Mohon tunggu...
Sosbud

Perampasan Tanah Masyarakat Adat Dayak di Sanggau oleh Perusahaan Sime Darby Malaysia

6 Oktober 2017   18:22 Diperbarui: 6 Oktober 2017   18:48 2480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sime Darby Malaysia, sumber gambar: http://johnny-joestar.tk/jupy/ekuiti-saham-1827.php

"Orang yang tak pernah mencangkul tanah, justru paling rakus menjarah tanah dan merampas hak orang lain"

Begitulah kata Pramoedya Ananta Toer, salah satu sastrawan besar Indonesia. Dan tampaknya masih relevan hingga saat ini. Perampasan tanah terus terjadi di Indonesia, terutama pada petani-petani di pedesaan.

Data Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) menyebutkan bahwa konflik tanah di Indonesia terus meningkat. Menurut catatan tahunan 2016, KPA mencatat sedikitnya terdapat 450 konflik agraria sepanjang tahun 2016, dengan luasan wilayah 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 KK yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Jika di tahun sebelumnya tercatat 252 konflik agraria, maka terdapat peningkatan signifikan di tahun ini, hampir dua kali lipat angkanya.

Dari ratusan konflik yang terjadi, konflik di lahan perkebunan masih menjadi penyumbang tertinggi dengan mencapai 163 konflik. Salah satu konflik tanah antara masyarakat dan perkebunan yang masih berlanjut hingga saat ini terjadi di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.

Konflik tersebut melibatkan antara masyarakat adat Dayak Mayau, Ribun dan Tingin di Kabupaten Sanggau dengan PT. Mitral Austral Sejahtera (PT. MAS), anak perusahaan Sime Darby Malaysia, salah satu perusahaan produsen minyak terbesar di dunia. Konflik tanah adat masyarakat  Sanggau dengan PT. MAS telah berlangsung sejak tahun 1995 dan belum terselesaikan hingga saat ini.

Konflik tersebut bermula saat PT. MAS membuat perjanjian Pinjam Pakai secara lisan dengan masyarakat adat Dayak Mayau, Ribun dan Tingin di Kabupaten Sanggau, untuk menyewakan tanah mereka untuk perkebunan kelapa sawit.

Masyarakat dari Kerunang dan Entapang setuju untuk menyewakan 1.462 ha lahan mereka selama 25 tahun (hingga2022), dengan imbalan pembayaran satu kali Rp 50.000/hektar. Namun, perjanjian sewa tersebut ternyata tidak melalui persetujuan masyarakat. Selain itu juga tak ada kontrak resmi di atas hitam dan putih.

Kemudian, pada tahun 2000 PT MAS memperoleh izin HGU untuk 8,741 ha, dengan masa berlaku sampai 2030. Areal HGU PT MAS tersebut pada kenyataannya tumpang tindih dengan Dusun Kerunang dan Entapang serta kampung adat lain. Terbitnya HGU dari pemerintah tersebut tidak diketahui masyarakat di sana. Adanya HGU itu sendiri justru melanggar janji sewa yang sebelumnya hanya 25 tahun. Sejak itu, tanah adat masyarakat diklaim milik PT. MAS.

Ketika Sime Darby mengambil alih kendali manajemen PT MAS pada tahun 2007, masyarakat yang terkena dampak mengajukan 14 tuntutan kepada perusahaan Sime Darby yang memiliki sertifikat RSPO. Namun, sayangnya tuntutan itu tidak banyak direspon oleh Sime Darby. Bahkan terkesan diabaikan.

Berbagai usaha telah diupayakan oleh masyarakat adat Dayak di Sanggau untuk memperoleh hak nya kembali. Yaitu mendapatkan tanah yang sudah diklaim dan dirampas oleh perusahaan Sime Darby.

Setelah gagal atas pembicaraan di tahun 2007, dan tidak ada upaya penyelesaian atas tanah mereka, 9 komunitas adat mengajukan komplain atas Sime Darby kepada RSPO, diantaranya:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun