Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Kisah "Korban" Pandemi Sidogiri Asal Slambrit, Bangkit dengan Tusuk Sate

26 September 2020   06:01 Diperbarui: 26 September 2020   07:06 247 41
Mengiringi pandemi Covid -19 yang merebak datang. Menimbulkan korban berjatuhan.Tak hanya Indonesia bahkan di seantero dunia.

Ini menimbulkan kegaduhan di berbagai sendi kehidupan.Terutama pada  perputaran roda perekonomian. Banyak sektor tumbang, tidak ada pergerakan. Sehari dua tak mengapa. Tapi begitu lewat seminggu maka gelisah dirasakan banyak orang.

Ini berlaku pula pada bapak Sholehuddin tersebut. Terbiasa menjual dagangan di lingkungan Sidogiri Pasuruan, pesantren dan sekolah dengan jumlah santri hingga 13.000 orang membuatnya tidak merasa kesulitan mendapatkan uang.

Pagi berangkat, membawa gorengan milik istrinya, lalu menjaganya hingga siang. Pulang membawa uang hasil dagangan di tangan. Tanpa jeda, begitu kesehariannya. Kontinyu, selalu bisa mengepulkan dapur. Meski tidak berlebihan, tapi cukuplah untuk menghidupi anak dan istrinya setiap hari.

Kondisi berbalik dia alami saat pandemi covid-19. Lockdown serentak Indonesia pertama, dia ikut terimbas pula. Tak ada yang dikerjakan. Tinggal di rumah saja. Sama dengan orang lain yang terdampak adanya pandemi. Nganggur menanti kepastian kapan buka, yang ternyata hingga new normal digemakan Sidogiri masih tetap lockdown. Santri boleh masuk tapi tidak boleh ada aktifitas dengan dunia luar pesantren.

Wali Murid dilarang menjenguk, santri dan penguni tak boleh keluar sama sekali. Segala kebutuhan dilaksanakan dan dipenuhi di dalam pesantren. Demi meminimalkan kontak atau interaksi dengan luar pesantren sebagai upaya mematuhi protokol pandemi agar tak ada lagi korban covid -19.

Kebijakan pesantren itu membawa dampak besar pada banyak orang yang menggantungkan hidup dari eksistensi Sidogiri. "Korban Ekonomi Pandemi Sidogiri" berjatuhan, mereka tetiba tak punya penghasilan.

Pak Sholeh adalah salah satunya. Warga desa Slambrit yang tiap hari berjualan gorengan  di area luar pesantren ini harus rela jadi pengangguran karena pandemi yang belum juga berakhir hingga hari ini.

Bahkan Pasuruan, untuk saat ini sedang melaksanakan PSBB tahap kedua selama 14 hari. Mengingat banyaknya korban. Rumah Sakit daerah setempat sudah kesulitan menampung pasien Covid-19 yang terus berjatuhan.

Menghitung hari tanpa kepastian membuatnya berupaya mendapatkan pekerjaan lain. Apapun dia mau asal halal hingga ada seorang kawan datang, memberitahunya untuk jadi seorang pembuat tusuk sate.

Kawannya itu bersedia memasarkan tusuk satenya kalau pak Sholeh mau membuat. Tanpa banyak tanya Pak Sholeh memulai aksi. Dia belajar membuat tusuk sate dipandu temannya itu. Dari mulai memilih dan membeli bambu untuk dijadikan bahan hingga cara membuat sampai layak disebut tusuk sate.

Mesin bubut pembuat tusuk sate berhasil dia beli setelah berusaha keras mendapatkan. Dari pinjaman dan sumbangan saudara, harganya sebesar 1,7 juta rupiah. Sangat mahal untuk ukurannya. Namun, dibeli juga demi bisa mempunyai penghasilan lagi.

Upayanya membuahkan hasil. Tusuk satenya bisa menghasilkan uang. Tiap minggu temannya itu datang mengambil karya pak Sholeh. Dia  juga bisa menjual ke pasar atau ke pemilik warung-warung sate.

Meski keuntungan tidak banyak Pak Sholeh bahagia. Ada pemasukan untuk kelangsungan dapur istrinya dan 2 anaknya yang masih bersekolah.

Hingga kini Pak Sholeh tetap menjalankan usahanya menjadi seorang pembuat tusuk sate. Dalam kesederhananaan dia ingin pula sebetulnya mengembangkan usaha.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun