Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

Peluang Korupsi Pasca-Gempa Aceh

12 April 2012   10:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:42 228 0
Sewaktu lindu besar melanda Aceh pada bulan Desember 2004, dunia terhenyak. Itulah satu di antara sedikit bencana alam yang mengakibatkan kerusakan hebat. Tsunami yang setinggi pohon kelapa meluluhlantakkan ribuan rumah di Serambi Mekah itu. Ribuan nyawa juga kembali ke haribaan-Nya.

Usai itu, bantuan dari banyak pihak berdatangan. Lembaga keuangan internasional juga turun tangan. Duit jutaan dolar membanjiri Aceh. Seharusnya, dengan kucuran duit sebesar itu, rehabilitasi aceh pascagempa dan tsunami bisa berjalan dengan efektif, cepat, dan ringkas.
Sayangnya, setelah beberapa lama dan sampai hari ini, masih ada korban gempa yang rumahnya masih belum berdiri. Ada banyak laporan media yang kemudian menyoroti korupsi bantuan kemanusiaan buat rakyat Aceh. Ya yang dilakukan oknum pejabat pemerintah daerah maupun person di lembaga keuangan yang mengelola dana publik itu.

Ada satu buku yang diterbitkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang isinya soal laporan media tentang korupsi di Aceh. Salah satunya soal korupsi dalam pengadaan rumah buat pengungsi korban gempa dan tsunami. Salah satu karya dalam buku berjudul Wajah Korupsi di Aceh itu ialah "Rumah Lapuk di Seunuddon". Yang menulis Maimun Asnawi. Ia wartawan Rajapost.

Dalam tulisan itu, Maimun mereportase bagaimana rumah yang dibangun dari bagian 50 rumah bantuan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh dan Nias (BRR). Tanah urukannya tak padat. Jika hujan, air menggenang. Papan dinding cepat berdedak dimakan rayap. Batu batanya bermutu rendah karena tak lama dibakarnya. Alhasil, rumah menjadi cepat rusak. Belum lagi fasilitas mandi, cuci, dan kakus. Sama dan sebangun jeleknya. Ini adalah contoh kecil betapa korupsi dana bantuan marak terjadi. Ini baru di satu titik. Belum di lokasi lain.

Korupsi dana bantuan memang tak cuma terjadi di Aceh. Saat gempa melanda Liwa, Kabupaten Lampung Barat, Lampung di era 1990-an, korupsi juga merajalela. Meski di pengadilan banyak yang lolos, nama bebaerapa pejabat selevel sekretaris daerah, bupati, dan Bappeda di zaman itu diketahui oleh khalayak secara luas. Bahkan satu di antaranya kini pejabat tinggi di institusi DPD.

Balik ke Aceh. Memang belum ada hitungan resmi soal berapa banyak bangunan yang rusak usai gempa 8,5 Skala Richter kemarin. Tapi pagi ini di Detikcom, minimal Rp2 miliar kerugian karena beberapa jembatan rusak. Saya berharap cuma ini kerugian yang terjadi. Mudah-mudahan tak ada rumah penduduk yang rusak parah dilanda lindu sehari yang lalu.

Akan tetapi, andai ada kerusakan dalam skala besar dan bantuan mengucur dengan deras, kita berharap tak ada lagi penyelewengan duit. Sudahlah orang terkena musibah, masih juga duit untuk mereka disunat. Miris. Kejam.

Nah, untuk mengantisipasi ini, kelompok masyarakat sipil kudu mengawasi setiap bentuk proyek buat korban gempa. Seberapa pun besarnya kocek yang dikeluarkan, mesti diawasi. Ajak semua komponen masyarakat untuk skeptis terhadap setiap bantuan yang diberikan.

Sudah menjadi tipikal bahwa proyek pembangunan rentan suap dan penyelewengan. Media massa di Serambi Mekah juga mesti memberikan porsi yang besar terhadap ini. Jika benar ada banyak bantuan, mesti disoroti sejak perencanaan hingga pembangunan kelar.

Tabiat korup memang tak lihat-lihat tempat. Mau proyek biasa atau untuk korban bencana. Asal ada peluang, ya diembat. Ini yang mesti dicegah bersama. Korupsi sekarang dilakukan berjemaah. Ada sistem yang bergerak mengejawantahkan niat maling duit rakyat. Maka itu, seyogianya masyarakat juga berjemaah dalam rangka mengawasi setiap proyek. Memelototi setiap bentuk pembangunan. Menelisik setiap peluang korupsi.

Para koruptor takkan berpikir dan punya welas asih, bahwa duit yang mereka curi ialah duit bantuan buat rakyat yang sedang susah. Sungguh kejam. Wallahualam bissawab.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun