya. Kukirim uang untukmu. Terbanglah, aku menantimu di Grand Melia kawasan Kuningan dekat Kedutaan Belanda."


Sejurus nomor kamar diberikan, tak sampai 1 menit ada notifikasi di gawai, transfer uang masuk berdigit nol 6.

Benar-benar gugup aku menghadapi situasi seperti ini. Seperti mimpi, bisa bertemu John. Padahal situasi serba sulit karena Corona, Rapid test, Swab adalah hal yang harus dilakukan sebelum melakukan perjalanan. Ribet bagiku tidak baginya.

"Untuk cinta, apa sih yang sulit." Itu kata John ketika kusampaikan betapa ribetnya urusan perjalanan.

Penerbangan ke Jakarta akhirnya kulakukan juga. John menyambutku di Bandara Cengkareng dengan masker dan face shield, penampilan yang tak bisa kukenal.

Kalau Saja dia tak membawa tulisan "Neesa Malang" tentu aku akan kebingungan. Bandara yang sepi, tak ada hiruk pikuk transaksi seperti yang kulihat biasanya. Gerai-gerai tutup, hanya sedikit petugas Angkasa Pura lalu lalang melaksanakan tugasnya.

Seperti kerbau dicocok hidung, kuikuti saja langkahnya. Tubuh yang tinggi, kulit kecoklatan bersih, wajahnya aku tak bisa melihat sempurna. Hanya suara setengah serak kudengar, mirip Rod Steward," Kau lebih menarik dari yang kukira."

Kata-kata yang membuatku berdesir. Sepertinya aku juga jatuh cinta padanya. Canggung menghiasi tingkahku, "Thank's."

Alphard putih dengan seorang sopir membawa kami menuju Grand Melia. Hotel yang terkenal dengan jargon, "We Respect Your Privacy."

Disambut karyawan hotel semua bermasker,  diantar untuk cuci tangan. Terlihat beberapa area diberi tanda jaga jarak. Sebuah standard protokoler pada masa pandemi covid-19.

John melenggang ke receptionist, memesan makanan dan minuman untuk di antar ke kamar. Aku masih mengikuti terus langkahnya, jaga jarak agar tak menimbulkan teguran.

Kamar hotel dibuka mudah oleh John. Aku dipersilahkan masuk. Ini pengalaman pertama aku masuk kamar hotel pria. Biasanya kalaupun masuk dengan beberapa orang.

"Come on. Just relaks, kau pasti lelah setelah perjalanan jauh. Mandilah biar segar. Ada bath up dengan air hangat."

Betul kata John, menyelonjorkan kaki sembari membasuh tubuh, berendam di kehangatan mampu mengembalikan kesegaran badan. Berlama-lama aku tiduran di bath up itu. Nyaman. Sebelum akhirnya aku keluar juga dengan baju lengkap dari hijab hingga kaus kaki. Perlengkapan ganti yang memang telah kusiapkan dari rumah.

"Haha, untuk apa kau pakai masker, ini kamar kita." Lebar seringai John menertawakanku yang tetap mengenakan masker sekeluar dari kamar mandi.

Kutatap John tak berkedip. Ketampanan khas timur jauh dimiliki, wajah Donny Damara memantul. Biasanya Video Call saja, kini utuh di hadapan. Aku memaku berdiri menghadapi kenyataan John sudah berdiri di hadapan, bibir bed bersepray putih bersih.

"Ini sudah tidak diperlukan sayang," lembut tangan kekar John melepas masker yang kupakai.

Sejurus kemudian posisi John sudah sejajar denganku. Duduk, dengan sebuah gerakan yang membuatku berada dalam situasi tak karuan. Antara ingin pergi, bangkit menghindari atau tetap berdiam diri.

Berdiam berarti siap memposisikan diri seperti perempuan "lonte". Yang biasanya akan datang ke hotel karena panggilan untuk melayani hasrat kelelakian. Pergi menghindari akan membuatku kehilangan momen perasaan indah ini. Gamang, bingung memutuskan.


(Bersambung)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun