Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Open Puskesmas: Inovasi Baru Reformasi Birokrasi di Kota Banda Aceh

13 Februari 2015   18:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:15 354 0
Di Indonesia, jaminan keterbukaan informasi telah diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Lahirnya UU ini menjadi jaminan bagi warga negara untuk mendapatkan hak atas informasi yang dibutuhkan, termasuk informasi di sektor kesehatan pada berbagai level, baik Dinas Kesehatan, RSUD hingga Puskesmas. Undang-undang yang mulai berlaku sejak 1 Mei 2010 tersebut telah mendorong tumbuhnya partisipasi masyarakat dalam proses perbaikan layanan publik.

Kota Banda Aceh merupakan kota paling terbuka di Aceh berdasarkan Penganugerahan Penghargaan Badan Publik yang diberikan oleh Komisi Informasi Aceh pada tahun 2013. Predikat yang sama kembali diraih Kota Banda Aceh pada tahun 2014. Kota Banda Aceh juga meraih prestasi di level nasional. Pada tahun yang sama, Kota Banda Aceh meraih peringkat nomor 4 nasional berdasarkan Kajian Indonesia Goverment Index (IGI). Kota Banda Aceh berada di bawah Kota Jogyakarta (6,85), Semarang (6,30) dan Kabupaten Gunung Kidul (6,08) yang menempati rangking 1,2 dan 3. Deretan prestasi di atas menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Banda Aceh memiliki komitmen yang tinggi menuju tata kelola pemerintahan yang baik, termasuk dalam aspek keterbukaan informasi publik.

Pertanyaan kemudian adalah sejauhmana upaya Pemerintah Kota Banda Aceh dalam upaya memastikan seluruh Badan Publik menerapkan UU Keterbukaan Informasi Publik? Bagaimana dengan semangat dan perwujudan pelembagaan informasi publik tersebut pada level yang lebih rendah, seperti Puskesmas yang juga sebagai Badan Publik? Apakah selama ini sudah menerapkan aspek keterbukaan informasi sebagai bagian dari reformasi birokrasi dan perbaikan layanan publik?

Sudarliadi, aktivis Komite Pemantau dan Advokasi Hak Anak [KAPHA] pernah mengajukan permohonan informasi kepada Puskesmas Jeulingke dan Puskesmas Baiturrahman di Kota Banda Aceh. Permohonan yang diajukan pada bulan Agustus 2014 itu akhirnya sampai pada tahapan keberatan, dalam masa tersebut data yang dimintakan akhirnya diperoleh juga.




Hal yang sama juga dialami oleh Zulfa Hendra. Sebagai bagian dari pengurus Persatuan Penyadang Disabilitas Indonesia [PPDI] Aceh, ia mengajukan informasi ke Puskesmas Lampaseh terkait skema atau prosedur layanan terhadap penyandang disabilitas dan laporan penggunaan dana Bantuan Operasional Kesehatan [BOK]. Ia juga mendapatkan informasi tetapi sudah melalui tahapan keberatan.



Berbeda dengan di Dinas Kesehatan, pengalaman Yulindawati, seorang perempuan yang aktif di isu kesehatan, mendapatkan dokumen perencanaan dan anggaran dinas tersebut dalam waktu tiga hari kerja.

Fakta di atas menunjukkan bahwa keterbukaan informasi pada level Puskesmas di Kota Banda Aceh masih belum terkelola dengan baik. Belum ada pelembagaan dengan membangun sistem yang memastikan publik mendapatkan informasi secara mudah, cepat dan pasti. Beberapa Kepala Puskesmas mengakui tidak ada informasi yang ditutupi tetapi disadari bila pengelolaannya belum merujuk pada UU Keterbukaan Informasi Publik. Diakui pula tingkat pengetahuan dan pemahaman tentang keterbukaan informasi sebagai amanat UU yang menjadi bagian dari reformasi birokrasi belum menjadi perhatian yang serius. Puskesmas juga tidak memiliki sumber daya memadai untuk mengelola informasi publik sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

Dengan diberlakukannya Open Puskesmas maka ruang lingkup informasi yang yang terbuka terkait dengan 1] Informasi berkaitan dengan Badan Publik, 2] Informasi kegiatan dan kinerja Badan Publik, 3] Informasi tentang laporan keuangan, dan 4] Informasi lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini menggambarkan bahwa Puskesmas bukan terbuka pada informasi umum seperti alur layanan, Standar Operasional Prosedur [SOP] dan jumlah tenaga medis dan para medis yang ada. Akan tetapi juga terbuka pada informasi terkait dengan dokumen perencanan dan penganggaran, termasuk laporan realisasi belanja Puskesmas yang selama ini masih dianggap rahasia Puskesmas.

Akibatnya, tidak ada kejelasan alur layanan informasi kepada publik, sehingga mengaku sangat terkejut ketika ada warga yang meminta informasi menggunakan UU Keterbukaan Informasi Publik. Tetapi semua ini tidak terlepas dari paradigma sumber daya Puskesmas yang terjebak pada “kami ini petugas kesehatan” dan terkesan akan menjadi beban baru bila menerapkan UU Keterbukaan Informasi Publik. Paradigma ini bertentangan dengan UUD 1945 dalam Pasal 28F yang menjamin setiap orang berhak memperoleh informasi sebagai salah satu hak dasar warga negara.

Open Puskesmas Sebagai Inovasi Baru

Reformasi Birokrasi memang menuntut komitmen kuat Puskesmas untuk hijrah dari belum adanya tata kelola yang baik dan sulit diakses ke kondisi yang lebih tersistematis, terlembaga dan dapat diakses oleh masyarakat.

Open Puskesmas adalah sebuah inovasi baru, sebagai upaya memperluas keterbukaan informasi publik hingga ke level Puskesmas. Sebab, Puskesmas dapat dinyatakan sebagai badan publik karena juga mengelola dana negara. Selain itu, upaya Open Puskesmas ini akan memperpendek akses masyarakat untuk memperoleh informasi, jika suatu informasi memang dikelola dan dihasilkan oleh Puskesmas tanpa harus bermohon pada Dinas Kesehatan. [Afrizal Tjoetra, Ketua Komisi Informasi Aceh]

Membangun tata kelola keterbukaan informasi Puskesmas sebenarnya untuk memberikan kemudahan layanan informasi bukan hanya kepada masyarakat secara luas, tetapi juga kepada perempuan, kelompok disabilitas dan kelompok rentan lainnya. Hal yang sama juga akan diterima Puskesmas ketika keterbukaan informasi diwujudkan. Open Puskemas secara tegas menentukan tentang pembagian kewenangan pemberian informasi kepada publik, antara kewenangan Dinas Kesehatan dengan kewenangan Puskesmas. Dengan demikian, Open Puskesmas menjadi babak baru yang menjadi bagian dari reformasi birokrasi dengan perbaikan layanan publik yang mengedepankan keterbukaan informasi di Kota Banda Aceh.

Terdapat beberapa alasan krusial pentingnya membangun Open Puskesmas di Kota Banda Aceh. Pertama, keberhasilan reformasi birokrasi tidak terlepas dari keterbukaan informasi. Dengan demikian, pembangunan sektor kesehatan akan lebih optimal apabila agenda reformasi birokrasi menjadikan keterbukaan informasi sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Kedua, keterbukaan informasi akan meningkatkan keterlibatan warga dalam pembangunan sektor kesehatan. Semakin terbukanya Puskesmas akan semakin tinggi pula kepercayaan masyarakat dan kemudian akan berpartisipasi dalam upaya perbaikan layanan Puskesmas. Hal ini relevan dengan tinggingya kunjungan warga sebagai pengguna layanan. Data tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh, menunjukkan rata-rata per Puskesmas dikunjungi 22.398 orang per tahun, atau 1.866 orang per bulan.

Data di atas menunjukkan bahwa perempuan merupakan pengguna layanan yang lebih dominan dibandingkan laki-laki. Oleh karena itu, tata kelola keterbukaan informasi harus memberikan aksesibilitas kepada perempuan, termasuk kelompok disabilitas dan kelompok rentan lainnya. Ketiga, Keterbukaan informasi adalah salah satu poin penting dari pelayanan publik sebagaimana amanat UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Apabila Puskesmas dikelola secara tertutup maka sebenarnya tidak konsisten dengan semangat optomalisasi kualitas pelayanan publik. Dan terakhir, dengan membangun Open Puskesmas menjadi sebuah terobosan sekaligus komitmen nyata menerapkan UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, PP No. 46 Tahun 2014 Tentang Sistem Informasi Kesehatan, Permenkes No. 75 Tahun 2014 Tentang Pusat Kesehatan Masyarakat.

Banda Aceh Merintis Jalan Baru

Saat ini Kota Banda Aceh sedang berproses menerapkan inovasi baru mewujudkan keterbukaan informasi publik di Puskesmas. Dinas Kesehatan Kota Aceh, bersama Komisi Informasi Aceh dan KRB Kota Banda Aceh sudah menyatakan komitmennya yang tertuang dalam Nota Kesepahaman Mewujudkan Open Puskesmas Berdasarkan UU Keterbukaan Informasi Publik Di Kota Banda Aceh. Para pihak yang menandatangani Nota Kesepahaman ini menyatakan berkomitmen melakukan persiapan untuk membangun keterbukaan informasi di Puskesmas.

Meskipun awalnya dalam nota kesepahaman tersebut minimal akan diterapkan di dua Puskesmas sebagai percontohan, tetapi kemudian semua Puskesmas sepakat agar Open Puskesmas tersebut diberlakukan di seluruh Puskesmas di Kota Banda Aceh. Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh bersama seluruh Puskesmas sedang berbenah menyiapkan sistem pendukung seperti ketersediaan Daftar Informasi Publik (DIP), Tim Open Puskemas, Standar Operasional Prosedur (SOP) Informasi Publik dan sumber daya yang menggerakkannya.

Komitmen Pemerintah Kota Banda Aceh mendapatkan dukungan positif dari DPRK Banda Aceh. Komisi D telah menyatakan akan mengawasi pelayanan publik di Puskesmas termasuk mengalokasikan anggaran dalam upaya pelembagaan keterbukaan informasi bernama Open Puskesmas. Komisi D sebagai mitra Dinas Kesehatan, dengan fungsi-fungsi yang melekat memiliki kewenangan untuk memastikan keterbukaan informasi berjalan secara baik di Puskesmas.

Dalam proses advokasi, KRB Kota Banda Aceh membangun kemitraan lintas pihak. Tantangan perdana adalah bagaimana meyakinkan Kepala Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh bahwa Open Puskesmas itu penting. Ketika “restu” dari Kepala Dinas sudah ada, tantangan berikutnya adalah membangun hal yang sama kepada para Kepala Puskesmas. Ini tentu proses yang tidak mudah ditengah masih adanya keterbatasan pemahaman tentang UU Keterbukaan Informasi Publik sekaligus merubah paradigma menjadi terbuka. Akan tetapi, tantangan tersebut dapat dilalui dengan baik. Hal ini tidak terlebas dari kuatnya komitmen Kepala Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh dan konsistennya Komisi Informasi Aceh, termasuk Ombudsman RI Perwakilan Aceh yang senantiasa berkontribusi menuju Open Puskesmas. Avokasi menuju Open Puskesmas pun semakin nyata ketika mendapatkan dukungan dari unsur PPID Utama Kota Banda Aceh.

Open Puskesmas di Kota Banda Aceh akan diluncurkan dalam momentum memperingati Hari Ulang Tahun [HUT] Pemerintah Kota Banda Aceh pada bulan April 2015 mendatang. Komisi Informasi Aceh kemudian akan melakukan supervisi selama 6 bulan setelah peluncuran tersebut. Dengan demikian, terobosan ini akan memberikan dampak positif bagi Puskesmas itu sendiri. Bahkan Dinas Kesehatan dan Pemerintah Kota Banda Aceh secara keseluruhan akan menerima dampak positif, tidak disibukkan dengan sengketa informasi. Citra Kota Banda Aceh sebagai kota paling terbuka di Aceh sudah terlembaga hingga ke level yang lebih rendah, bukan hanya di level SKPD seperti yang terjadi selama ini.

Relevan Menjadi Agenda Nasional

Inovasi dari Kota Banda Aceh sangat relevan apabila diberlakukan secara nasional. Apabila dapat diterapkan di seluruh Indonesia, maka akan terjadi perubahan besar pada 9.490 Puskesmas (terdiri dari 6.338 Puskesmas Non Rawat Inap, 3.152 Puskesmas Rawat Inap). Sementara di Sumatera terdapat 2.436 Puskemas (terdiri dari 799 Puskemas Rawat Inap, 1.637 Puskesmas Non Rawat Inap. Sebagai inovasi baru, gagasan perubahan yang sedang dikembangkan di 11 Puskesmas di Kota Banda Aceh dapat menjadi model yang bisa direplikasi oleh Puskesmas di Provinsi Aceh dan Nasional. Replikasi dimaksud tetap dengan mengedepankan budaya dan faktor kekhususan lainnya yang ada di masing-masing wilayah.

Oleh karena itu, relevan apabila Departemen Kesehatan RI perlu mengeluarkan regulasi yang mewajibkan seluruh Puskesmas di Indonesia untuk menerapkan Open Puskesmas sebagai bagian dari implementasi UU Keterbukaan Informasi Publik. Hal ini penting untuk meningkatkan kualitas layanan publik sekaligus bagian menjalankan agenda reformasi birokrasi sektor kesehatan. Di samping itu, dukungan parlemen baik di level nasional maupun daerah diperlukan sesuai dengan fungsi kedewanan. Fungsi dimaksud baik dalam konteks dukungan regulasi, anggaran maupun pengawasan sehingga keterbukaan informasi di sektor kesehatan dapat terwujud secara masif pada berbagai unit layanan, khususnya Puskesmas.

Sebagai palang pintu dalam pelaksaaan UU Keterbukaan Inofrmasi Publik, maka Komisi Informasi Publik harus membangun kesepakatan dengan Departemen Kesehatan RI dan para pihak terkait dalam upaya mewujudkan tata kelola informasi yang tersistem dan terlembaga dengan baik di Puskesmas. Hal yang sama juga dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah baik di level provinsi dan kabupaten/kota dengan membangun kemitraan dengan Komisi Informasi Publik di daerah untuk mempercepat lahirnya Open Puskesmas.

Gerakan perubahan keterbukaan di sektor kesehatan juga harus menjadi agenda Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan untuk mengintegrasikan Open Puskesmas dalam Rencana Strategis [Renstra] Dinas Kesehatan. Dengan demikian akan menjadi agenda prioritas. Sebagai agenda prioritas maka diperlukan dukungan kebijakan dan anggaran yang memadai. Seluruh upaya di atas akan terajut dengan baik apabila juga didukung dengan keterlibatan Organisasi Masyarakat Sipil [OMS] bersama Perguruan Tinggi dan kelompok-kelompok masyarakat kritis guna mendorong pemerintah daerah untuk upaya mewujudkan tata kelola informasi yang tersistem dan terlembaga dengan baik di Puskesmas. Upaya ini sebagai bagian dari partisipasi publik dalam mendorong perbaikan layanan kesehatan yang berkualitas, responsif dan inklusif.

Inilah cara cerdas yang mengedepankan nilai-nilai keterbukaan sebagai agenda besar bangsa untuk membangun peradaban baru; pelayanan kesehatan di Puskesmas yang tidak lagi mencemaskan! Semoga.

Abdullah Abdul Muthaleb adalah bagian dari Koalisi untuk Reformasi Birokrasi [KRB] Kota Banda Aceh

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun