Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

Masih Meragukan Konsepsi Berpikir Jokowi Tentang Kemandirian dan Kedaulatan Ekonomi?

2 Februari 2015   21:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:56 138 2
B erdikari dan berdaulat secara ekonomi merupakan jargon presiden ketujuh, Joko Widodo, diberbagai pidato dan orasinya baik pada saat pilpres maupun ketika sudah menjabat menjadi Presiden RI. Jika melihat postur Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan T. A 2015 (RAPBN-P 2015), saya masih meragukan jargon presiden terimplementasi dalam kebijakannya. Pasal keraguan tersebut bermula dari nilai keseimbangan primer yang masih sangat besar, mencapai Rp70, 53 triliun, dalam RAPBN-P 2015. Secara sederhana, keseimbangan primer adalah realisasi pendapatan negara dikurangi realisasi belanja negara, diluar belanja pembayaran bunga utang. Dari definisi diatas, kita dapat menarik apa makna dari “keseimbangan primer” tersebut. Keseimbangan primer memberikan makna sejauh mana negara (Baca : Indonesia) mampu membiayai kebutuhan dirinya sendiri dari pendapatan yang diperolehnya (kemampuan ekonomi nasional) atau sejauh mana negara mampu membiayai kebutuhan administratif dalam menjalankan roda pemerintahannya sendiri dan kebutuhan menjalankan pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah dari pendapatannya sendiri. Artinya jika keseimbangan primer merupakan bilangan positif, bilangan tersebut memberikan makna bahwa negara Indonesia mampu membiayai dirinya sendiri dari penghasilannya sendiri. Makna sebaliknya jika keseimbangan primer merupakan bilangan negatif. Bilangan negatif pada keseimbangan primer di APBN memberikan makna bahwa negara sudah tidak mampu lagi membiayai dirinya sendiri dari penghasilan yang diperoleh atau dengan kata lain pemerintah yang menjalankan roda pemerintahan memiliki perilaku “besar pasak dari tiang”. Arti yang lebih tragis lagi adalah keseimbangan primer yg negatif dalam RAPBN-P 2015 memberikan makna bahwa pengeluaran rutin dan pembangunan pemerintahan jokowi masih dibiayai oleh hutang dengan penciptaan hutang-hutang baru. Arti lainnya adalah pembayaran hutang pemerintah ditutupi dengan menciptakan hutang baru. Bagaimana bisa mandiri dan berdaulat secara ekonomi jika anggaran roda pemerintahan saja masih dibiayai oleh hutang bukan dibiayai oleh penerimaan atau penghasilan sendiri? sudah pasti tidak mungkin bisa mandiri atau berdaulat. Hal ini yang membuat saya masih ragu atas kesamaan jargon jokowi dengan implementasi kebijakannya. Ragu dan mencurigai,kemandirian dan berdaulat secara ekonomi hanya sebagai jargon saja. Mungkin pemerintahan jokowi masih bisa berkilah bahwa itu adalah warisan pemerintahan sebelumnya dan toh juga negatif keseimbangan primer sudah berkurang dari Rp94 triliun menjadi Rp71 triliun. Tapi itu bukan jawaban karena jargon dahsyat jokowi yang lain adalah "revolusi mental" yang artinya "mental" pengelolaan keuangan negara juga menjadi salah satu yang harus direvolusi. Keseimbangan primer adalah warisan pemerintahan SBY, itu benar. Tapi masih besarnya potensi penerimaan pajak yang mencapai hampir Rp400 triliun bisa jadi jawaban agar tidak besar pasak dari tiang dalam mengelola keuangan negara. Jika kilahnya adalah pemerintahan masih baru dan butuh waktu, maka saya bisa membenarkannya meskipun saya masih meragukan wujud kemandirian dan kedaulatan ekonomi yang dimaksud Presiden ketujuh tersebut. Yasudah, kalau itu kilahnya maka mari kita lihat design kebijakan Presiden Jokowi dalam RAPBN tahun anggaran 2016. Berubahkan atau masih sama dalam pengelolaan keuangan negara. Saya akan tunggu!!!.Semoga jargon jokowi menjadi kenyataan dan pemerintah sebelahnya merevolusi mental dan cara mengelola keuangan negara. (RAS)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun