Republik seharusnya res-publica, rakyat berdaulat-kuasa, bukan papan terbuka segelintir elit untuk perebutan tahta dan harta. Demokrasi seharusnya demos-cratein,pemerintahan daulat rakyat, bukan demo-kreasi, ajang adu-rekayasa berongkos raksasa dengan menghamburkan uang negara, menggeser hak rakyat untuk sejahtera. Alhasil, pesta demokrasi republik akhirnya menjadi pesta demon-crazy dalam repot-publik, ‘setan-setan’ berpesta menggila, merepotkan dan menguras deposit energi negeri triliunan kalori perhari. Hari-hari publik semakin pelik,wong cilik semakin tercekik, rakyat senen-kemis di ambang putus asa, lalu harus bagaimana?
Masa depan suram, akhirnya harapan ‘terpaksa’ bertumpu pada mitos, kisah, pekabaran silam dan legenda, bahwa “Satrio Piningitakan datang di ujung zaman sebagaiRatu Adil,utusan dewa batara juru selamat umat manusia. “Tanpa harapan, bagaimana spesies manusia akan bertahan dalam seleksi alam dalam pertarungan peradaban? Ini hanya sepenggal kisah, tapi apa bedanya kisah dengan sejarah? Bukankah sejarah dan pahlawan hanyalah kumpulan kisah heroik sebuah bangsa, gabungan antara kejadian nyata atau legenda, plus sedikit rekayasa ‘juru tulis’ penguasa lalu diresmikan di kitab-kitab tebal perpustakaan nasional? Dalam sejarah ada kisah, dalam kisah ada sejarah, percampuran mitos,gugon tuhon, fakta, obsesi, teori dan filosofi yang dikemas brilian untuk kemudian dijadikan panduan ber-tata masyarakat, tata bangsa dan tata negara.