Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Kuntilanak dan Bajil Berjalan ke Arahku

1 Maret 2021   00:55 Diperbarui: 1 Maret 2021   07:57 606 4
Aku hanya meringkuk seraya menutup mata menggunakan kedua tangan dan dengkul. Kuntilanak dan bajil berjalan perlahan dari arah kamar menuju sudut ruang yang terletak persis di bawah tangga dalam rumah di ujung jalan mawar.

Aku tidak bisa ke mana-mana. Seluruh tubuh begitu kaku. Aku melihat ada taring di dalam mulut bajil yang selalu menganga. Sedangkan ketika tak sengaja melihat wajah kuntilanak, aku melihat matanya yang bolong, aku melihat bibirnya yang berlumur darah dan wajahnya yang putih seperti cat dinding rumah tua yang kusam.

Suara gesekan lantai dan kaki terdengar semakin jelas dan dekat. Wartawan majalah misteri tak memiliki keberanian melihat ke arah suara.

Sungguh enggan aku melihat bayi bertaring yang berlumur darah serta rambutnya penuh belatung dan sedang berjalan. Aku pun tidak mau melihat kuntilanak yang sedang berjalan seraya menyeringai dan menuntun bajil.

Aku hanya bisa meringkuk dan menutup mata ketika pundak terasa ada yang menggenggam dan bibir ini tidak bisa berkata apapun ketika terasa sekali kepala basah lantaran ada sesuatu yang menetes. Tapi, aku tidak mampu menggerakkan kedua tangan.

"heesss. Emh. Haerr." Terdengar suara perempuan dewasa dan suara bayi di telinga kananku.

Selain suara, aku merasa ada rambut panjang yang berada di depan hidungku. Baunya sungguh seperti serangga daun yang amat menyengat.

"Hacih," bersinku.

Betapa aku terkejut dan langsung melompat lalu pergi dari sudut tangga rumah tempat perempuan hamil bunuh diri. Saat aku bersin, kedua tanganku terlepas dari mata tanpa terduga. Di depan, ada bajil yang sedang menatapku sembari menganga dan mengeluarkan liur.

Wajahnya yang merah dan matanya yang terlepas berpadu dengan sawang dan lantai bertanah liat serta berumput. Selain itu, kuntilanak tanpa mata yang panjang rambutnya dari kepala sampai menyentuh lantai, tersenyum ke arahku.

Gigi kuntilanak itu seperti milik ikan hiu atau buaya. Sungguh tidak rata.

Bibir kuntilanak itu terlihat amat merah. Wajahnya pucat, kotor dan berwarna putih. Dan, tingginya berubah-ubah. Awal aku melihat, dia setinggi atap rumah berlantai dua. Lalu, saat aku melihat lagi, tingginya sama seperti manusia normal.

Aku langsung berlari ke arah satpam yang sejak awal masuk ke sini sudah pingsan. Ketika kami berhasil memanjat pagar, langsung membuka pintu. Saat kami berhasil membuka dan masuk ke rumah ini, terlihat pintu kamar tempat perempuan gantung diri, sudah terbuka.

Kami pun bergegas menuju tempat bunuh diri untuk mencari sesuatu guna penyelidikanku. Namun, saat kami baru berjalan tiga meter, pintu rumah tertutup kencang. Saat kami membalikkan badan, kuntilanak dan bajil sudah berada di depan pintu.

Aku berlari menuju tangga karena melihat satpam kompleks yang pingsan sedangkan di depan ada makhluk yang tangannya melambai-lambai ke arahku. Tapi, belum sempat sampai tujuan, perempuan dan bayi hantu tersebut sudah berada di depan tangga. Sontak aku terjatuh dan langsung merangkak ke sudut tangga.

Setengah jam kami sudah di rumah ini. Tapi, malam berlalu lama sekali. Perasaanku mengatakan, kami di sini baru menghabiskan waktu satu menit.

Aku tak menyangka bisa terjebak di rumah yang gelap dan penuh sarang laba-laba. Saat tak sengaja memandang langit-langit rumah, aku melihat ada seratus sarang laba-laba. Sarang-sarang yang lengket itu tergantung di atas besi tempat lampu hingga ke sudut-sudut ruang.

Selain itu, besi penyanggah rumah ini sudah berkarat. Tapi, meski rumah ini sudah tidak menjadi tempat tinggal manusia, masih terlihat beberapa lukisan abstrak di dindingnya serta beberapa foto hitam putih di lemari yang sudah agak lapuk.

Aku mencoba membangunkan satpam. Tapi, tidak ada jawaban. Padahal, aku sudah menampar-nampar pipinya, aku sudah menggoyang-goyangkan tubuhnya. Sedangkan, saat aku melihat ke arah tangga, semakin berdegublah jantungku karena melihat kuntilanak dan bajil gontai menuju kami.

Aku berusaha mengangkat tubuh satpam yang berbadan buncit ini. Tapi, sia-sia. Tenagaku tidak sanggup membopong orang yang pingsan. Namun, aku tak mau selalu diam di rumah ini. Aku ingin keluar dari sini.

"To.to.to," suaraku seperti ada yang menahan. Aku tidak bisa berteriak. Aku menjadi orang yang gagap.

Tak ada pilihan lain, selain menyeret satpam kompleks agar kami segera keluar dari sini. Rumah ini amat gelap. Lebih dari itu, sejak melihat kuntilanak dan bajil, ruangan yang pengap dan lembab pun beraroma anyir. Napasku sesak.

Terdengar suara tolong ketika aku berusaha menyeret tubuh satpam kompleks. Suaranya lirih. Terdengar dari arah belakang. Tapi, aku tidak yakin itu suara dari kuntilanak. Meski, jelas sekali suara itu milik perempuan.

Aku tidak mau menoleh. Aku tetap berusaha menyeret tubuh satpam. Meski napasku tersengal dan tak jarang aku terjatuh karena berat beban yang tak seimbang.

Ketika sampai di depan pintu, ternyata perjuanganku belum usai. Gagang pintu tidak bisa digerakkan. Tapi, aku tidak mau menyerah. Aku menggedor-gedor pintu. Berharap, senior satpam kompleks yang sedang berjaga malam mendengar. Tapi, tak ada jawaban. Malah, aku tidak bisa melihat ke arah luar meski jendela kaca rumah ini tidak bergordin.

Tiba-tiba saja warna merah seperti darah menyebar secara bersamaan dari arah kiri ke kanan. Kembali terdengar lirih suara perempuan yang memohon pertolongan. Namun, sungguh, yang kubisa hanya berlutut di depan pintu dan memandang lantai yang bertanah liat berwarna merah pekat.

Andai saja aku tidak nekat memasuki rumah ini secara diam-diam. Siang tadi, aku sudah berbicara kepada dukun yang kemarin ikut investigasi. Namun, dia tidak bisa karena malam ini sudah ada janji untuk menyembuhkan seseorang yang terkena santet.

Dukun yang kemarin menolong saat aku terjebak di ranjang penuh serangga, tidak mengizinkan investigasi tanpa dampingannya. Dia mengatakan, rumah ini memiliki jin yang kerap mengganggu manusia.

"Jin yang ada di rumah ini ingin meminta pertolongan kepada orang yang baru menapaki kakinya di sana. Dia mengetahui bagaimana perempuan yang sedang hamil itu bisa mati. Dia dapat dikatakan sebagai jin yang baik. Tapi, jin adalah jin," ungkapnya.

"Dia ingin mengungkap kebenaran. Namun, lawan yang akan kita hadapi bukan orang kaya sembarangan dan di belakangnya adalah orang sakti yang sudah bertapa di berbagai gunung dari Jawa," ujar dukun kepadaku.

"Aku akan tetap ke rumah itu malam ini. Aku melihat ada banyak keburukan dari mata Anto. Apapun yang terjadi, aku akan masuk ke rumah itu. Kalau sudah selesai mengobati pasienmu, cobalah datang ke rumah di ujung jalan mawar. Pasti aku membutuhkan bantuan," kataku lalu bergegas meninggalkan rumahnya.

Setelah dari rumahnya, aku segera ke pos satpam. Kukatakan semua maksud dan tujuan kepada satpam yang waktu itu ikut investigasi.

"Bisakah nanti malam membantuku untuk masuk ke rumah itu secara diam-diam? Ada uang lima ratus ribu sebagai imbalan," kataku kepada satpam saat siang terik tak bisa diajak kompromi.

"Kebetulan saya perlu uang untuk bayar kontrakan. Tapi, kita masuk lewat mana? Seniorku tidak mungkin mengizinkan kita masuk ke rumah itu tanpa izin pemiliknya," jawabnya.

"Jam berapa seniormu berkeliling? Jam segitulah kita masuk ke rumah itu. Dan untuk motor, aku rasa rumahmu bisa menjadi penitipan sementara," ujarku.

Jam sepuluh malam kami sudah menunggu di seberang jalan depan gerbang masuk kompleks. Kami sengaja menunggu di depan mini market karena dari sana terlihat gerak-gerik seniornya.

Saat seniornya berkeliling, kami berlari menuju rumah itu. Rumah ini sangat jelas sekali terlihat dari pos satpam. Walau gerbangnya tidak pernah dirantai atau digembok, kami mesti menunggu seniornya berkeliling untuk masuk sini.

Aku bergegas membuka pintu rumah di ujung jalan mawar menggunakan kunci yang telah kuduplikat. Aku tahu, Anto tidak mungkin mengizinkan kami untuk ke sini lagi. Tapi, aku juga tahu kalau investigasi ke rumah ini tidak mungkin satu kali saja.

Pradugaku benar. Hingga dua kali terjebak di dalam rumah ini, investigasi atas perempuan yang mati bunuh diri belum juga menemukan kecerahan. Namun, aku beruntung karena belum mati di dalam rumah ini.

Dukun yang tadi siang kutemui berhasil membuka pintu rumah ini. Tapi, dia datang hanya untuk menolongku, bukan untuk menyelesaikan misiku malam ini.

Aku dan dia segera membopong satpam kompleks yang pingsan. Betapa aku terkejut ketika telah keluar melewati pintu rumah. Dukun ini sudah menyiapkan mobil di depan pagar.

"Bagaimana Anda bisa masuk ke rumah ini tanpa sepengetahuan satpam?" Tanyaku sembari masih mengatur napas.
"Ini minum dulu," katanya seraya menyetir.
"Satpam itu sudah kubuat tidur sebentar. Setengah jam lagi dia akan bangun. Pergerakanku dan kalian tidak akan ketahuan olehnya," tambahnya.

Saat kami sampai di salah satu kamar di dalam rumahnya, aku langsung tergeletak karena tiba-tiba pandanganku gelap. Mungkin karena lelah membopong satpam berbadan buncit. Tapi, bisa juga karena telah mengalami peristiwa penting.

2021

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun