Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Berharap Lebih pada Program Keluarga Harapan

18 Februari 2019   06:30 Diperbarui: 18 Februari 2019   09:23 245 28

Dipercaya menjadi guru di sebuah sekolah yang rerata strata sosial ekonominya menengah ke bawah sungguhlah menimbulkan rasa miris yang mengiris. Baik yang menyentuh mata, pendengaran maupun hati sanubari ini.

Kisah tentang sepatu robek, jebol, bolong, baju seragam lusuh, cingkrang, kekecilan, tas rusak, atau piranti  sekolah lain yang harusnya dikenakan siswa secara layak dengan parameter bersih, rapi dan indah sebagai simbol dari ketertiban dan kedisiplinan menjadi menu yang lazim saya temukan dalam keseharian di sekolah tempat saya mengajar.

 Siswa seringkali harus menampilkan sisi buruk itu dengan alasan ekonomi. Belum punya uang untuk membeli. Merupakan satu satunya alasan yang mengharuskan mereka tak bisa memakai piranti sekolah  sesuai kelayakan.

Bagaimana sempat memikirkan hal demikian bila untuk makan saja orang tua mereka harus berjibaku mendapatkan? Dengan profesi sebagian besar buruh tani, tukang ojek, kuli, wali murid tempat sekolah saya  mengajar rerata tak mampu memenuhi kebutuhan untuk itu semua.

Saya mengajar SMP , murid-murid saya  sudah beranjak remaja. Harusnya penampilan menjadi salah satu perhatian. Tapi kami, para guru tak bisa memaksakan. Hanya menganjurkan. Dalam beberapa kali kesempatan kerap saya berpesan. " Kalau sudah punya uang, beli yang baru ya nak".

Untuk masalah biaya sekolah,  tak ada masalah, karena pihak  sekolah tidak memungut biaya bulanan, memanfaatkan BOS, Bantuan Operasional Sekolah. Hanya untuk ujian saja mereka harus membayar. Itupun masih bisa dimohonkan keringanan atau pembebasan bila ada orang tua siswa yang datang ke sekolah menyatakan keberatan atau bila hasil kunjunganku ke rumah siswa menunjukkan bahwa mereka tak mampu secara finansial.

Kisah pilu siswa tak mampu yang dahulu kerap saya dengar kini mulai berkurang. Adanya suntikan dana untuk putra putri penghuni rumah tangga tak punya, membuat cerita itu sedikit berbeda. Kini murid saya  bisa menjawab. " Nanti bu kalau sudah dapat uang dari PKH  saya akan membeli yang baru."

Menggembirakan tentu saja. Merujuk pada data dari Home Data Book Statistik Demografi  menyebutkan bahwa, jumlah Penerima Bantuan Program Keluarga Harapan bulan Agustus 2018 sebagai berikut:

Penyaluran Program Keluarga Harapan yang disalurkan mulai September 2017-Maret 2018 mampu menurunkan angka kemiskinan menjadi 9,8%. Dalam Rancangan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019, pemerintah mengusulkan untuk meningkatkan anggaran Program Keluarga Harapan (PKH) menjadi Rp 34,4 triliun dari APBN 2018 hanya Rp 17 triliun.

 Pemerintah juga menginformasikan akan meningkatkan anggaran perlindungan bantuan sosial dalam RAPBN 2019 menjadi Rp 381 triliun dari  Rp 287,7 triliun dalam APBN 2018 sehingga anggaran PKH dapat ditingkatkan hingga menjadi dua kali lipat.

Ini artinya senyum penerima akan lebih terkembang. Saya suka, indikasinya potret nelangsa tak lagi menggayut di wajah mereka. Pada beberapa kali kunjungan ke rumah siswa, binar mata mereka menyiratkan cahaya kemampuan. Meski dengan meminta tenggang." Untuk kebutuhan sekolah anak kami,  insyaallah akan kami penuhi nanti bila uang PKH sudah di tangan ." Begitu kata sebagian besar orang tua bila ditanya kapan kebutuhan sekolah anaknya akan dipenuhi.

Sungguh membahagiakan. Menyekolahkan anak bukan lagi menjadi keberatan. Tak hanya itu, pemenuhan gizi seimbang untuk anak-anak dengan latar belakang rumah tangga yang menurut saya miskin mulai diperhatikan. Adanya dana bagi ibu hamil, balita, serta anak usia sekolah membuat mereka berani memberikan menu bergizi bagi anggota keluarganya.

Lebih sejahtera, itu yang saya lihat dari keluarga siswa saya penerima program PKH. Dari keterangan yang saya peroleh, lewat petugas PKH yang tandang ke sekolah. Mereka mendapatkan kucuran dana berbeda sesuai tingkat usia atau jenjang sekolah mereka. Bisa diharapkan keberlangsungannya. Jadi tidak heran bila dana ini menjadi sesuatu yang bisa diprediksi jawabannya ketika saya bertanya. " Kapan mau beli sepatu baru?"

Ternyata, tak hanya menerima uang. Di desa saya sejauh yang saya tahu ada pendampingan, ada paguyuban bagi penerima PKH ini. Menerima uang itu tentu saja menyenangkan, tapi mengelola uang agar bisa menutup kebutuhan pun butuh keterampilan. Dulu, di awal program PKH dijalankan, saya melihat rumah tangga penerima mengalami gagap keuangan. Dianggapnya uang itu hadiah tiban. Jadi mereka membelanjakan perolehan itu semau mereka, memenuhi hasrat konsumtif, membeli televisi, VCD atau semacamnya.

Tak menyalahkan mereka, saya maklum bahwa mereka menginginkan, namun bila uang itu terus menerus dibelanjakan untuk memenuhi hasrat konsumtif, maka tujuan dari program keluarga harapan bisa tidak tepat sasaran. Maka saya begitu suka cita mengetahui adanya  pendampingan bagi mereka. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun