Tahun 1970an saat melewati Titik Nol Yogyakarta, yang terletak tepat di persimpangan Jl.Senopati, Jl. Ahmad Yani, Jl. Ahmad Dahlan dan Jl. Pangurakan atau Jl. Trikora pada waktu zaman Orde Baru, di tengah-tengahnya dulu ada air mancur dengan kolam yang berbentuk lingkaran.
Mereka yang pernah melihat barangkali termasuk orang yang patut bersyukur. Apalagi jika pernah melewati dan terkena percikan airnya. Sejalan perkembangan waktu kolam dengan air mancur di tengah perempatan, hilang karena masalah sosial.Â
Persis di jantung kota Yogyakarta, air mancur itu kini tinggal di ingatan orang-orang pada jamannya dan menjadi romantisme tersendiri. Sementara untuk orang-orang jaman sekarang, itu seperti mimpi.
Tidak terbayangkan apa jadinya air mancur di titik nol masih ada sampai sekarang. Dimasa orang suka selfie, masa orang suka mengekspresikan diri dan lebih terbuka. Membagikan kebanyak orang karena alasan estetis, psikologis, eksistensi dan sekaligus pencitraan diri.
Itu tidak salah. Sebab lintasan Titik Nol jika diukur secara melingkar maka kawasan ini radiusnya sekitar Alun-alun Utara di sebelah Selatan, ke Utara sampai Ngejaman. Tugu jam yang berdiri sejak tahun 1916.Â
Menurut beberapa catatan sejarah, jam itu sebagai peringatan satu abad kembalinya pemerintahan Kolonial Belanda dari pemerintahan Inggris, yang waktu itu berkuasa di Jawa.
Menurut berbagai informasi, untuk menggerakkan mesin jam harus disambungkan dengan arus listrik. Hal ini jelas tidak terjadi di masa lalu. Sebagai catatan, masih ada satu lagi jam kota atau orang Yogyakarta menyebutnya dengan Ngejaman. Letaknya tidak jauh dari pintu masuk menuju Keraton Yogyakarta.
Kembali ke Titik Nol dengan air mancurnya doeloe. Mungkin ada yang menanyakan mengapa air mancur di Titik Nol dibongkar. Menurut Yulia Sujarwo seorang Tour Guide, Novelis, mantan wartawan dan juga tergabung dalam Kompasianer Jogja (Kjog), pembongkaran air mancur atau bunderan Air Mancur demikian orang dahulu menyebutnya.Â