Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Filsafat Reaksioner dan Filsafat Revolusioner

8 April 2023   00:33 Diperbarui: 8 April 2023   01:46 790 1
Pendidikan filsafat pada masa kini telah menjadi instrumen kelas penguasa untuk mempertahankan dominasinya atas masyarakat. Filsafat kelas penguasa adalah filsafat yang mengajarkan gagasan-gagasan statis dan reaksioner. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan status quo dan menghindari pemikiran revolusioner yang dapat mengganggu tatanan sosial yang ada. Sebagai contoh, banyak masyarakat diajarkan filsafat reaksioner seperti postmodernisme, yang lebih fokus pada penolakan terhadap kebenaran objektif dan menunjukkan bahwa segala hal bersifat relatif dan subjektif. Meskipun filsafat memiliki potensi untuk memicu pemikiran kritis dan revolusioner seperti halnya filsafat dialektika, pendidikan filsafat saat ini lebih memilih untuk menjaga stabilitas daripada mendorong perubahan yang lebih baik.

Perlu diketahui bahwa filsafat merupakan sebuah metode berpikir yang berbeda dengan metode berpikir sehari-hari yang umumnya kita gunakan. Dalam filsafat, kita tidak hanya berhenti pada pengetahuan yang bersifat sementara, tetapi mencoba untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam dan mendalam tentang suatu masalah atau fenomena. Filsafat berusaha untuk menemukan dasar-dasar yang mendasari semua hal yang ada di dunia ini, serta mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk dijawab melalui metode berpikir sehari-hari. Dalam filsafat, kita mempertanyakan hal-hal yang kita anggap sudah pasti dan mencoba untuk melihatnya dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Dalam hal ini, filsafat lebih fokus pada pemikiran analitis dan kritis, serta menggunakan logika sebagai alat untuk mencapai kesimpulan yang lebih akurat dan obyektif. Melalui filsafat, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita sendiri, masyarakat, dan dunia di sekitar kita. Filsafat juga membantu kita untuk memahami nilai-nilai yang mendasari tindakan dan keputusan kita, serta membantu kita dalam memahami dan menghadapi permasalahan yang kompleks dan sulit untuk diatasi.

Meskipun filsafat merupakan sebuah metode berpikir yang berbeda dengan metode berpikir sehari-hari, namun tetap memerlukan basis material yang mendasarinya. Filsafat tidak akan muncul apabila kita tidak memiliki kebutuhan dasar seperti makanan, air, dan tempat tinggal yang memadai. Karena itu, kita harus memenuhi kebutuhan material dasar agar dapat mengembangkan pemikiran filosofis yang lebih mendalam. Dalam filsafat, kita mempertanyakan dan merenungkan hal-hal yang bersifat abstrak, seperti arti kehidupan, hakikat manusia, dan konsep kebenaran. Namun, pemikiran filosofis tersebut juga dipengaruhi oleh pengalaman kita dalam menghadapi realitas material yang kita hadapi sehari-hari. Tanpa adanya pengalaman-pengalaman tersebut, filsafat hanya akan menjadi wacana kosong yang tidak memiliki landasan yang kuat. Sebaliknya, dengan memperhatikan kebutuhan material kita, filsafat dapat membantu kita untuk mencari solusi dalam menghadapi persoalan-persoalan kehidupan.

Filsafat adalah bentuk ekspresi intelektual atau kebenaran pada suatu masa, karena munculnya filsafat selalu terkait dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan politik suatu masyarakat. Disisi lain, filsafat tidak dapat dipisahkan dari moda produksi yang ada pada suatu periode sejarah umat manusia. Moda produksi yang berkembang pada suatu masa dapat mempengaruhi pemikiran filosofis yang muncul pada masa tersebut. Sebagai contoh, pada zaman feodalisme, pemikiran filosofis yang dominan adalah filsafat reaksioner yang menekankan pada kepatuhan terhadap aturan dan tradisi. Hal ini terkait dengan sistem produksi feodal yang bersifat statis dan hierarkis. Sementara itu, dalam perkembangan awal dari sistem produksi kapitalis, filsafat yang muncul menjadi lebih progresif dan menekankan pada kebebasan individu dan rasionalitas. Artinya, filsafat sangat dipengaruhi oleh perkembangan moda produksi pada suatu masa. Filsafat juga sangat memainkan peran penting dalam mengubah cara berpikir dan bertindak suatu masyarakat, sehingga mempengaruhi perkembangan moda produksi ke tahap yang lebih tinggi. Dalam kesimpulannya, hubungan antara filsafat dan moda produksi sangat erat dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Revolusi neolitik adalah titik awal dari perkembangan awal dari filsafat. Revolusi neolitik tidak hanya memungkinkan manusia untuk mengembangkan masyarakat yang lebih kompleks, tetapi juga memungkinkan perkembangan awal dari filsafat yang terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat dan teknologi. Hal ini disebabkan karena perubahan yang terjadi pada masa itu menandai transisi manusia dari kehidupan nomaden menjadi pemukiman tetap. Perubahan ini memungkinkan manusia untuk mengembangkan sistem pertanian dan peternakan yang lebih efisien, yang pada gilirannya memungkinkan mereka untuk menetap dan membentuk masyarakat yang lebih kompleks. Dalam lingkup masyarakat yang lebih besar, manusia mulai mempertanyakan hakikat keberadaan mereka dan hubungan mereka dengan alam sekitar. Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi dasar dari perkembangan awal dari filsafat. Pada saat itu, kepercayaan religius dan mitos masih menjadi dasar pemikiran manusia, namun kemunculan filosofi Yunani kuno menandakan transisi ke era pemikiran rasional yang lebih maju.

Kesadaran manusia pada umumnya cenderung konservatif karena mereka merasa nyaman dengan keadaan yang telah mereka kenal dan kuasai. Namun, alam selalu memaksa manusia untuk berubah. Sebagai contoh, nenek moyang manusia di Afrika pada awalnya cenderung ingin berada di posisinya, tetapi alam memaksa mereka untuk bergerak, dan akhirnya terjadi evolusi pada fisik mereka. Proses evolusi ini membutuhkan waktu yang sangat panjang karena manusia harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Perubahan ini memaksa manusia untuk belajar dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan, seperti kemampuan berburu, pertanian, dan teknologi. Evolusi ini juga mempengaruhi cara manusia berpikir, membuat mereka harus berpikir rasional. Pada akhirnya, perkembangan manusia ini membentuk peradaban dan masyarakat yang lebih maju dan kompleks. Meskipun manusia pada awalnya merasa enggan untuk berubah, mereka akhirnya terpaksa melakukannya untuk bertahan hidup dan berkembang. Perubahan alam dan lingkungan yang terjadi di seluruh dunia saat ini menuntut manusia untuk beradaptasi dan berubah. Hal ini termasuk dalam mengatasi berbagai masalah sosial dan lingkungan yang semakin kompleks dan memerlukan solusi yang rasional.

Perkembangan awal filsafat terutama melibatkan tiga tokoh penting, yaitu Socrates, Plato, dan Aristoteles. Mereka hidup pada masa demokrasi Yunani Kuno dan berkontribusi besar terhadap pemikiran filsafat pada masa itu. Sayangnya, tidak ada satu pun tulisan Socrates yang selamat, yang tersisa hanya dialog-dialog yang ia miliki. Dialog-dialog Socrates sering dikenal sebagai metode dialektika. Dialektika menjadi kata kunci dalam filsafat Socrates, yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti "dialog" atau "diskusi". Dialektika melibatkan argumen yang saling kontradiktif, dimana diskusi antara dua argumen akan menemukan tingkatan yang lebih tinggi. Namun, kelemahan dalam pendekatan Socrates adalah terbatas pada dialog saja, bukan dari materi yang dibahas. Aristoteles dan Plato, murid Socrates, kemudian melanjutkan dan mengembangkan filsafat Socrates. Aristoteles, sebagai filsuf yang menerapkan pemikiran sistematis dan rasional, memperkenalkan logika sebagai metode yang tepat dalam memahami dunia.

Pada awal perkembangan filsafat, dialektika menjadi salah satu filsafat yang paling menonjol dan menjadi fondasi penting bagi filsafat perubahan. Filsuf pertama yang dikenal dalam kaitannya dengan dialektika adalah Heraclitus. Ia mengamati dunia bergerak dan menyadari bahwa segala sesuatu dalam dunia selalu berubah, tidak ada yang tetap dan konstan. Filsafat Heraclitus menjadi terkenal sebagai filsafat revolusioner karena pandangannya yang berbeda dengan kelas penguasa pada masanya yang cenderung ingin mempertahankan status quo. Heraclitus melihat bahwa segala sesuatu dalam alam dan manusia selalu berada dalam keadaan yang bertentangan, sehingga perubahan tidak dapat dihindari.

Socrates hidup pada masa demokrasi Athena, dimana terdapat kebebasan yang luas bagi pemilik budak. Pada masa lalu, pemilik budak memiliki kebebasan yang luas dalam mempekerjakan budak mereka. Budak dianggap sebagai milik dan bukan sebagai manusia yang sepadan manusia lainnya. Konsep kerja pada masa itu adalah hal yang sangat merendahkan martabat manusia.

Dalam situasi seperti itu, muncul orator-orator ulung yang dinamakan sebagai kaum Sofis. Dalam masa itu, muncul kaum Sofis yang berusaha mengkritisi segala hal yang ada, menyerang dogma lama dan ortodoksi yang sudah ada. Namun, akhirnya kaum Sofis dibayar oleh politisi, yang membuat mereka menjadi subyektif dalam mengambil keputusan. Protagoras, salah satu tokoh Sofis, menganggap kebenaran adalah subyektif dan ini menjadi dasar dari idealisme subyektif. Meskipun begitu, terdapat sumbangsih dari Socrates dan kaum Sofis dalam mengungkapkan kontradiksi internal yang ada dan menjadikannya generalisir. Socrates dan kaum Sofis mencoba untuk mengkritisi setiap pandangan dan keyakinan yang ada, mempertanyakan dan merangkum ide-ide yang saling bertentangan untuk mencapai kebenaran yang lebih universal dan objektif. Hal ini menciptakan fondasi penting bagi perkembangan filsafat di masa depan.

Meskipun terdapat banyak kelemahan dalam pendekatan kaum Shopis yang cenderung subyektif, Socrates dan kaum Shopis memberikan sumbangsih penting bagi perkembangan filsafat pada masa itu. Mereka berhasil mengungkapkan kontradiksi internal yang ada pada berbagai aspek kehidupan dan menjadikannya sebagai generalisir yang dapat diaplikasikan secara universal. Pendekatan Socrates yang terfokus pada dialog dan diskusi telah membantu memperkuat metode dialektika sebagai salah satu fondasi utama dalam filsafat perubahan. Meskipun tidak ada tulisan langsung dari Socrates yang selamat, dialog-dialog yang ia miliki memberikan kontribusi besar bagi pengembangan pemikiran filosofis pada masa itu. Sedangkan kaum Shopis, meskipun terkadang terdorong oleh motif politik, berhasil menyerang dogma lama dan ortodoksi, dan menjadi pionir dalam mengkritisi berbagai aspek kehidupan. Namun, harus diakui bahwa kelemahan subyektifisme yang dominan pada kaum Shopis menjadi kritik yang kuat dalam perkembangan filsafat pada masa itu.

Salah satu murid Socrates yang berusaha meneruskan pemikiran gurunya adalah Plato. Dia mencoba melakukan generalisir dengan cara yang berbeda dari kaum Shopis, yaitu dengan memperkenalkan mistisisme dalam pemikirannya. Plato menganggap bahwa bentuk-bentuk ideal, seperti lingkaran, tidak berkaitan dengan dunia materi yang fana. Plato meyakini bahwa bentuk-bentuk ideal tersebut bersifat abadi dan hanya bisa diakses melalui pemikiran. Oleh karena itu, dia lebih banyak merenungkan bentuk-bentuk yang sempurna dibandingkan dengan dunia materi yang tidak sempurna. Plato menempatkan ide-ide dan konsep-konsep abstrak di atas materi, dan menekankan pentingnya akal budi dan pemikiran rasional dalam mencari kebenaran.

Namun, filsafat Plato memiliki konsekuensi yang fatal. Generalisir yang dia lakukan menuju ke tingkatang yang sangat ekstrim, yakni mempertentangkan ide dengan materi, dan pandangan manusia hanya diarahkan menuju idealisme. Hal ini menjadi basis bagi gereja Katolik yang menghambat kemajuan sains selama ribuan tahun. Filsafat Plato merupakan filsafat yang reaksioner diakibatkan pandangannya yang bersifat mistis dan abstrak hanya mengabaikan keberadaan dunia nyata. Karena pemikiran Plato yang memprioritaskan kebenaran abadi dan universal, maka hal ini menghalangi pemikiran yang lebih rasional dan empiris untuk muncul dalam dunia filsafat. Filsafat Plato menempatkan penekanan yang berlebihan pada pengetahuan yang bersifat spekulatif dan tidak didasarkan pada pengamatan dan eksperimen yang objektif. Oleh karena itu, filsafat Plato hanya menciptakan hambatan bagi kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan, dan menyebabkan keterbelakangan dalam berpikir serta keterhambatan dalam mengembangkan pengetahuan baru.

Aristoteles, seorang murid Plato, mengembangkan pendekatan filosofis yang berbeda. Selama dua puluh tahun ia mempelajari filosofi Plato namun tidak sepenuhnya setuju dengan pemikirannya. Aristoteles percaya bahwa pengetahuan harus didasarkan pada pengamatan yang teliti terhadap fakta-fakta konskrit di dunia materi. Ia memulai dengan pengamatan langsung melalui indra-indra manusia, dan dengan demikian menciptakan metode induksi. Metode ini melibatkan mengumpulkan data atau fakta dan menarik kesimpulan yang umum berdasarkan bukti tersebut. Aristoteles menyadari bahwa dunia di sekitarnya sangat kompleks dan bahwa teori abstrak tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan atas semua pertanyaan. Oleh karena itu, ia menciptakan suatu pendekatan ilmiah yang disebut empirisme, di mana pengamatan dan eksperimen digunakan untuk memperoleh pengetahuan. Aristoteles juga memperkenalkan logika formal yang menjadi dasar bagi banyak penemuan ilmiah di kemudian hari. Ia adalah tokoh yang sangat penting dalam sejarah filsafat karena kontribusinya yang besar dalam mengembangkan metode ilmiah dan logika.

Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, salah satu kontribusi terbesar Aristoteles adalah metode silogisme atau deduksi, yang menjadi dasar logika formal. Logika formal merupakan bentuk logika yang menggunakan aturan-aturan yang ketat dan diterapkan pada struktur argumen yang terdiri dari premis dan kesimpulan. Aturan-aturan ini membantu dalam mengidentifikasi kesalahan dalam berpikir dan memastikan kebenaran suatu argumen. Aristoteles percaya bahwa logika formal dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari, karena ketika sebuah argumen dikonstruksi dengan benar, kesimpulan yang dihasilkan akan secara otomatis benar juga. Oleh karena itu, Aristoteles menekankan pentingnya mengenali prinsip-prinsip dasar dalam logika formal, seperti prinsip identitas (A sama dengan A), prinsip kontradiksi (tidak mungkin A sama dengan B), dan prinsip eksklusi tengah (suatu pernyataan harus benar atau salah, tidak ada opsi di tengah-tengah). Dalam pemikirannya, Aristoteles juga menekankan pentingnya memulai penyelidikan dari fakta-fakta konskrit di dunia materi dan menggunakan metode induksi untuk menghasilkan kesimpulan yang lebih umum.

Meskipun Aristoteles terkenal dengan logika formalnya, kenyataan sehari-hari jauh lebih kompleks daripada hanya mengandalkan logika formal. Proses-proses formal yang sederhana mungkin tidak dapat merepresentasikan realitas secara penuh. Contohnya, dalam tubuh manusia, terjadi perubahan yang sangat kompleks dan dinamis yang sulit untuk direpresentasikan secara formal. Keterbatasan dalam memahami dunia dalam gerak yang sangat dinamis telah menghasilkan doktrin-doktrin gereja yang mengandalkan teori-teori Aristoteles sebagai dasarnya. Namun, dalam realitas yang lebih kompleks, logika formal hanya dapat memberikan pemahaman yang terbatas dan terbatas pada situasi yang sangat sederhana saja.

Masyarakat budak di Yunani Kuno dan Romawi Kuno mencapai puncaknya pada sekitar abad ke-1 sebelum masehi. Pada saat itu, kelas penguasa mengalami demoralisasi akibat korupsi yang merajalela. Kelas budak, meskipun hidup dalam keterbelakangan dan kesulitan, tidak menjadi kelas revolusioner. Akhirnya, terjadi pertempuran antara kedua kelas yang berujung pada kehancuran mereka sendiri. Seiring dengan itu, munculnya abad pertengahan yang merupakan bentuk kemunduran dari filsafat dan peradaban umat manusia. Pada masa itu, terjadi kehancuran secara massal dan sering kali terjadi konflik antara kelompok-kelompok kekuatan. Kehidupan masyarakat pada abad pertengahan dipenuhi dengan perang, kelaparan, dan kehancuran. Selain itu, dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, kemajuan yang ada pada zaman Yunani Kuno dan Romawi Kuno mulai meredup dan bergerak lambat. Tidak ada perkembangan yang signifikan dalam hal penemuan dan ilmu pengetahuan yang berarti. Abad pertengahan menjadi masa yang paling sulit bagi manusia dan melambangkan kemunduran peradaban manusia.

Pada saat Eropa masih berada di abad pertengahan, ada sebuah peradaban lain yang mengalami zaman keemasan dalam dunia filsafat, yaitu peradaban Islam. Masyarakat Islam pada masa itu mencapai kemajuan yang signifikan dalam bidang intelektual dan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah dunia, periode kebangkitan intelektual di dunia Islam sering disebut sebagai "Zaman Keemasan Islam" atau "Zaman Kegemilangan Islam". Zaman ini dimulai pada abad ke-8 Masehi dan berlangsung selama beberapa abad. Pada masa itu, pusat-pusat ilmu pengetahuan dan intelektual di dunia Islam, seperti Baghdad, Kairo, dan Cordoba, menjadi tempat bagi para ilmuwan dan filosof Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pemikiran mereka. Di sana, para ilmuwan dan filosof Islam menghasilkan karya-karya yang mengagumkan dalam berbagai bidang, termasuk matematika, astronomi, filsafat, dan kedokteran. Filsuf-filsuf Islam seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, dan al-Ghazali, memberikan kontribusi besar dalam mengembangkan pemikiran filsafat Islam. Mereka membahas tentang berbagai topik, seperti teologi, metafisika, dan epistemologi, dan menghasilkan karya-karya yang masih relevan hingga saat ini. Selain itu, perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia Islam juga mencakup penemuan-penemuan penting, seperti penemuan angka nol, algebra, dan kertas.

Dalam perkembangan filsafat di dunia Islam pada masa keemasannya, para filsuf Muslim terbukti memiliki kontribusi penting dalam mengembangkan pemikiran dan filsafat di dunia. Mereka tidak hanya mengembangkan filsafat yang muncul dalam tradisi Islam, tetapi juga mewarisi dan mengembangkan filsafat dari Yunani kuno dan Romawi kuno. Sebelum kedatangan Islam ke Timur Tengah, filsafat Yunani dan Romawi sudah berkembang pesat di wilayah tersebut. Pada masa itu, karya-karya filosof seperti Aristoteles, Plato, dan Plotinus diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan diadopsi oleh para filsuf Muslim. Mereka mempelajari dan mengembangkan konsep-konsep seperti logika, metafisika, dan etika dalam filsafat Yunani dan Romawi. Namun, para filsuf Muslim tidak hanya sekadar menerjemahkan dan mengadopsi pemikiran Yunani dan Romawi, tetapi juga memberikan kontribusi dan pengembangan unik terhadap pemikiran tersebut. Misalnya, Ibnu Sina (Avicenna) mengembangkan filsafat metafisik dan karyanya "Kitab al-Shifa" dikenal sebagai salah satu karya terpenting dalam sejarah filsafat. Selain itu, Ibnu Rusyd (Averroes) juga memberikan kontribusi penting dalam pengembangan pemikiran Aristoteles, dan karyanya yang paling terkenal, "Tafsir al-Qanun", membahas tentang filsafat Aristoteles dan memberikan pandangan filosofis yang berbeda dari yang sebelumnya ada. Para filsuf Muslim juga meneliti dan mengembangkan ilmu pengetahuan lain, seperti astronomi dan kedokteran, yang pada akhirnya memberikan pengaruh yang signifikan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di seluruh dunia.

Perkembangan filsafat dalam dunia Islam pada masa keemasannya tidak hanya terbatas pada bidang filsafat itu sendiri, tetapi juga memberikan pengaruh signifikan dalam perkembangan masyarakat dan ekonomi di dunia Islam. Dalam masyarakat Islam pada masa itu, terdapat kelas-kelas sosial yang diatur berdasarkan status sosial dan ekonomi mereka. Kelas-kelas ini terdiri dari para pemimpin dan elit politik, pedagang, petani, serta para pekerja dan budak. Di sisi ekonomi, perdagangan berkembang pesat di dunia Islam pada masa itu, terutama dalam perdagangan rempah-rempah dan sutera, yang menghasilkan banyak kekayaan dan kemakmuran bagi masyarakat Islam. Selain itu, perkembangan sains dan teknologi di dunia Islam pada masa itu juga memberikan kontribusi besar dalam kemajuan ekonomi, seperti dalam bidang astronomi, matematika, dan kedokteran. Sains dan teknologi yang dikembangkan oleh para ilmuwan Muslim, seperti Al-Khwarizmi dan Ibnu Sina, memberikan kontribusi penting dalam pembangunan dan pengembangan sektor ekonomi di dunia Islam. Namun, meskipun ada perkembangan yang signifikan dalam ekonomi dan sains, masalah sosial juga terjadi di dunia Islam pada masa itu. Kesenjangan sosial dan ketidakadilan masih ada dalam masyarakat Islam, terutama antara para elit dan rakyat biasa.

Pada abad ke-13, masyarakat di dunia Islam mengalami kontradiksi internal yang sangat rumit, khususnya dalam hal perbedaan kelas sosial yang semakin memperburuk keadaan. Kelas atas, termasuk kaum penguasa, mengambil keuntungan dari kekayaan dan kekuasaan mereka sementara kelompok bawah, termasuk rakyat biasa dan kaum budak, terus menderita dalam kemiskinan dan ketidakadilan. Kesenjangan sosial dan ketidakpuasan masyarakat semakin memuncak, dan mengakibatkan konflik antar kelas semakin meningkat. Ditambah lagi, invasi Mongol pada masa itu memperburuk situasi di dunia Islam, karena invasi ini mengakibatkan kerusakan besar-besaran dan kehancuran dalam peradaban Arab. Banyak kota dan pusat budaya Islam dihancurkan oleh pasukan Mongol, termasuk Baghdad yang merupakan pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan pada masa itu. Akibatnya, peradaban Arab mengalami kehancurannya dan masyarakat di dunia Islam mengalami krisis yang sangat besar.

Meskipun mengalami kehancuran yang besar pada masa invasi Mongol, perkembangan filsafat di dunia Islam tidak sepenuhnya terhenti. Banyak karya-karya filsafat Islam berhasil disimpan dan diwariskan ke generasi berikutnya, yang kemudian mempengaruhi perkembangan filsafat di masa depan. Selain itu, perkembangan filsafat di dunia Islam juga berhasil dipindahkan ke Eropa melalui perjumpaan antara peradaban Arab dan Eropa pada abad ke-12 dan ke-13. Pada masa itu, dunia Islam masih menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang dihormati di seluruh dunia. Banyak ilmuwan, filsuf, dan intelektual dari Eropa datang ke dunia Islam untuk mempelajari dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan filsafat. Dalam proses ini, perkembangan filsafat di dunia Islam berhasil diadopsi dan dikembangkan oleh Eropa. Para ilmuwan dan filsuf dari Eropa belajar banyak dari karya-karya terdahulu yang ditulis oleh para filsuf Islam, seperti Aristoteles, Plato, dan Socrates. Mereka juga mengambil banyak ide dan konsep baru dari para filsuf Islam yang belum pernah dipelajari sebelumnya di Eropa. Hal ini memungkinkan perkembangan filsafat Eropa yang lebih maju dan beragam. Perkembangan filsafat di Eropa terutama terjadi pada abad ke-14 hingga ke-17, ketika banyak filsuf besar lahir dan berkarya, seperti Rene Descartes, John Locke, dan Immanuel Kant. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan filsafat di Eropa tidak mungkin terjadi tanpa sumbangan yang besar dari peradaban Islam.

Pada saat ilmu-ilmu filsafat dipindahkan dari dunia Arab ke Eropa, Eropa sedang dalam periode feodal yang dipenuhi dengan dogma gerejawi. Filsafat dianggap sebagai teologi dan gereja-gereja Eropa mengambil sisi konservatif dari filsafat kuno. Sains, yang dianggap sebagai ancaman bagi kepercayaan gereja, diabaikan dan ditolak sama sekali. Filsafat di Eropa pada saat itu adalah campuran mistisisme Kristen dan idealisme Plato. Salah satu contohnya adalah konsep universalitas Agustin dalam objek-objek materi, seperti manusia. Menurut Agustin, konsep universalitas hanya dimiliki oleh Tuhan, dan bukan oleh manusia. Pemikiran rasional juga dibungkam oleh gereja-gereja Eropa pada saat itu. Kebenaran hanya bisa dimiliki oleh Tuhan, dan manusia tidak memiliki hak untuk memiliki kebenaran tersebut. Akhirnya, kebenaran ini dipegang oleh orang "paling suci", yaitu para pendeta.

Pada masa tersebut, pemikiran kritis terhadap dogma gereja ditekan dan dihentikan oleh institusi gereja. Namun, terdapat kelompok filsuf empirisme yang mulai muncul di Eropa pada abad ke-17. Empirisme adalah bentuk pemikiran yang obyektif dan rasional, yang bertentangan dengan pandangan subyektif yang dianut oleh gereja. Empirisme menekankan pada pengalaman sebagai sumber pengetahuan yang utama, dan menolak penggunaan spekulasi teologis yang tidak terbukti. Para filsuf empirisme, seperti John Locke, David Hume, dan Francis Bacon, menekankan pada pentingnya observasi dan eksperimen dalam mencapai kebenaran. Mereka mengkritik gagasan-gagasan metafisika yang dipaksakan oleh gereja dan menuntut penggunaan metode ilmiah yang objektif dan terbukti. Pemikiran-pemikiran ini kemudian memunculkan sebuah revolusi ilmiah, yang membuka jalan bagi kemajuan teknologi pada dan ilmu pengetahuan pada abad modern revolusi industri.

Akibat filsafat-filsafat yang berkembang adalah filsafat revolusioner, gereja pada abad pertengahan melarang konsep Ibn Rusyd dan Aristoteles, serta mencoba memengaruhi pemikiran dan ideologi masyarakat dengan ofensifnya. Mereka berusaha untuk mengubah konsep Aristoteles dengan gagasan Plato agar sesuai dengan pandangan gereja. Salah satu tokoh yang memengaruhi pemikiran pada saat itu adalah Aquinas. Dia mencoba untuk mempertahankan dominasi gereja dengan mencampurkan materialisme Aristoteles dengan idealisme Plato. Aquinas mengakui bahwa pengetahuan diperoleh melalui indera, namun ia menekankan bahwa pengetahuan juga harus diperoleh melalui roh. Meskipun begitu, pemikiran kritis terhadap dogma gereja tidak sepenuhnya dihentikan. Filsuf empirisme mulai muncul dengan pendekatan obyektif yang berlawanan dengan pandangan subyektif gereja. Namun, gereja masih terus berusaha memelihara dominasinya dan melarang pemikiran yang tidak sejalan dengan pandangan mereka.

Namun, pada Abad 18, masyarakat feodal mencapai limitnya dengan adanya pertumbuhan populasi manusia dan munculnya kota-kota. Munculnya kelas borjuasi, yang merupakan kelas baru dalam masyarakat, membawa perubahan signifikan dalam pemikiran dan nilai-nilai sosial. Kelas borjuasi merupakan kelas yang berpikiran progresif dan ingin membebaskan diri dari pengaruh dogma gereja. Mereka sangat terbuka terhadap ilmu pengetahuan dan sains, yang memungkinkan mereka untuk menciptakan teknologi baru dan kemajuan dalam produksi. Gagasan-gagasan baru mulai bermunculan, seperti liberalisme, yang mengedepankan kebebasan dan hak individu. Sains dan pemikiran rasional menjadi sangat penting dalam perkembangan filsafat dan masyarakat pada waktu itu. Kelas borjuis yang baru juga mulai menantang otoritas monarki dan gereja, yang telah menguasai masyarakat selama berabad-abad. Hal ini memunculkan gerakan revolusioner dan perjuangan untuk memperoleh hak-hak asasi manusia yang lebih luas dan lebih adil.

Pada abad ke-18 juga terjadi perkembangan pesat dalam ilmu sains dan teknologi. Perkembangan ini ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran revolusioner yang merongrong hegemoni gereja feodal. Kelas borjuasi yang muncul pada saat itu, sebagai kelas yang memegang kendali dalam bidang ekonomi, mengembangkan sains dan teknologi untuk kepentingan ekspansi dan produksi. Namun, upaya mereka ini menemui hambatan dari gereja feodal yang masih memegang kendali atas kosmologi dan astronomi. Bagi kaum feodal, tanah masih menjadi prioritas utama, sehingga mereka berusaha mempertahankan kosmologi dan astronomi dalam bentuk yang tidak berubah-ubah. Di sisi lain, kaum borjuasi merasa perlunya navigasi untuk kepentingan perdagangan dan eksplorasi, sehingga mereka menolak kosmologi dan astronomi yang hanya bersifat dogmatis dan statis. Akibatnya, kaum borjuasi pada masa itu bersifat revolusioner dalam mencari cara-cara baru untuk memperoleh pengetahuan yang lebih akurat dan berguna untuk kepentingan mereka.

Doktrin gereja tentang kosmologi dan astronomi diperdebatkan oleh para ilmuwan seperti Kepler. Gereja menetapkan bahwa bumi adalah pusat tata surya dan diam di tempat, tetapi Kepler membuktikan bahwa matahari yang menjadi pusat tata surya. Kemajuan metode empiris dalam sains, yang dipelopori oleh para filosof seperti John Locke, semakin menghantam doktrin gereja. Pengetahuan harus didasarkan pada observasi dan eksperimen, bukan hanya tergantung pada keyakinan atau dogma gereja. Selain itu, kaum borjuis awal menjadi semakin revolusioner karena mereka membutuhkan navigasi untuk ekspansi dan penguasaan wilayah, sementara feodalisme hanya puas dengan tanah. Perkembangan ini mengubah tatanan sosial dan politik, dengan munculnya kelas-kelas baru seperti kelas borjuis yang melawan dogma gereja dan sains.

Meskipun empirisme memiliki kelebihan dalam metode observasi dan eksperimen, namun kelemahannya adalah kurang mempertimbangkan deduksi. Dalam pemikiran deduktif, kesimpulan ditarik berdasarkan prinsip-prinsip yang sudah diterima, sedangkan dalam pemikiran induktif, kesimpulan ditarik dari pengamatan dan pengalaman yang spesifik. Keduanya sebenarnya saling melengkapi dalam mencari kebenaran, namun pemikiran empiris cenderung hanya mengandalkan fakta dan pengamatan semata, sehingga terkesan mengabaikan prinsip-prinsip yang sudah diterima sebelumnya. Seiring berkembangnya zaman, pemikiran empiris kemudian mengalami kemunduran pada perkembangan filsafat selanjutnya.

Kemunduran empirisme dalam filsafat tidak bisa dipisahkan dari batas-batas yang ada pada moda produksi kapitalisme. Hal ini terlihat jelas ketika kaum borjuis Inggris yang sebelumnya revolusioner tidak lagi memiliki semangat untuk menumbangkan monarki di negaranya. Kemunduran ini dipicu oleh kebutuhan borjuis untuk mempertahankan status quo yang ada, karena pada saat itu mereka telah menjadi penguasa ekonomi dan politik. Pada saat yang sama, muncul kelompok filsuf yang mencoba menciptakan sistem filsafat yang dapat mempertahankan status quo ini. Mereka mencoba mengembalikan kepercayaan pada rasionalitas dan konservatisme, dan menolak ide-ide revolusioner.

Ketika empirisme Inggris sudah tidak memiliki esensi revolusionernya, semangat revolusionernya diteruskan oleh borjuasi Prancis. Filsuf pencerahan Prancis seperti Voltaire, Diderot, dan Rousseau menjadi tokoh penting dalam gerakan melawan dogma gereja. Mereka mendorong pemikiran rasional dan kritis, serta mengecam ketidakadilan dan ketidaksetaraan sosial yang terjadi pada saat itu. Pemikiran-pemikiran mereka berdampak besar pada masyarakat Prancis dan di seluruh Eropa, yang membawa perubahan signifikan dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi. Perjuangan mereka melawan dogma gereja dan monarki juga memunculkan konsep-konsep baru seperti kebebasan, kesetaraan, dan hak asasi manusia. Meskipun banyak konflik dan perlawanan dari pihak gereja dan aristokrasi, borjuasi Prancis berhasil meraih kemenangan pada Revolusi Prancis pada tahun 1789, yang mengubah wajah Eropa selamanya.

Disisi lain, ada juga perkembangan filsafat di Jerman. Kant bisa dikatakan sebagai anak zaman pada periode Aufklarung. Dia mengembangkan epistemologi. Dia membedakan memahami dengan menalari. Menurut kant, materialis menekankan pada sisi obyek, tapi melupakan subyek. Sementara idealis, sebaliknya. Pikiran manusia tdk secara pasif menerima informasi, tapis secara aktif menerima itu. Namun, bagi Kant, pikiran manusia adalah bentuk dari apriori atau yang sudah ada dari awal. Kant memperkenalkan pemisahan antara fenomena dan noumena, yang kemudian dikenal sebagai kritik Kantian. Dia berpendapat bahwa pikiran manusia terbatas pada persepsi yang diperoleh melalui indera, dan tidak bisa mencapai realitas yang sebenarnya atau noumena. Filsafat Kant ini sangat memengaruhi pemikiran filsafat selanjutnya, termasuk Hegel dan Marx.

Hegel adalah seorang filsuf Jerman yang menggabungkan semua pencapaian filsafat sebelumnya dan mengembangkan konsep dialektika. Dia mempelajari sejarah dan filsafat, dan menarik kesimpulan bahwa gagasan manusia berkembang dan evolusi itu teratur dengan hukum-hukumnya. Hegel berpendapat bahwa sebuah konsep berkembang dari negasi ke negasi, atau dalam bahasa lain, dari sebuah ide yang ditentang hingga ide baru yang lebih baik terbentuk. Konsep ini kemudian mengarah pada dialektika, sebuah metode yang menempatkan perdebatan dan kontradiksi sebagai faktor penting dalam pemikiran. Dalam karyanya, "History of Philosophy", Hegel menguraikan bagaimana perkembangan pikiran manusia terjadi dalam suatu sistem yang saling berkaitan dan bagaimana hal itu membentuk pemikiran kita saat ini.

Hukum negasi ke negasi yang diungkapkan oleh Hegel dapat diterapkan pada berbagai bidang ilmu, termasuk fisika. Contohnya adalah dalam kajian fisika klasik Newton, di mana hukum gravitasi dan hukum gerak ditemukan. Namun, dalam memahami fenomena yang lebih kompleks seperti mekanika kuantum atau relativitas umum, fisika klasik tidak lagi cukup. Dalam hal ini, fisika modern tidak menyangkal hukum-hukum fisika klasik Newton, tetapi justru mengembangkannya ke tahap yang lebih tinggi. Dalam fisika modern, terdapat konsep-konsep seperti mekanika kuantum, relativitas umum, dan teori medan yang mampu menjelaskan fenomena-fenomena yang lebih kompleks, namun tetap mempertahankan dasar-dasar fisika klasik yang telah dikembangkan sebelumnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan selalu mengikuti hukum negasi ke negasi yang diungkapkan oleh Hegel.

Dialektika Hegel memiliki keterbatasan karena ia hanya berfokus pada domain gagasan. Meskipun ia dapat menjelaskan sejumlah kontradiksi dalam ide, ia terbatas dalam menjelaskan faktor-faktor materiil yang mendasarinya. Namun, Hegel menganggap bahwa perkembangan kontradiksi ini dipicu oleh Roh Absolut yang bertindak sebagai kekuatan penentu di dunia ini. Tujuan akhir dari dialektika Hegel adalah negara, yang ia lihat terwujud dalam bentuk negara Jerman di bawah pemerintahan Bismarck. Meskipun demikian, pandangan Hegel sangat dipengaruhi oleh filsafat idealis, di mana ia menempatkan nalar dan roh sebagai aspek terpenting dari realitas, dan menganggap materi sebagai aspek yang inferior.

Marx muncul sebagai penyelamat filsafat Hegelian dari idealisme absolutnya. Ia mengamati bahwa perubahan besar terjadi pada dunia materi, bukan pada ranah ide. Marx menyintesis hipotesis Hegel tentang hukum dialektika pada materi yang ada di dunia ini. Dengan cara tersebut, Marx memberikan karakter ilmiah pada dialektika Hegelian. Menurut Marx, perkembangan dunia terjadi melalui konflik kekuatan yang saling bertentangan dan menghasilkan sintesis baru yang merupakan tingkat perkembangan yang lebih tinggi. Ia melihat perjuangan kelas sebagai kekuatan penggerak sejarah dan meyakini bahwa kapitalisme pada akhirnya akan mengalami kejatuhan.


Marx memperkuat materialisme dialektika dengan cara mengembangkan teori ekonomi politik praktis yang ilmiah. Menurut Marx, produksi materi adalah yang paling mendasar dalam kehidupan manusia. Dia mengklasifikasikan masyarakat berdasarkan hubungan produksi mereka. Dalam masyarakat kapitalis, buruh dipekerjakan oleh pemilik modal untuk memproduksi barang. Namun, buruh tidak diberikan bayaran yang adil sehingga terjadi eksploitasi. Menurut Marx, eksploitasi ini terjadi karena kepemilikan alat produksi berada di tangan sedikit orang. Marx juga mengatakan bahwa masyarakat harus berjuang untuk mencapai masyarakat sosialis yang adil dan setara. Dalam hal ini, Marx menjadi sosialis ilmiah yang menggabungkan teori dengan aksi revolusioner untuk mencapai kemerdekaan manusia dari penindasan.

Disisi lain, Marx mengambil teori materialisme dari Feuerbach dan mengubahnya menjadi konsisten dan revolusioner. Sebelumnya, materialisme adalah fiksafat yang mekanistik dan tidak memiliki peran dalam perubahan sosial. Namun, Marx mengubah pandangan tersebut dengan menghubungkan materialisme dengan kondisi ekonomi dan sosial yang ada. Dia menekankan pentingnya produksi dalam membentuk struktur sosial, serta hubungan antara pemilik modal dan buruh dalam mempengaruhi perubahan sosial. Marx juga menekankan pentingnya perjuangan kelas dalam mencapai kebebasan dan kesetaraan bagi semua orang. Melalui pandangan materialisnya, Marx berpendapat bahwa perubahan sosial akan terjadi melalui perubahan materi yang mendasari masyarakat, bukan melalui perubahan moral atau ideologis semata. Pandangan ini membuat Marx menjadi salah satu pemikir revolusioner yang paling berpengaruh dalam sejarah.

Filsafat Marx sering disebut sebagai materialisme dialektika.Konsep ini melibatkan pendekatan dialektis dalam melihat dunia. Dalam pandangan ini, segala sesuatu dalam dunia adalah proses yang terus berubah dan terkait satu sama lain dalam suatu sistem yang kompleks. Materialisme dialektika menekankan pentingnya faktor material dalam membentuk dunia dan menyangkal adanya realitas metafisik atau spiritual. Konsep ini juga menekankan pentingnya perubahan sosial yang terjadi melalui konflik dan perjuangan kelas. Materialisme dialektika juga menekankan bahwa perubahan tidak terjadi secara linear atau teratur, melainkan dalam bentuk konflik antara kekuatan yang bertentangan. Dalam materialisme dialektika, kontradiksi dan konflik dianggap sebagai bagian yang penting dari proses perubahan. Perubahan sosial selalu terjadi melalui perubahan dalam produksi materi dan hubungan sosial yang berkaitan dengannya. Materialisme dialektika menjadi dasar bagi pemikiran Marx dan Engels tentang revolusi proletar dan perjuangan kelas dalam mencapai kesetaraan dan keadilan sosial.

Karl Marx mengakhiri satu bab dalam sejarah filsafat manusia dengan kalimatnya yang terkenal: "Para filsuf menafsirkan dunia dengan berbagai cara, padahal yang terpenting adalah mengubah dunia." Dalam kalimat ini, Marx mengkritik pandangan para filsuf sebelumnya yang hanya terfokus pada pemikiran dan gagasan tanpa memperhatikan dampaknya pada dunia nyata. Ia menekankan bahwa filsafat tidak hanya sebagai wacana atau teori yang bersifat spekulatif, melainkan harus memiliki tujuan untuk merevolusionerkan dunia dan membawa perubahan yang nyata. Marx memperjuangkan pandangan yang menyatakan bahwa pemikiran yang benar harus diuji dengan tindakan dan perubahan sosial yang konkret. Marx ingin agar filsafat tidak hanya menjadi kegiatan yang intelektual dan terpisah dari kenyataan, tetapi harus memiliki pengaruh pada dunia nyata dan dapat membawa perubahan sosial yang lebih baik. Filsafat harus menjadi alat untuk mengkritik dan merubah dunia, bukan hanya menjadi sekadar teori tanpa relevansi praktis. Dengan demikian, Marx membuka bab baru dalam dunia filsafat dan memberikan inspirasi bagi kaum revolusioner dan kelas buruh untuk menggunakan filsafat sebagai alat untuk menciptakan perubahan sosial yang menuju pada sosialisme.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun