Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

My Happiness is Mine (Tamat)

13 Desember 2012   13:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:44 110 0
Sore Gina terbangun. Lesu, diputuskannya untuk mandi. Ternyata sudah hampir jam makan. Adiknya duduk di meja depan tv, mengerjakan pe-er. Gina melewati dapur, dimana Ibu sedang sibuk menghangatkan masakan dan menyiapkan peralatan makan di meja. Ayah belum pulang. Sambil mandi, Gina kembali merasa bersalah. Dia teringat pesan Nia, ‘dengarkan kata-katanya, abaikan nada bicaranya' "Hmp, harusnya ga cuma abaikan nada bicara, tapi harusnya ‘dengarkan intinya saja, abaikan yang gak penting lainnya'" Pikir Gina.

Adalah hal yang biasa jika mereka sekeluarga makan dalam diam. Paling Ayah atau Ibu akan bertanya tentang keadaan sekolah. Biasanya mereka berdua hanya akan memberi jawaban standar ‘baik', 'biasa', 'besok pulang pagian/telatan', sekolah titip surat minta sumbangan', dan sejenisnya. Kemudian mereka akan tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Adik dan Gina nonton tv, Ibu menyeterika dan menyiapkan keperluan pagi, Ayah membaca koran harian. Ketika Ayah dan Ibu selesai dengan kegiatannya mereka akan nonton tv bersama sampai Gina dan adiknya masuk untuk belajar.

Tapi malam itu Gina tak bisa belajar. Di kepalanya terus terngiang bentakan-bentakan Ibu. Dirunut-runut, Gina merasa Ibu mulai berubah sejak adik lahir. Gina mulai dituntut ini itu, dimarahi setiap ada yang tidak beres. Dan Gina akui, dia sering melakukan sesuatu tidak beres. Padahal bukan maksud Gina untuk melakukan sesuatu asal-asalan. Sekarang Gina benar-benar merasa muak dengan Ibu. Dengan tuntutan-tuntutannya. Apalagi ketika lulus SD waktu itu, Gina meraih nilai 8 untuk semua pelajaran, kecuali olahraga dan matematika yang hanya 6 dan 5. Gina jadi hanya urutan 5 terbaik dari seluruh anak di sekolahnya. Seharian itu Ibu terus saja menyindir Gina, mengatakan kalau Gina mau belajar lebih keras pasti bisa mendapat nilai baik di kedua pelajaran itu. Waktu itu, Gina menghibur diri, bahwa Ibu seperti itu karena dulu Ibu tak bisa sekolah karena tak ada biaya, jadi Ibu tak tahu betapa sulitnya memahami pelajaran matematika. Ibu pikir matematika hanya tentang tambah kurang kali bagi saja. Gina mengingat lagi, Ibu hampir tak pernah punya waktu mendengarkan cerita Gina. Kalau Ibu bertanya tentang keadaan sekolah, itu hanya karena dia mau tahu apa ada yang perlu dibayar lagi, dan bahwa anak-anaknya tak membuat masalah di sekolah.

Gina tak tahu bagaimana bicara dengan Ibu, juga dengan Ayah. Kalau dengan Ibu, baru bicara sebentar langsung berubah jadi bentak-bentakan. Jarang Ibu bisa mengerti maksud perkataan Gina. Sepertinya apa yang Gina katakan kalau bukan hal tak berguna, yang seharusnya Gina selesaikan sendiri, maka itu adalah laporan yang buruk bagi Ibu. Kalau dengan Ayah, Ayah selalu diam, tenang, Gina jadi segan mulai bicara, apalagi untuk hal remeh temeh. Selesai bicara Ayah hanya "Hmm.." "Boleh juga..." "Tanya saja pada Ibumu..." "Terserah kamu...". Adik juga tak pernah cerita apa-apa. Tapi, paling tidak, Adik jarang sekali dimarahi Ibu. Nilai-nilai Adik juga lebih bagus dari Gina. Gina hanya bisa cerita semua pada Nia. Nia memang sangat baik. Gina juga agak iri dengan keluarga Nia. Nia sekeluarga sering melakukan sesuatu hal bersama-sama. Masak bersama, membersihkan rumah bersama, liburan bersama. Gina saja bisa merasakan keramahan dan kelembutan Ibunya Nia.

Gina tak tahu kapan dia tidur, tapi ketika Gina sadar, dia baru saja terbangun. Buku yang semalam dipegangnya sudah tergeletak di kasur. Agak lecek, mungkin tertindih Gina. Gina berusaha melihat jarum jam di kamarnya, masih jam 3 pagi. Gina tidak lagi merasa mengantuk, maka dia pun mulai berdoa pagi. Tapi pagi itu, Gina ingat lagi apa yang dipikirkannya semalam. Gina pun merasa bersalah, karena berdoa tapi punya kekesalan hati pada Ibu. "Tuhan, bagaimana Gina bisa jadi seperti yang Ibu harapkan? Bagaimana caranya Tuhan? Gina tidak ingin selalu buat Ibu marah. Gina memang banyak buat kesalahan, tapi Gina tidak bermaksud, bagaimana agar Ibu mengerti itu Tuhan?" Gina menangis, tapi berusaha ditahannya agar tak membangunkan Adik. Gina benar-benar merasa tertekan.

Tiba-tiba Gina teringat lagi kata-kata Nia padanya selama ini. "Kamu saja mudah emosi, apalagi Ibumu yang lebih banyak pikiran... Ibumu seperti itu, karena dia banyak berharap padamu... Ibumu begitu karena dia ingin kamu jadi lebih baik... Dengarkan saja kata-katanya..." Gina kembali berdoa "Tuhan... Aku tahu seharusnya aku berterimakasih Tuhan telah memberikan aku keluarga yang lengkap, Ayah Ibu yang bertanggung jawab, sahabat yang sangat baik, kemampuan untuk aku bisa menyelesaikan tugas-tugasku. Tuhan, aku tahu, tak seharusnya aku terus marah dan kecewa dengan keadaan keluargaku... Dengan ketidaksempurnaanku... Dengan ketidakmampuanku menjadi sesempurna yang Ibu mau... Tuhan... hatiku sakit sekaliii Bagaimana ini Tuhan... Aku mau jadi orang yang lebih baik... Lebih sabar... bisa menerima orang lain apa adanya, karena aku juga mau orang lain menerimaku apa adanya... Tuhan, aku ga mau lagi merasa sakit hati... Aku ga mau lagi simpan sakit hati... Aku mau bebas Tuhan... Tuhan... Apa yang harus kulakukan..." Gina makin hanyut dalam tangis yang coba ditahannya.

Tiba-tiba Gina merasa ada suara yang berkata padanya, "Lepaskan... Lepaskan saja... Kamu tak harus menanggungnya..." Gina tersentak. Suara itu makin lama makin jelas. Gina meredakan tangisnya. Suara itu serasa mendamaikannya. "Tuhan, lepaskan saja ya Tuhan? Lepaskan saja ya? Ya Tuhan, aku mau lepaskan. Apa yang dilepaskan Tuhan? Apa? Sakit hatiku? Bagaimana Tuhan? Bagaimana?"
Suara itu kembali berulang. "Lepaskan saja... Lepaskan saja... Tidakkah pujianKu cukup? Tidakkah keberadaanKu cukup? Tidakkah berkatKu cukup? Lepaskan saja..."
Semakin jelas suara itu, Gina semakin tenang. Entah bagaimana, Gina pun mengerti. "Ya Tuhan, aku akan lepaskan, aku lepaskan Tuhan, keinginanku untuk dicintai dengan caraku. Akan kuterima Tuhan, akan kuterima, apa yang harus kulalui dalam hidupku. Kuatkan aku Tuhan, kuatkan aku untuk terus bertumbuh. Terimakasih Tuhan, untuk pengertian ini... untuk berkat-Mu pada keluarga ini... Kesehatan, rejeki, kegembiraan, semoga kami bisa melalui hari-hari dengan Engkau beserta kami..." Gina merasa lebih baik setelah berdoa. Semangatnya kembali.

Selesai mandi, semangat Gina merosot lagi. Lauk di meja makan hanya ada taoge tumis tahu. Tapi Gina menguatkan diri. Dia tidak ingin membuat masalah pagi itu. Diambilnya nasi, lalu dengan hati-hati dipilihnya tahu-tahu dari antara taoge. Selesai makan, dicucinya sendiri piring kotor yang dipakainya. Ibu sedang menyapu ketika Gina hendak berangkat sekolah. "Ibu, Gina berangkaat... Makasih ya bu, taoge tahunya enak sekali..." Senyum Gina. Ibu hanya menjawab "Hmp" sambil tetap menyapu. Gina berusaha tak peduli.

"Niaaa" Sapa Gina.
"Haaiii wah, kamu tampak cerah sekali hari ini.... Ada apa nih?" Sambut Nia.
"Ah, kamu... apa iya? Tapi aku memang mau cerita..."
"Cerita apa?"
"Kamu tahu, tadi malam kepalaku rasanya panaaass sekali. Bukan... bukan sakit..." Jelas Gina ketika melihat wajah Nia yang khawatir. "Aku semalam bener-bener rasanya ga tahan dengan Ibu. Aku ingat semua apa yang buat aku kesal pada Ibu. Bener-bener inget Ni. Aku sampe ga sadar aku ketiduran. Waktu bangun, aku sampe ga kuat Ni, aku nangiiss. Tapiii aku inget kamu... aku ngerasa harus bisa ikutin kata-kata kamu... untuk nerima Ibu apa adanya... Terserah gimana Ibu sama aku, tapi mulai sekarang aku mau jadi orang lebih baik Ni... Aku dapet rhema Ni... Aku tuh harus bisa ngerasa cukup... Ga menuntut orang lain bersikap seperti yang aku mau... Tadi waktu makan, aku ga protes sama sayur di meja... aku malah puji masakan Ibu... tanggapan Ibu sih biasa aja.. Tapi mulai sekarang aku ga mau terpengaruh Ibu... Aku ga tau sih, apa besok-besok aku masih kuat positif gini... Tapi aku ga mau jadi orang seperti Ibu..." cerocos Gina.

"Aih... kamu bisa tau-tau jadi gini? Tapi aku seneng sih... Iya Na, yang penting diri kita dulu... Eh, tapi, kalo kamu dimarahi karena buat kesalahan yang kamu bilang ga disengaja gitu lagi gimana? Siap ga?"
"Eng... yaaa mulai sekarang aku mau pikirnya, kalo memang Ibu lebih baik dariku, ya Ibu berhak marahi aku... Kalo Ibu ga tau apa yang benar terus dia marahi aku, ya Ibu berhak marah saat itu... tapi aku ga mau sia-siain diriku dengan mengharap orang lain berubah... Kalau Ibu lebih sayang Adik itu juga hak Ibu... Pemikiran ini, bikin aku ngerasa lebih tenang sekarang Ni..."
Nia hanya tersenyum mendengar cerita dan tekad Gina. Nia hanya mengangguk menguatkan. Gina merasa itu cukup.

Gina bertekad, tidak akan kalah. Kalaupun dia tak bisa melakukan segala sesuatu dengan sempurna seperti yang diinginkan orang lain, setidaknya dia harus bisa menguasai hatinya sendiri, agar tidak mudah dipengaruhi orang lain. Dia harus bisa mendamaikan hatinya sendiri, menjaga agar hatinya tidak tercemar dengan kebencian, apalagi sampai membenci dirinya sendiri. "Berjuang setiap hari." Janji Gina pada dirinya sendiri.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun