PT REA KALTIM PLANTATIONS (REA) terus memperkuat implementasi program SHINES (SmallHolder INclusion for Ethical Sourcing) untuk meningkatkan kesejahteraan petani swadaya melalui sertifikasi RSPO dan kepatuhan terhadap Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDR). Diluncurkan pada Oktober 2024, program SHINES melibatkan kolaborasi dengan mitra korporasi untuk mendorong perubahan transformatif dan memperkuat tanggung jawab bersama di seluruh rantai pasok.Â
REA merupakan produsen minyak sawit yang telah berkomitmen terhadap produksi yang berkelanjutan dan inklusif sejak tahun 1989. Sebagai anak perusahaan dari R.E.A. Holdings PLC yang terdaftar di Bursa Efek London, REA memiliki wilayah operasi di Balikpapan dan Kalimantan Timur. Operasional REA mencakup perkebunan kelapa sawit, pabrik pengolahan minyak sawit, dan fasilitas penghancuran inti sawit, serta didukung oleh upaya konservasi hutan seluas kurang lebih 18.000 hektare. Melalui inisiatif seperti program SHINES, REA bertujuan meningkatkan kepatuhan rantai pasok yang tersertifikasi RSPO, mendorong peningkatan produktivitas, dan membuka akses pasar jangka panjang bagi petani swadaya, sejalan dengan perkembangan regulasi internasional seperti EUDR
"Inklusi petani swadaya adalah kunci menuju pembangunan berkelanjutan," ujar Bremen Yong, Group Chief Sustainability Officer REA. "SHINES merupakan inisiatif yang memiliki landasan bisnis kuat, yang menyatukan para pemangku kepentingan di seluruh rantai nilai untuk mendorong perubahan transformatif, meningkatkan kesejahteraan, dan memperkuat integritas rantai pasok," tambahnya.Â
Melalui intervensi program, REA memastikan bahwa para produsen mematuhi regulasi internasional dan memperoleh akses yang lebih baik terhadap peluang ekonomi. Sejumlah koperasi petani swadaya di Kutai Kartanegara, yaitu Koperasi Perkebunan Belayan Sejahtera, Gotong-Royong, Tunas Harapan, Bina Wana Sejahtera, dan Karya Penoon, menerima pelatihan, dukungan teknis, serta insentif pasar bagi mereka yang memenuhi ketentuan EUDR dan standar industri. Dukungan ini bertujuan untuk memastikan kepatuhan jangka panjang serta membuka akses pasar berkelanjutan bagi petani.
KOLTIVA Dukung SHINES Melalui Pemetaan Petani dan Teknologi KetertelusuranÂ
Sebagai bagian dari komponen ketertelusuran dan kepatuhan dalam program ini, REA menggandeng KOLTIVA, perusahaan agritech asal Swiss-Indonesia, untuk memberikan dukungan teknis dalam pemetaan poligon lahan, evaluasi kebun, serta penerapan platform penelusuran KoltiTrace. Solusi menyeluruh ini akan membantu lebih dari 600 petani swadaya dalam memastikan kepatuhan penuh terhadap persyaratan EUDR.Â
"Kolaborasi KOLTIVA dengan REA menegaskan komitmen bersama kami dalam membangun rantai pasok minyak sawit yang tangguh dan berkelanjutan," ujar Manfred Borer, CEO dan Co-Founder KOLTIVA. "Dengan mengintegrasikan penilaian kebun, adaptasi teknologi melalui KoltiTrace, serta pelatihan tentang Praktik Pertanian yang Baik (Good Agricultural Practices/GAP), kami membantu para produsen menghadapi lanskap regulasi yang terus berkembang sekaligus meningkatkan prospek ekonomi mereka dalam jangka panjang," tambahnya. Pendekatan KOLTIVA menggabungkan solusi digital yang inovatif dengan intervensi langsung di lapangan, memastikan para produsen dapat menghadapi kompleksitas standar keberlanjutan global secara efektif.Â
Terkait program ini, KOLTIVA saat ini tengah mengimplementasikan platform KoltiTrace di sepuluh koperasi di Kalimantan Timur, dengan fokus pada pemetaan dan verifikasi batas lahan petani. Infrastruktur ketertelusuran digital ini menjadi fondasi penting untuk verifikasi legalitas lahan dan pemantauan berkelanjutan sebagaimana disyaratkan dalam standar RSPO dan EUDR.
Kesiapan petani swadaya di Indonesia terhadap regulasi EUDR masih sangat terbatas. Sekitar 41% dari total lahan perkebunan sawit nasional---sekitar 6,7 juta hektare---dikelola oleh petani swadaya. Namun, studi menunjukkan hanya 1% yang telah tersertifikasi secara "bersih dan jelas", yakni memenuhi persyaratan ketertelusuran dan legalitas sesuai standar EUDR. Hambatan utama mencakup minimnya data geolokasi, status kepemilikan lahan yang tidak jelas, dan ketiadaan sistem digital. Tanpa langkah cepat, banyak petani berisiko kehilangan akses ke pasar Uni Eropa akibat regulasi baru ini (Palm Oil Monitor, 2023).