Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Wartawan Lain Mendorongku hingga Terperosok ke Dalam Jurang

24 Januari 2021   00:44 Diperbarui: 24 Januari 2021   00:47 293 2
Investigasi bersama wartawan lain membuat diri ini hampir mati. Wartawan dari media misteri lain mendorongku hingga Wahyu pun terjatuh. Kami  terperosok ke dalam jurang.


Ada yang sengaja mendorong kami. Wartawan berambut klimis dan berseragam itu ingin menghasilkan berita yang tak memiliki saingan.

 

Aku dan Wahyu terjebak berjam-jam di dalam jurang. Kami kembali setelah tertatih-tatih menaiki dinding tanah yang terjal. Sekuat tenaga dan berhati-hati, kami mencengkram rumput dan akar-akar gantung agar tidak berakhir di daerah yang gelap dan lembab.

 

Tubuh kami pun terluka karena deras terjatuh. Tubuh ini meluncur di atas tanah dan ranting-ranting perdu.

 

Aku dan Wahyu baru pertama kali bertemu. Kami saling mengenal melalui media sosial. Ketika memproyeksikan untuk mencari tahu tentang siluman babi di hutan Cinunang, aku segera mencari orang yang bertempat tinggal di sana. Muncullah nama Wahyu. Ketika aku menceritakan maksud dan tujuan, dia mengaku kalau selama ini berprofesi sebagai Tour Guide para pendaki yang ingin kemah.

 

Betapa aku senang ketika sampai di rumah Wahyu. Dia mengenalkanku kepada macan bulan dan macan kumbang. Nama itu bukan pemberian orang tua. Menurut pemiliknya, nama itu adalah samaran untuk bekerja di lapangan.

 

"Kau wartawan majalah misteri yang kerap membuat tulisan kontroversi itu? Apa kodemu di dalam majalah?" Tanya macan bulan kepadaku.

 

"Itu rahasia perusahaan. Itu juga untuk keselamatanku, mas," jawabku sembari tersenyum.

 

"O gitu. Oke dan oke. Kamu sudah kenal dengan kawanku? Ini namanya macan kumbang. Dia dari media Tata Misteri. Kalau kau tak mengenalnya maka tak pantas menjadi wartawan dunia gaib," katanya seraya mengembuskan rokok dan sinis menatapku.

 

"Saya salah satu pembaca media Tata Misteri. Saya sering menjadikan tulisannya sebagai referensi," pungkasku mencoba mencairkan suasana.

 

Dua wartawan itu terlihat sepuluh tahun lebih tua dariku. Tulangnya nampak besar dan pundaknya lebar. Sedangkan Wahyu, menurutku dia hanya lebih tua lima tahun dari wartawan yang kece ini.

 

Wahyu menceritakan, siluman babi hutan Cinunang sudah ada sejak buyutnya belum lahir. Menurutnya, sang kakek selalu menasehati jika akan memasuki hutan untuk mencari kayu bakar atau buah-buahan yang bisa dimakan. Kata kakeknya, jika terdengar suara orang ngorok yang keras dan terdengar derap langkah yang agak cepat serta tercium aroma kurang sedap dan terlihat lalat serta nyamuk yang beterbangan dan jumlahnya milyaran maka bergegaslah pergi dari tempat itu dan kalau bisa segera turun ke desa.

 

Warga desa percaya, fenomena semacam itu adalah kehadiran siluman babi. Kalau tidak segera menyingkir maka bukan tak mungkin akan mengalami kematian. Korban dari siluman babi bukan hanya satu atau dua orang. Korbannya berjumlah puluhan. Tubuh korban tidak mengalami kerusakan apapun. Namun, kepalanya. Kepalanya pasti remuk. Mungkin karena diseruduk-seruduk.

 

Warga percaya, siluman babi muncul karena ada salah satu tentara jepang pada masa penjajahan masuk perangkap kuncen hutan Cinunang. Tentara jepang itu adalah salah satu pemerkosa anak kuncen hutan Cinunang. Sang Kuncen yang tak menerima anaknya mati bunuh diri dan telah dinodai orang jahat, segera melakukan pemujaan.

 

Menurut kakeknya Wahyu, tiga tentara jepang yang menodai anak kuncen, secara tak terduga datang ke desa. Jelas saja mereka dituntun makhluk gaib. Tatapan mereka kosong. Seperti orang yang terkena hipnotis.

 

Dua di antaranya mati karena tersandung saat melewati jalan setepak bersisi jurang. Kuncen hutan Cinunang enggan menyia-nyiakan kesempatan untuk menjadikan tentara jahat yang tersisa sebagai babi terkutuk. Pasukan gaib sang kuncen membawa pemerkosa ke suatu tempat yang tidak pernah diketahui warga.

 

Jelas kuncen itu sudah mati sejak lama. Tidak ada yang dapat kami temui untuk meneliti peninggalannya.

 

Menurut Wahyu, siluman babi hutan Cinunang hadir ketika sang kuncen meninggal. Mungkin, ketika ia hidup, si tentara jahat itu masih dalam proses penyempurnaan. Setelah kuncen mati, kutukan tentara jahat itu sempurna.

 

"Kapan kita mulai mencari tahu bentuk dan keberadaan siluman babi hutan Cinunang? Sebentar lagi siang. Saya yakin waktu pencarian tidak sebentar," ujar macan bulan seraya mengangkat kedua tangannya secara terbalik.

 

"Tidak ada gunanya juga kita banyak berbicara di sini," timpal macan kumbang.

 

Wahyu memang bergegas bersiap-siap. Kemudian, mengajak kami untuk segera memasuki hutan. Namun, nampak kekecewaan di wajahnya. Dia yang tadi bersemangat, terlihat seperti menyimpan malas untuk mengantar kami. Tapi, dia mencari nafkah sebagai tour guide. Jadi, tak mungkin menolak.

 

Perjalanan memasui hutan Cinunang tidak begitu indah atau menyeramkan. Di sisi jalan setapak tak ada kebun kol atau brokoli serta cabai. Hanya alang-alang dan tumbuhan yang buahnya kemerahan serta beracun.

 

Hutan ini tidak digarab sebagai pertanian warga. Hutan ini pun tidak memiliki gunung aktif. Hanya saja, hutan ini berada pada kaki wilayah perbukitan yang dilindungi. Namun, warga di sini biasa mencari buah dan ikan untuk makan sehari-hari. Selain itu, tanaman hutan seperti pakis pun dimanfaatkan untuk lauk pauk. Sedangkan usaha mereka adalah menyewakan kamar sangat sederhana untuk para supir truk beristirahat karena daerah ini memang berada di jalur lintas antar kabupaten.

 

macan kumbang dan macan bulan pun menyalakan rokok. Mereka ingin menampakkan rasa tidak takut sama sekali. Sambil berjalan, mereka asyik mengembuskan asap rokok.

 

"Bagaimana sih mas, cara mendapat pembaca setia?" Ujarku kepada macan bulan dan macan kumbang.

 

"Mau tahu? Akan kuberi tahu asal kamu kembali ke desa," jawabnya seraya menertawakanku.

 

Aku tak sempat menjawab perkataannya. Di tengah jalan, kami bertemu dengan warga. Kebetulan, dia kenal akrab dengan wahyu.

 

Dia Domi. Biasa mencari kayu bakar dan buah pala serta cengkeh di lereng hutan.

 

Wahyu mengajaknya untuk menemani kami mencari tanda-tanda keberadaan siluman babi. Wahyu menganggap Domi lebih berpengalaman. Domi sering menemukan tanda-tanda keberadaan makhluk gaib yang kucari. Sedangkan wahyu hanya satu kali.

 

"Siapa namamu tadi? Aku lupa?" Ujar macan bulan kepadaku.

 

"Namaku anu, mas. hehehe," jawabku.

 

"Nyengir kayak kuda saja. Lebih baik kamu pulang sana. Ini bukan bidangmu. Tubuhmu saja kurus. Tidak merokok tapi sudah ngos-ngosan. Ya enggak?" Ujarnya seraya meminta bantuan kepada macan kumbang.

 

"Tenang. Tenang. Insyaallah tidak akan terjadi apapun, selagi kita cekatan dan fokus memerhatikan tanda-tanda," sergah Domi.

 

"Aku juga baru mengenal mereka. Amat menyesal aku menerima tawaran mereka," bisik wahyu kepadaku setelah kami melalui setapak yang bersisi jurang.

 

Secara tak terduga, kami mendengar suara orang mengorok yang keras sekali. Selain itu, tercium juga bau yang tidak sedap. Wahyu dan Domi berujar, kita akan menemukan objek. Menurut Domi, tidak jauh dari sini siluman babi pasti sedang berkubang.

 

Hari itu memang mentari cukup terik. Tubuh kami berpeluh dan merasakan hangatnya matahari meski hutan ini masih memiliki barisan pohon rindang.

 

"Tahan. Tahan langkah sebentar. Pelan-pelan. Jangan terlalu berisik. Nanti ada yang kabur atau membahayakan kita," ujar Domi.

 

"Itu dia! Di sana, ada banyak sekali lalat dan nyamuk," ujar Wahyu seraya jari telunjukknya mengarah ke dalam semak-semak di sisi kanan kami.

 

Entah ulah macan bulan, macan kumbang atau mereka berdua, aku yang berada di depan dua lelaki itu merasa ada yang mendorong. Sungguh malang nasib wahyu. Karena tanganku menarik bajunya maka dia ikut terperosok.

 

""Hey. Kalian mau ke mana? Hey, tunggu. Itu teman kita terperosok! Tunggu. Mereka perlu pertolongan!" Ujar seseorang yang mungkin khawatir karena melihat dua tubuh, kencang meluncur.

 

Aku mendengar teriakan itu. Aku yakin itu suara Domi. Dia ingin mencegah dua wartawan dari media lain tersebut. Mungkin, mereka ingin mendapatkan fenomena gaib sendiri.

 

Kulihat-lihat dan kuraba-raba seluruh tubuh, setelah berdiri. Aku khawatir ada tulang yang patah. Alhamdulilah, tidak ada apapun yang patah. Hanya luka dan memar di dengkul serta siku.

 

Kuhampiri Wahyu yang mencoba berdiri. Sungguh aku tak ingin dia terluka. Kami baru saling mengenal. Aku yang mengajaknya untuk menemani melakukan investigasi. Selain itu, karenaku juga dia terperosok ke dalam jurang.

 

"Maaf telah membuatmu terperosok," kataku kepadanya seraya memelas dan merapatkan kedua tangan sebagaimana orang memohon.

 

"Tasmu penuh barang yang berat sehingga bisa terjatuh?" tanyanya.

 

"Tidak. Aku merasa ada yang mendorongku," jawabku.

 

Setelah kami berhasil naik ke tempat awal, Domi datang membawa tali. Dia mengatakan, ingin turun ke jurang untuk memastikan kondisi kami.

 

"Kenapa kalian bisa jatuh?" Tanyanya.

 

"Aku merasa ada yang mendorongku dari belakang. Aku yakin yang mendorongku adalah tangan manusia," jawabku memelas karena masih merasa bersalah telah membuat wahyu terjun bebas.

 

Domi pun meyakinkan kami kalau macan bulan dan macan kumbanglah yang membuatku terjatuh. Ketika kami terjatuh, Domi melihat mereka berlari ke arah fenomena gaib yang diberitahu Wahyu.  

 

Wahyu ingin mencari mereka dan membacoknya atau memukul kepala mereka dengan batang kayu mahoni. Ia sudah kesal sejak awal. Tapi, Domi tak mengizinkan. Menurutnya, belum tentu juga mereka pulang. Hingga menjelang magrib pun, setelah kami membersihkan semua luka dan kotoran di rumah wahyu, kedua wartawan itu belum kembali. Padahal, kendaraannya masih terparkir di halaman rumah wahyu.

 

"Aku pulang dulu. Kalau hingga magrib mereka belum pulang maka kita harus melapor ke kepala desa agar warga mau membantu kita mencari dua orang itu," ujar Domi.

 

"Mereka sudah mencelakan kami! Untuk apa mencari?" Jawab Wahyu.

 

"Tak perlu dendam. Kasian. Siapa tahu anak istri mereka menunggu di rumah," ujar Domi.

 

Sampai isya, mereka pun belum kembali. Domi yang baru datang mengatakan, pasti terjadi sesuatu kepada mereka. Aku merasa memiliki ikatan batin yang kuat karena satu profesi dengan mereka. lekas kuajak Domi dan Wahyu mencari mereka.

 

Betapa malang nasib mereka. Hanya badan yang tersisa. Kepalanya bukan hanya remuk. Tapi, gepeng. Warga menemukan jasad mereka di sisi lumpur bekas kubangan babi.

 

Aku dan wahyu membopong jasad macan bulan. Walau, sempat kesal. Tapi, mereka juga wartawan. Sama sepertiku. Sedangkan wahyu membopong jasad macan bulan karena merasa sudah aku bayar. Walau macan bulan dan macan akar belum sama sekali memberinya upah.

 

Domi dan warga desa berada di belakang kami. Mereka membopong jasad macan akar. Kami berada di tengah-tengah warga. Semua yang di depan dan di belakang membawa obor.

 

Aku pulang naik ambulan. Aku yang bertempat tinggal satu kota bersama mereka, mesti mengantar jasadnya ke rumah sakit umum di daerah kami. Selain itu, aku pun mesti mengabarkan berita duka ini ke media mereka. Meski tak tahu, tapi harus ke kantor redaksi macan bulan dan macan kumbang guna memberi kabar duka. Walau, uang makanku mesti terpakai untuk ongkos ke sana.

 

2021

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun