Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Santri vs Google, Tantangan Gerak Zaman di Hari Santri 2023

19 Oktober 2023   23:53 Diperbarui: 19 Oktober 2023   23:56 151 3
Gegap gempita menyambut Hari Santri Nasional yang setiap tahun diperingati sebagai momentum kebangkitan kaum sarungan (santri) yang juga mengiringi peristiwa Resolusi Jihad yang merupakan sebuah fatwa seruan ulama-santri yang mewajibkan setiap muslim Indonesia untuk membela Tanah Air dan mempertahankan NKRI pada tahun 22 Oktober 1945 silam.

Kurang lebih dalam fatwa tersebut berisikan kewajiban berjihad untuk mempertahankan Kemerdekaan Indonesia dengan melawan pasukan kolonial yang masih ada di wilayah Indonesia, sehingga mencapai puncaknya saat perlawanan pada 10 November 1945, yang juga dikenal sebagai embrio dari peringatan Hari Pahlawan.

Kemudian melalui Keputusan Presiden atau Keppres Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 maka setiap tanggal 22 Oktober di tetapkan sebagai Hari Santri Nasional. demikian mengenai latar belakang adanya hari santri yang diperingati dengan sedemikian rupa oleh semua orang yang 'pernah' mengenyam pendidikan agama di luar pendidikan formal.

Seiring berjalannya waktu yang kian hari kian mudah dan kian dekat dengan segala sesuatunya, muncul segudang persoalan-persoalan yang memang belumlah selesai sampai akar rumput sehingga yang darinya menyisakan bibit persoalan baru, terlebih dengan santri dan tantangan zaman yang kian hari kian 'edan'.

Pesantren yang kata Gusdur disebut sebagai a place where santri (student) live, tidak mengalami banyak pergeseran, baik dari sisi makna dan hakikatnya. Ditempat lain seorang guru mengatakan bahwa pesantren adalah tempat untuk menempa karakter (sebelum ilmu). Kemudian berangkat dari dua hal di atas setidaknya kita dapatkan dua terma yang pada out put-nya memiliki dampak signifikan dari seseorang yang di labeli dengan sebutan 'santri'.

Jika dalam penempaannya, santri sejak masa awal di pesantren (baca; pondok) telah ditempa dengan segudang aturan, segala hafalan dan segala etika yang bias dengan kehidupan saat sebelum mulai tinggal di pesantren, seperti halnya dalam kurikulum pesantren tentu tidak asing dengan satu kitab fenomenal yakni Ta'lim Muta'allim besutan Burhanul Islam Al-Zarnuji yang secara garis besar di dalamnya berisikan doktrin untuk seorang pelajar dan harapan dari 'gemblengan' awal tersebut menghasilkan pelajar atau santri yang memiliki etika dan estetika terhadap seorang guru, ustadz atau kepada siapapun.

Hingga pada fase selanjutnya seorang santri secara umum akan akan akrab dengan disiplin ilmu seperti tajwid (tata cara membaca Al-Qur'an), tafsir, hadis (tradisi nabi), tauhid, (teologi), fiqh (Hukum Islam), Usul Fiqh (Teori Fiqih atau Hukum Islam), Nahwu-Sharraf (Gramatika bahasa Arab), balaghah (Sastra Arab), sejarah Islam, akhlaq (Etika Islam), tasawuf (mistisisme), serta mantiq (logika) dan lainnya. Namun Nahwu-Sharraf (Gramatika bahasa Arab) yang juga sejak awal di ajarkan oleh tiap pesantren merupakan rumusan yang tidak terbantahkan sebab dengan mempelajari imu tersebut diharapkan semua santri bisa membaca literatur klasik atau kitab kuning sesuai dengan kaidanya. Seperti dalam catatan Martin Van Bruinessen yang mengatakan bahwa dari sejumlah diskursus ilmu Islam yang dipelajari di pesantren, hukum Islam menjadi ilmu yang paling dominan dipelajari di pesantren disusul kemudian akhlak-tasawuf (etika-mistisme).

Dari kurikulum yang berisikan disiplin ilmu 'istimewa' tersebut kurang lebih seorang santri bisa menjadi pembaca yang ulung dan bisa menjawab tantangan zaman sebagaimana yang terjadi hari ini, kian kompleks. Dan menurut penulis, seorang santri tentu bisa menjawabnya dengan berbekal ilmu yang didapatnya dari pesantren, sebab pesantren bukan hanya menjajakan penataran pengetahuan akan tetapi darinya pula karakter luhur manusia Indonesia bisa lahir.

Sejalan dengan berjalannya waktu tantangan dalam seorang santri seringkali bermunculan (bagi mereka yang belum tuntas) seperti yang terjadi dalam lingkungan masyarakat sepulangnya dari pesantren (baca; boyong). Sebagai suatu contoh kecil mereka yang baru belajar tajwid dengan mudahnya menjustifikasi atau cenderung menyalahkan bacaan al-fatihah seorang imam musholah yang sudah sepuh dan berpuluh-puluh tahun menjadi seorang imam. Dan dari titik ini sebuah egosentis bahkan superioritas mulai muncul yang kemudian menkerdilkan identitasnya yang dikenal luas oleh masyarakat sebagai seorang yang berpengetahuan luas serta berbudi luhur.

Selain persoalan terdapat amanah yang diemban oleh seorang santri saat ia boyong dan siap mengaplikasikan apa yang diperolehnya di pesantren, namun sebelum itu terdapat sebuah orientasi yang sama sekali dari pesantren (salaf khususnya) dan dunia akademis saat seorang pelajar telah selesai menempuh masa pendidikannya. Sebagai contoh bahwa sebagian besar orientasi dari lulusan akademik ialah orientasi mendapatkan pekerjaan yang layak dan gaji yang setara, sebaliknya, pesantren menawarkan kepada setiap santri sepulangnya dari pesantren adalah ilmu yang bermanfaat bagi banyak orang. Sehingga terdapat semacam beban moral, sosial dan juga intelektual yang di emban oleh santri yang telah purna masa pendidikannya.

Problem moral disini ialah satu persoalan besar yang memang telah menjadi tantangan pesantren sejak awal, pengaplikasian dari materi Ta'lim Muta'allim begitu penting diterapkan di masyarakat dengan harapan secara attitude memiliki nilai yang berbeda dengan hasil pendidikan akademis secara umum dan juga menjadi satu icon yang patut dijadikan sebuah presedent bagi generasi selanjutnya.

Pada tataran sosial santri di tuntut aktif dalam berbagai kegiatan sosial-kemasyarakatan, dan dari bisa memunculkan image postif bahwa santri tidak melulu bergulat dengan persoalan agama akantetapi juga ikut andil dalam persoalan sosial yang berbekal ilmu yang didapat dari pesantren sudah barang tentu bisa menjawab persoalan pelik negeri ini, korupsi, covid-19 misalnya, sehingga dengan turut aktif berperan di masyarakat santri bisa lebih dikenal dengan keluesannya dan juga benar apa yang dikatakan oleh mendiang Gus Dur bahwa kurang lebih 'dunia ini tidak butuh orang pintar namun kekurangan orang jujur.'

Selanjutnya adalah persoalan yang memang menjadi pelik dalam dunia pesantren dan juga dunia pendidikan secara umum, khususnya budaya literasi. Beban intelektual kurang lebih adalah beban yang disematkan kepada seseorang yang telah mengenyam pendidikan, yang dalam hal ini masih minimnya minat untuk membaca dan Survei Program for International Student Assessment (PISA) 2018 juga menunjukkan hasil yang memprihatinkan. Kemampuan membaca siswa Indonesia berada pada peringkat 10 besar terbawah dari 77 sehingga bisa dikatakan memprihatinkan. Kemudian terlintas kenangan diskusi kecil dengan KH. Husein Muhammad atau Buya Husein yang kurang lebih begini problem pesantren saat ini ialah bagaimana dengan seorang santri yang telah bisa membaca literatur klasik atau kitab kuning dengan fasih? Apakah pesantren juga mendorong minat baca santrinya sehingga tidak hanya tradisi pendidikan satu arah?. Perosalan turunannya adalah sebuah produk seperti halnya berapa buku yang dihasilkan dari pesantren setiap tahunnya menjadi benang kusut yang memang harus segera di atasi, meskipun terdapat tradisi bahtsu massail yang mengharuskan tiap peserta membawa buku atau kitab rujukan dari argumen yang dilontarkannya namun dalam hal tulis menulis tentu masih menjadi PR besar bagi rata-rata pesantren.

Kembali dengan tradisi pesantren yang terbilang 'langka' dalam transformasi keilmuannya ialah sesuatu yang disebut dengan barokah, dan hal ini sudah menjadi mafhum bagi setiap santri, seperti halnya sepintar apapun seorang santri tidak menjamin ia menjadi seorang yang sukses sepulangnya dari pesantren tanpa barokah dari pengasuh pesantren (baca; kyai). Selanjutnya apa yang dikatakan oleh KH. Dimyati Rois sangat menarik untuk direnungkan, kurang lebih begini 'apabila guru hanya melakukan transfer pengetahuan maka suatu saat guru itu tidak lagi dibutuhkan sebab Google dan AI lebih cerdas, akan namun jika yang di sampaikan adalah sebuah attitude maka sepanjang zaman guru akan terus dibutuhkan, sebab Google dan AI sama sekali tidak memilikinya'.

Sehingga tantangan untuk peringatan hari santri 2023 ialah bagaimana seorang santri menyelaraskan ketiga beban tersebut di masyarakat sehingga mampu mengurai persoalan-persoalan pelik dari gerak zaman yang kian tak tebendung. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun