Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

1,5 Tahun Lalu Report Kasus E-KTP Tidak Diborong, Sekarang Diborong: Tentang Majalah Tempo yang Habis

16 April 2013   10:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:07 490 0
Sekitar 1,5 tahun lalu, saya masih cukup ingat, ada Majalah Tempo yang covernya meng-highlite dan atau membahas kasus e-KTP secara khusus. Gambar cover seperti dalam note ini. Gambar Setya Novanto memang tidak sebesar pada majalah tempo pekan ini yang “diborong” oleh oknum. Apalagi gambar kover Majalah Tempo pekan ini juga memakai warna yang tendensius. Kuning.

Tapi saya ingat sekali saat itu di lantai Golkar (Fraksi Golkar, lantai 11-13, utamanya lantai 12) tidak terjadi kehebohan yang amat sangat. Seperti dalam kover yang gambarnya saya pakai, majalah tersebut dijual pada 26 September 2011. Dulu, saya memang ditempatkan sebagai pemantau independen terhadap RUU di DPR, dan setelah diacak (dengan teman-teman saya lainnya), saya mendapat jatah “bermukim” di golkar.

Saya ingat sekali, saat itu tidak ada perintah memborong majalah Tempo. Padahal, jika mau dibanding-bandingkan isi majalah tempo saat itu dengan majalah tempo yang diborong (mungkin ada yang senin ini tidak bisa beli kan ya), lebih “gawat” isi Tempo 1,5 tahun lalu, karena sifat bahasan lebih spesifik pada satu kasus. Bahkan sejatinya, jarang fraksi Golkar itu langganan koran tempo dan majalah tempo. Semacam “dijauhi”. Di DPR tiap anggotanya pasti langganan koran dan majalah. Tentu termasuk Golkar. Yang wajib dibeli tiap anggota fraksi Golkar, tentu saja koran Suara Karya, korannya Golkar.

Ini yang lebih lucu, menurut saya.  E-KTP sangat berkaitan dengan pemilu. Dulu, dalam bahasan RUU Pemilu, ada wacana idealis, e-KTP sebagai acuan utama data pemilih untuk pemilu 2014. Tapi pada September 2011 saja, tingkat perekaman data e-KTP amat rendah, dan dikebut (banget) sejak Februari 2012. Maka e-KTP tidak jadi sebagai acuan data pemilih dalam UU Pemilu yang disahkan, takut kacau datanya. Bayangkan saja, data kependudukan berbeda-beda. Bagi siapapun yang selama ini percaya bahwa penduduk Indonesia “baru” 250 juta, anda salah. Per Maret 2012, data Disdukcapil (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil) menulis bahwa angkanya mencapai 261 juta jiwa. Jumlah perekaman e-KTP tentu jauh lebih kecil dibanding angka tersebut. Jumlah pemilik KTP lama juga lebih kecil tentunya dibanding angka 261 juta jiwa. .

Apa yang lucu dari Golkar terkait e-KTP? Nah ini dia. Ranah pemilu tentu masuk dalam kajian Komisi 2 DPR RI. Lucunya, tiap kali Kemnedagri dan atau KPU (atau keduanya sekaligus) rapat dengan DPR, selalu anggota Golkar (yang laki saja) selalu mempermasalahkan tentang kasus e-KTP. Tapi, “angle” kasus e-KTP nya lebih menyudutkan pada suatu perusahaan tender tertentu. Batin saja, “gila nih, malah e-KTP terus diungkit-ungkit Golkar, bukannya diem aja, entar beneran kena lho”. Setidaknya, dalam September 2011 hingga Maret 2012 (pengesahan RUU Pemilu menjadi UU Pemilu), ada 8 kali rapat yang secara spesifik membahas e-KTP. Dan selalu diungkit masalah e-KTP, yang lucunya, yang paling kencang, malah Golkar sendiri.

Siapapun bisa tahu siapa itu Setya Novanto melalui google. Apalagi, ini merupakan tokoh sangat senior di Golkar, mungkin hanya Akbar Tandjung yang tahun kebersamaan dengan Golkar bisa mengimbangi Setya Novanto. Atau mencari tahu “buku” Setya Novanto untuk Soeharto, dan hal lainnya, bisa di googling. Ini note hanya akan mencari hal-hal “lucu dan absurd” tentang partai beringin ini.

Nah, sebetulnya Tempo juga pernah mengulas tokoh Golkar secara spesifik, dan juga diangkat dalam kover. Aziz Syamsudin, DPR juga, Golkar juga, tentang proyek Ceger (suatu daerah di Jakarta, pembangunan training center Kejaksaan Agung). Tapi tidak ada (tuh) perintah borong Tempo. Itu kalau Tempo pekan ini (gambar Setya) memang diborong simpatisan Beringin. Yuhuuu….

Kalau sampai diborong, artinya bener-bener partai beringin merasa 1,5 tahun “salah melakukan kebijakan” (untuk tidak memborong), dan mungkin karena laporan Tempo jauh lebih komplit, yang kali ini diborong. Bredel cara boros. Cara absurd ditengah kemajuan teknologi.

Sebetulnya, kalau saya harus mengasosiasikan Setya Novanto (selanjutnya dtulis SN biar hemat karakter), saya lebih teringat BBM, bukan e-KTP. Itu, 30 Maret 2011. Kalau lupa, tanggal itu, adalah tangal dimana untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, terjadi demo yang benar-benar rusuh di depan DPR. Tentu-lah saya ikut terjun meliput ke tengah jalan didepan DPR. Ditengah ratusan tembakan gas air mata. Ditengah bongkah-bongkah batu bata berceceran dan rusaknya pagar tol sepanjang depan DPR. Saya ingat sekali jam berapa mulai rusuh, 19.15. hingga jam 21.15. tentu dengan twitporter (melaporkan keadaan demo melalui twitter), saat itu dengan Pak Andreas Harsono. Kemudian (sebagai intermezo), rusuh yang parah terjadi di depan Salemba, dimana kalau masih ada yang ingat, sempat para pendemo terjebak didalam Universitas YAI, karena kabur dari kejaran polisi.

Kenapa saya lebih mengasosiasikan SN pada BBM? Jadi, setelah demo habis-habisan, saya balik ke lantai 12 DPR. Lantai Golkar tentunya. Sebetulnya diajak untuk ikut mantau paripurna di balkon ruang paripurna. Itu loh, paripurna yang sampai jam 1 pagi, yang akhirnya ga jadi menaikkan harga BBM. Saya lebih memilih berada di lantai 12, karena saya tahu sekali: beberapa elit fraksi berkumpul di lantai 12 (kecuali elit fraksi PDIP, PKS, dan Gerindra), di ruang SN ini. Kalau dipikir-pikir, Demokrat dan Golkar, atau lebih spesifik, SBY dan Ical, amat berhutang budi pada SN ini. Karena dengan lobi BBM (BBM yang ini maksudnya BB Messenger) sejak jam 5 sore ke berbagai fraksi yang diinisiasi oleh SN selaku ketua fraksi Golkar, maka “arah angin” (pergerakan isu kenaikan BBM) berubah arah. Dari awalnya hampir pasti dimenangkan PDIP-Gerindra (& PKS), menjadi berbalik ke rezim. Ada penjelasan tentang dinamika seharian 30 Maret 2012 di note lama saya.

Tapi ya efeknya, berkat lobi SN ini pun, nyatanya tidak ada penyesuaian harga BBM. Hal itu karena lobi SN ialah, jika harga minyak internasional menyentuh pada angka sekian (kalau tidak salah, 120 dollar/barrel), baru dinaikkan. Nyatanya harga minyak bumi tidak mencapai angka segitu, bahkan 3 bulan setelah rusuh tersebut. Iya, karena patokan akan dinaikkan atau tidak, mengacu apakah harga minyak bumi mencapai 120 dollar pada Juli 2012. Apalagi, saya baca-baca berita internasional malam ini, katanya harga minyak bumi terendah sejak 9 bulan terakhir.

Tapi kan masalah BBM di Indonesia tidak lagi masalah harganya, tapi kuota yang harus disubsidi yang amat kebablasan. Tahun lalu harus subsidi sekitar 240 Triliun. Tahun ini 300 Triliun, mungkin. Dan hingga malam ini pun, yang saya lihat, pemerintah tidak akan ada kenaikan BBM. Maka, berkat lobi SN dimasa lalu, ya akibatnya, melonjak pula beban APBN kita karena tidak kunjung ada sikap tegas pemerintah. Kalau dipikir-pikir, dalam sebulan ini hampir semua elit Golkar tidak ada yang berbicara tentang wacana kenaikan BBM loh, bahkan Ical sendiri setahu saya setelah cari-cari berita. Apakah Golkar menyadari “kesalahan lobi (SN)” dimasa lalu? Entahlah.. yang orang jurusan IP atau jurusan ekonomi atau jurusan teknik geologi atau teknik perminyakan yang lebih tahu. Tapi, ya bayangkan 300 Triliun habis hanya tuk asap, duh. Mubazir.

Hmm, saya bukan orang hukum. Jadi saya tidak akan bicara masalah status hukum. Itu ranah KPK. Tapi tuk mengakhiri tulisan ini, ada yang menarik juga di Golkar. Yaitu “oper dokumen”. Kebetulan saya sendiri yang ga sengaja melihat sendiri “oper dokumen”. Jadi, kalau tidak salah januari 2012, ruang anggota DPR tempat saya magang, ketambahan amat banyak dokumen, sekitar 2 kardus. Ternyata di tiap anggota Golkar lainnya, juga kedapatan “mendapat” jatah 1 kardus, atau setidaknya setengah kardus dokumen. Katanya dari salah satu ruang anggota Golkar lainnya. Saat itu, saya lupa tanggalnya, beredar isu kalau KPK akan melakukan sidak ke salah satu anggota Golkar di lantai 11-13. Oh ya, Golkar juga punya “gudang utama”. Tempat ruang kosong yang disetting untuk menumpuk darurat apapun. Tidak dikasih tulisan angka. Pokoknya kalau ada hal gawat, dokumen bisa digeser ke tempat itu. Tapi lebih aman, disebar ke ruang tiap anggota lainnya.

Bingung dong saya, koq dapat 2kardus. Isenglah saya buka-buka pas malamnya. Pas semua anggota DPr, semua staf, semua Tenaga Ahli di lantai 12 (juga lantai 11, dan 13) pulang. Malam, tapi sebelum menyentuh jam 8 malam karena jam segitu akan dimatikan lampu di DPR. Ya ternyata, dokumen-dokumen bermasalah. Saya tidak bilang dokumen menjurus korupsi loh. Tapi dokumen bermasalah. Minimal, salinan dari sebagian dokumen itu sudah pernah saya serahkan kepada orang yang ngerti hukum yang benar-benar saya percayai. Tapi mungkin tidak bisa diusut KPK. Semacam, dokumen-dokumen tersebut “menjurus”, tapi “kurang kuat sebagai barang bukti”. Jadi, kalau dulu KPK saat “bongkar” ruang SN hanya dapat 6 kardus dokumen mencurigakan, saya sih ketawa. Bisa jadi, sudah disebar ke berbagai ruang di 3 lantai. Tapi disisi lain, sekretaris pribadi SN kurang rapi menyebar 6 kardus sisa. Oh, yuhuuuu….

Biasanya, suara yang dibredel, dibungkam, atau “diborong”, bukannya melemah, tapi makin “keras”. Saya pernah koq mendapat ancaman sms saat saya masih magang di DPR. Gara-gara tulisan saya di medsoc atau apalah, mungkin gitu sebab saya diancam. Tapi ngapain takut sih. Lha wong sejak mahasiswa sampai saat ini pun, juga sering “disenggol” (diancam) untuk dibungkam gara-gara terlalu jujur dan kritis. Eh, hahaha… sudah sangat memaklumi ancaman-ancaman.

Twit @adimuliapradana

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun