Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Mimpi Indah

8 Mei 2012   06:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:33 289 1



Kicau burunglah yang membangunkannya pagi itu. Ah, atau barangkali sejuknya udara pagi. Tubuh tuanya bergidik kala dibelai embusan angin. Ia membuka matanya, disambut segera oleh pijar mentari yang masih menyembul malu-malu di balik bebukitan.

Ningsih tersenyum, bersyukur. Satu lagi hari di bumi… dan semuanya terasa begitu indah. Perlahan – mencoba menggunakan lengan kurusnya yang tak lagi bertenaga – ia bangkit, memposisikan bantal di belakang punggungnya, dan duduk bersandar. Hanya duduk bersandar, mengalamatkan pandangannya ke panorama alam di balik jendela kamar.

Burung-burung terbang berkejaran, desau angin mengkoreografi tarian pepohonan, semburat di langit tak ubahnya rona gadis belia yang tengah jatuh cinta, kokok ayam di kejauhan saling bersahutan… bukankah semua itu layak dinikmati?

“Kamu sudah bangun?”

Pria tua itu tersenyum begitu dia menoleh.

“Lho, mana si Sum? Kenapa malah kamu yang bawa sarapan?” tanya Ningsih pada Sis, suaminya, yang membawakan nampan berisi mangkok, teko, dan cangkir.

“Sum kusuruh mencuci baju saja,” jawab Sis, “Aku buatkan sarapan untukmu.”

“Kau sudah tua, bukan waktunya lagi untuk meniru tingkah Romeo.”

“Umur hanyalah angka, sayang,” jawab Sis, mengecup kening istrinya setelah meletakkan nampan di meja sebelah tempat tidur. “Bagaimana kabarmu pagi ini?”

“Aku merasa sangat sehat,” jawab Ningsih, tersenyum lemah.

“Oh ya? Syukurlah.” Sis balas tersenyum. “Mau kusuapi?”

Ningsih terkekeh. “Memangnya aku bayi?”

“Sudah, sini aku suapi.”

Ningsih tidak menolak lagi. Ia biarkan Sis menyuapinya. Rasanya seperti berusia 20-an lagi. Sembari bercanda, Ningsih menghabiskan bubur ayamnya. Nafsu makannya membaik. Mungkin inilah pertama kalinya dia menghabiskan seporsi bubur nasi setelah beberapa bulan lamanya. Sis gembira sekali melihat mangkok itu kosong tak berisi.

“Sepertinya kamu memang sudah sehat lagi, Neng.”

“Kan sudah kubilang,” senyum Ningsih, menyeruput teh melati hangat kesukaannya.

“Sudah lama sekali tidak melihat kamu sebugar ini.” Mata tua Sis sedikit berembun.

“Karena aku mimpi indah tadi malam, Kang…”

“Mimpi apa?”

“Mimpi kita makan malam bersama lagi… Bersama anak-anak kita…”

Trenyuh rasanya melihat senyum bahagia di wajah Ningsih. Sis paksakan untuk ikut tersenyum, ikut gembira, meski ia tahu mimpi Ningsih terlalu muluk untuk menjadi kenyataan… paling tidak, tak mungkin terealisasi dalam waktu dekat.

“Pasti mimpi yang sangat indah…”

Ningsih mengangguk. Ia pandangi mentari yang beranjak naik di luar sana. Ada kerinduan yang membuncah di dadanya.

“Temani aku keluar, Kang…”

Eh? Apa?”

“Aku mau jalan-jalan di luar. Temani aku,” ulangnya.

“Udara di luar masih dingin, nanti—”

“Tak apa. Aku kan sudah sehat lagi,” kekeh Ningsih.

Sis tak bisa menolak. Ia mengangguk, segera menyiapkan kursi roda untuk istrinya. Ningsih mengalungkan kedua lengannya di leher Sis, saat Sis menghela tubuh ringkih itu ke kursi roda. Sweater dan selimut Ningsih kenakan supaya badannya tetap hangat. Setelah itu, Sis pun mendorong Ningsih ke luar rumah.

Sis berhenti di teras, namun Ningsih ingin duduk di bawah pohong beringin, di ujung pekarangan rumah mereka yang berada di sebuah bukit kecil.

“Nanti kamu kedinginan.”

“Tak apa. Aku kan sudah sehat.”

Lagi-lagi Sis tak bisa menolak permintaan istrinya. Mereka akhirnya duduk bersama di bawah pohon beringin itu. Sis duduk di akar pohon yang menyembul dari balik tanah, menemani istrinya yang tersenyum memejamkan mata, membiarkan angin dan sinar surya menyapanya.

“Bagaimana kebun teh kita, Kang?”

“Aku suruh Maman saja yang mengatur semuanya.”

Ningsih menangguk-angguk. Ia mengedarkan pandangannya ke perkebunan teh di kaki bukit. “Cantik ya, pemandangannya.”

“Tidak secantik kamu, Neng.”

Ningsih tertawa serak. “Aku sudah dirubungi keriput, Kang.”

“Tapi keriput takkan pernah bisa merubungi keelokan hatimu.”

Rona di pipi Ningsih muncul lagi, menyalakan kembali cahaya kehidupan di wajah pucatnya.

“Kamu masih ingat kencan pertama kita?” tanya Ningsih.

“Tentu. Aku tak mungkin lupa. Di bawah pohon jambu punya Wak Haji Abdullah,” kekeh Sis.

“Dikerubungi nyamuk cuma untuk saling diam, tersenyum malu-malu.”

Sis tertawa. “Lalu hujan, dan akhirnya pamit pulang tanpa bisa bilang ‘aku cinta kamu’.”

“Hihihi. Masa-masa indah, ya?”

“Ya. Sangat indah.”

“Lalu piknik berdua di taman, beralaskan tikar bolong.”

“Rama masih kecil. Tiga tahun?”

“Dua tahun,” ralat Ningsih. “Ah… Rama. Apa kabarnya ya di Amerika? Aku kangen...”

“Aku yakin dia baik-baik saja dan merindukan kita,” jawab Sis, setelah berdeham.

Dia berbohong. Sakit rasanya membohongi istrinya sendiri. Tapi, ia tak mau merusak pagi indah itu dengan kenyataan yang perih. Kenyataan bahwa tak ada satupun anak-cucu yang merindukan mereka. Meski sudah berkali-kali ia coba untuk menelepon keempat anaknya, mereka cuma bilang akan pulang, akan menjenguk ibu, tanpa benar-benar berniat untuk melakukannya. Ada nada bosan, malas, dan sebal tiap kali Sis menelepon mereka. Beberapa kali telepon Sis bahkan dibiarkan begitu saja, tidak diangkat.

Ningsih mengangguk-angguk, tersenyum bahagia.

“Ah, bagaimana kalau kita piknik-piknikan, Kang? Untuk mengenang masa indah jaman dulu kala!”

“Piknik? Dimana?”

“Di sini saja. Gelar tikar, bawa dodol, dan wedang jahe.”

“Kamu serius?”

“Iya. Pasti menyenangkan.”

Sis termangu sejenak, tapi dia tersenyum dan mengangguk. “Tunggu sebentar, ya.”

Sis kembali ke dalam rumah. Sepuluh menit kemudian, dia datang membawa tikar dan pelbagai cemilan, dibantu Sum, asisten rumah tangga mereka yang setia.

“Duh, Nyonya! Nanti Nyonya masuk angin, lho!” kata Sum cemas, saat menggelar tikar di bawah pohon.

“Kalau begitu, tolong bawakan balsam dan minyak angin di kamar saya ya, Sum.”

“Baik, Nya.”

Sum kembali ke rumah, sementara Sis menata toples-toples berisi dodol, semprong, wajik, dan segala rupa. Ia tuangkan juga wedang jahe ke dua buah gelas. Barulah dia bantu Ningsih untuk duduk di atas tikar.

Piknik dadakan yang menyenangkan. Bahkan Sum tersenyum senang melihat kedua majikan tuanya bergembira. Langit cerah, udara mulai menghangat, seolah Tuhan sendiri tak ingin merusak kebahagiaan kecil itu.

Keduanya bercengkrama, tertawa, bercanda, mengenang indahnya masa muda, dan kemudian hanya saling diam menatapi awan yang berarak. Ningsih meletakkan kepalanya di bahu Sis. Sis menggenggam tangan Ningsih dengan lembut di pangkuannya. Tak perlu ada kata, tak perlu ada puisi indah… yang ada hanyalah samudera kasih yang menenggelamkan mereka dalam bahagia.

“Mereka takkan datang, kan?” tanya Ningsih.

Sis terdiam, tak tahu harus menjawab apa.

“Katakan saja, Kang…”

“Mereka akan berusaha untuk datang,” jawab Sis, setengah berbohong.

“Kamu pembohong yang buruk, sedari dulu.”

Sis terkekeh. Kekehannya berakhir canggung ditelan kesunyian.

“Apa kita yang salah, Kang?”

“Mungkin akulah yang salah.

“Tapi kamu ayah yang baik…”

“Kau lebih baik hati. Terkadang, aku terlalu keras pada mereka.”

“Mungkin ini salah kita berdua.”

“Mungkin…”

Diam lagi.

“Andai aku bisa memutar waktu, Kang.” Setitik air mata jatuh dari pipi Ningsih.

“Itu impian setiap manusia, Neng. Sayangnya, kita tidak bisa memutar waktu.”

“Aku merindukan mereka, Kang. Semuanya. Rama, Nenden, Aji, Diah… Semuanya…”

Suara Ningsih bergetar dalam kerinduan dan kesedihan.

“Kita pasti akan berkumpul lagi, seperti mimpimu.”

“Tapi kapan?”

“Segera. Pasti.”

“Waktuku tak banyak lagi, Kang,” isak Ningsih.

“Kalau begitu, mereka pasti akan datang lebih cepat dari yang kita duga. Secepat kilat!”

Ningsih tertawa dalam tangisnya.

“Kamu masih saja pembohong yang buruk, Kang…”

“Andai aku adalah pembohong ulung, Neng. Dengan begitu, kamu akan percaya dengan semua kebohongan indahku.”

Ningsih tersenyum. Dia lap airmatanya, lalu mengucapkan “terima kasih, Kang…”

***

Belum pernah Ningsih sebahagia hari ini sejak kanker menggerogoti raganya. Usia piknik, Sis membawanya berjalan-jalan. Mereka bertemu dan bercengkrama dengan para pemetik teh, memetik bunga, naik delman, berbelanja buah-buahan di pasar, bercengkrama, dan akhirnya pulang saat sore hari tiba.

Sore hingga malam mereka lewati dengan minum teh bersama, sembari memutar ulang lagu-lagu favorit mereka di tape butut yang usianya sudah mencapai dua puluh tahun. Puluhan kaset mereka putar. Ratusan lagu mereka dengarkan. Keroncong, jazz, The Beattles, hingga Benyamin S.

Begitu lagu Bengawan Solo mengalun, Ningsih meminta Sis untuk mengajaknya berdansa.

“Tapi kakimu…”

“Kuat kok. Aku kan sudah sehat,” kekeh Ningsih.

Sis tersenyum mafhum. Ia membantu Ningsih berdiri, dan menari bersama. Dibilang menari pun kurang tepat, sebab mereka hanya saling berpelukan dan bergoyang pelan ke kanan dan ke kiri. Tapi itu sudah cukup buat mereka.

Itu sudah cukup buat Ningsih.

Ia bahagia sekali.

Malam semakin larut, namun Ningsih menolak untuk naik ke atas tempat tidur. Ia masih ingin duduk bersama sang suami, berdua, di sofa, mendengarkan alunan lagu yang diputar ulang berkali-kali.

“Aku tidur di pangkuanmu saja ya, Kang…” kata Ningsih, merebahkan kepalanya di paha Sis.

“Kau sudah tua, bukan waktunya lagi untuk meniru tingkah Juliet,” canda Sis.

“Tapi aku tak mau jadi Juliet. Aku ingin menjadi Ningsih untukmu, Kang.”

“Dan kamu akan selalu menjadi Ningsih buatku, Neng.” Sis mengecup lembut kening istrinya.

“Terima kasih, Kang…”

Lagu lembut terus mengalun. Teh dan bakpia sudah ludes tak tersisa. Ningsih akhir terlelap, dengan senyum terulas di wajahnya. Embusan nafasnya begitu damai, begitu tentram, hingga akhirnya raib dicuri usia.

Hari terakhir yang menyenangkan. Hari terakhir yang membahagiakan. Hari yang sederhana memang, namun itu sudah cukup.

Itu sudah cukup buat Ningsih.

***

Tak ada yang dapat menyamai kesedihan Sis. Tangis Sum yang deras pun takkan mampu menandingi tangisan hati Sis. Ningsih telah berpulang… tanpa mengajaknya ikut serta. Ningsih telah pergi di pangkuannya. Tersenyum, di rangkulannya.

Padahal Sis hendak membangunkan Ningsih, supaya mereka berdua kembali ke kamar. Namun Ningsih tak kunjung bangun. Tak ada nafas, tak ada denyut kehidupan, Ningsih telah berpulang. Rasanya, jiwa Sis meluruh saat itu juga. Pujaan hatinya telah tiada? Sis bingung bukan main. Ningsih pergi? Kemana Sis harus mencarinya? Kemana dia harus pergi untuk mendapatkan kembali belahan jiwanya? Permata hidupnya? Mataharinya? Kemana? Dimana?

Air mata serta-merta berebutan untuk mengalir, setelah Sis sadar dia tak mungkin mendapatkan Ningsih kembali di dunia ini. Jadi, dia dekap saja raga tak bernyawa di pangkuannya itu dengan erat. Dalam getar, Sis mengelus rambut Ningsih, mencium pipinya, bibirnya, meski tak berbalas.

"N-Ningsih... N-Neng..." panggilnya, serak, tercekat.

Tak ada jawaban. Hanya senyuman.

Tangis Sis pun semakin jadi. Ia tak tahu berapa lama ia menangis. Bisa jadi sampai pagi, sampai Sum terbangun dan kaget mendapati nyonya majikannya telah wafat.

Setidaknya, dia pergi dengan bahagia. Setidaknya, dia pergi tanpa menderita, tanpa sakit, tanpa tersiksa. Setidaknya…

Air mata meluncur lagi. Pilu. Kesedihan ini tak tertahankan. Hati mana yang kuat menghadapi duka macam ini?

Ningsih – wanita yang telah menemani hidupnya selama hampir setengah abad, terus berada di sampingnya dalam segala suka dan duka, mendampinginya lebih lama ketimbang sang bunda – kini telah tiada. Raganya ada, belum dikubur, namun hanya cangkang kosong tanpa makna. Ningsih di dalamnya telah mencapai Nirwana… tanpa mengajaknya ikut serta.

Tak ada lagi senyumnya, tak ada lagi pelukan hangatnya, tak ada lagi tawanya… yang tersisa hanyalah kenangan semata. Ia sudah terbiasa dengan sosok Ningsih di sisinya, begitu terbiasa dengan aroma bedak talcumnya, begitu terbiasa tatapan mata sendunya, terlalu terbiasa dengan genggaman hangatnya, hingga terasa tak terbayangkan ia kehilangan semua rasa yang ada.

“Ayah…”

Sis terkejut mendengar suara anak bungsunya. Ia pikir ia bermimpi.

“D-Diah…” suara seraknya nyaris tercekat di tengah tenggorokan.

Putri bungsunya melepaskan koper yang ia tenteng. Dia tak percaya melihat ada bendera kuning di depan pintu rumahnya.

“Diah…” Sis bangkit menyongsong putrinya.

“I-Ibu? Ibu mana?” tanyanya, dengan suara bergetar.

“Ibu sudah tenang, nak. Ibu sudah tenang.”

Tangis Diah pecah hanya diinterupsi oleh keterkejutan singkat. Diah menangis penuh sesal di pelukan ayahnya. Jutaan kata maaf yang ia ucapkan pun takkan dapat membawa nyawa ibunya kembali ke dunia.

Namun tak mengapa. Tak ada yang perlu disesalkan. Tak ada yang perlu disalahkan. Ningsih mimpi indah kemarin malam. Sangat indah hingga ia tersenyum bahkan di akhir hayatnya.

“… Aku mimpi indah tadi malam, Kang… Mimpi kita makan malam bersama lagi… Bersama anak-anak kita…”

***

A short story by Adham T. Fusama

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun