Mohon tunggu...
KOMENTAR
Foodie Artikel Utama

Jalan Panjang Kopi Merapi

17 Mei 2015   16:41 Diperbarui: 29 Agustus 2019   16:02 5154 0

Yogyakarta tidak punya sejarah kuat mengenai tanaman kopi. 

Sejak lama Tanah Mataram ini lebih dikenal sebagai penghasil reramuan jamu, rempah masak, teh, dan hasil tani pegunungan segar yang sekira sama dengan banyak daerah lain. Di sekitarnya pun nyaris tak ada perkebunan kopi berskala besar, setidaknya sebelum perkebunan Losari di kaki Merbabu tak jauh dari Candi Borobudur, yang sejatinya juga masuk wilayah administratif Provinsi Jawa Tengah. 

Di luasan Pulau Jawa, kopi yang diakui otentik sebagai paling tua dan tradisional kiranya baru Kopi Ijen di pegunungan Bondowoso yang konon telah menjadi komoditas sejak era V.O.C. tahun 1700-an.

Akan tetapi waktu membuktikan Yogyakarta muncul ke permukaan sebagai daerah eksotis tujuan para peminum kopi, apalagi sejak era kopi jos dengan seduhan bara kayu dan penyajian kakilimanya. 

Kini, sejarah produksi kopi Yogyakarta coba memasuki tahap baru, coba memanen biji-bijian ajaib ini dari tanahnya sendiri. Dan sebagaimana dikenalnya sebagai tanah sakral berlapis tradisi, tempat mana lagi di Yogyakarta yang lebih subur dan otentik, kecuali kaki Gunung Merapi.

Sabtu pagi (16/5/2015), saya bersama kompasianer “isu kota” Ratih Purnamasari menghirup udara segar yang sama sejak berangkat dari kota Yogyakarta sekira pukul tujuh lebih sepuluh. Tak sampai setengah jam keluar dari keramaian lalu melewati jalan menanjak persawahan, saat udara perlahan semakin sejuk, kami tiba di gerbang masuk Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman. 

Udara begitu bersih di ketinggian 780mdpl ini, meski lalu-lalang truk penambang pasir di atas aspal rusak tetap merusak pemandangan. Tujuan kami adalah Dusun Petung, agak ke barat dari kantor desa dan belum begitu berkembang. 

Kami harus menembus hutan curam dengan jalan hancur berbatu karena dilindas truk-truk penambang pasir berplat luar daerah. Setelah jalan agak membaik dan membelok ke barat melewati Kalikuning, kami tiba di pelataran landai berpasir, persis di tengah-tengah jalur wisata off road Lava Tour. Bau debu vulkanik yang terhambur dari ban-ban kendaraan 4-WD selalu tajam menggelitik rongga hidung. 

Pada kedua sisi jalan tak banyak pepohonan selain tumbuh-tumbuhan pelindung dan beberapa tanaman kecil berdaun hijau mencuat di tanah. Hanya beberapa langkah dari kebun mini ini, membuka arah pandang langsung ke wajah cantik Merapi, warung “Kopi Merapi” berdiri rendah, di titik yang pas di mana kita bisa menikmati semburan gas tipis dari kawah puncak di utara dan pemandangan kota nun jauh di selatan. 

Pria berperawakan sedang, rambut tipis, senyuman ramah dan suara tenang, dengan kaus Stand Up Comedy KompasTV season 4 biru cerah menyambut kami. 

Sumijo (40) adalah petani kopi tulen yang juga pemilik “Kopi Merapi”, satu-satunya warung kopi di area ini. Dua cangkir disuguhkan dan kami langsung menyesap Robusta dan Arabika, dua rasa kopi tertua di dunia. Hangat di kerongkongan melebur rasa dengan sejuk udara di kulit. Raungan mobil-mobil Lava Tour diselingi sorakan girang wisatawan mengelilingi kami di kejauhan, dan Sumijo mulai menceritakan jalan panjang kopi di kaki merapi.

“Dulu memang tidak dikenal. Kami baru mulai seriusi kopi Merapi sejak 2004.” 

Sumijo menjelaskan, tanaman kopi di lereng Merapi Sleman sebetulnya sudah ada sejak zaman kolonial. “Sekitar 1930-an,” ujarnya sembari membetulkan posisi duduknya, “Nenek-kakek kami dulu sudah menanam kopi di sini. Entah bagaimana awalnya, tapi kebanyakan lahan penanaman kopi di sini sudah ada dari dulu. Saya sendiri mewariskan tanaman dan lahan kebun kopi kecil dari orang tua.”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun