Dalam sebuah kesempatan di apotek di Yogya saat membeli vitaminC, saya mendengar percakapan pembeli dan asisten apoteker. Dalam percakapan tersebut terdengar sedikit ketegangan antara mereka berdua. Saya kemudian merasa keppo dan mencoba sedikit berlama-lama ada di apotek tersebut.
Inti yang mereka perdebatkan adalah tentang pembelian antibiotik, awam menyebutnya obat antibiotik. Konsumen ingin membeli antibiotik tanpa resep dari dokter dengan alasan sakit yang dirasakan dan diderita saat ini. Sama seperti yang diderita beberapa waktu lalu dan sembuh setelah minum antibiotik yang diresepkan dokter.
Ketika merasa sakit yang sama beberapa waktu lalu, konsumen berinisiatif membeli obat sama yang pernah diberikan dokter. Dengan cara menunjukkan bungkus bekas obat ke asisten apoteker. Namun oleh apoteker atau asistennya dijelaskan jika obat tersebut merupakan obat antibiotik. Dimana dalam pembeliannya harus disertai  resep dokter sebab obat tersebut masuk dalam obat keras.
Walau mendapat marah dari kenalan namun Ketua BPOM DIY malah salut dengan penegakan pembelian antibiotik harus dengan resep dokter.Â
Pujian pun dilontarkan oleh Ketua Ikatan  Apoteker Indonesia Nurul Falah Eddy Pariang kepada apoteker di Jogja. Di sela-sela acara Asian Young Pharmacists Group, Young Leader Ship Summitts yang berlangsung di Yogya dari tanggal 7 sampai 10 November 2019. Saat Kompasiana Jogja (Kjog) menanyakan seputar pemberian obat secara rasional.
Menurut Nurul hal ini merupakan bentuk kongkrit penerapan etika profesi. Nurul beserta apoteker senior lainnya memiliki perhatian khusus terhadap persoalan etika apoteker khususnya apoteker muda, generasi milenial. Menyadari adanya perbedaan budaya yang mempengaruhi para apoteker muda dengan generasi sebelumnya.
Nurul menyadari hal ini cukup berat. Apoteker generasi milenial sehari-harinya memegang smartphone dan segala sesuatunya ketika ada persoalan bertanya ke Google tetapi Googlenya belum tentu mempunyai etika.
Guna menjaga etika profesi, Ikatan Apoteker Indonesia memiliki Majelis Etik dan Disiplin Apoteker.
Majelis ini secara terus menerus melakukan penggodokan terhadap kode etik dan disiplin apoteker dengan harapan agar apoteker muda dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta perubahan budaya memahami etika profesi secara lebih profesional.
"Jika dinilai baik dan bermanfaat tidak segan negara lain akan copy paste aturan atau etika profesi untuk dikembangkan di negara masing-masing peserta. Sebab ada beberapa permasalahan di beberapa negara yang hampir sama," tambah Audrey.
Bryan S. Posadas, Humas dari asosiasi apoteker di Philipina menceritakan bagaimana hubungan profesi apoteker dengan dokter yang tidak saling berusaha menjadi paling hebat. Melainkan saling bekerja sama dan berkolaborasi.
Bryan mencontohkan bagaimana apoteker di Philipina sering mengingatkan pasien untuk melakukan periksa lanjutan ke dokternya. Sebab tidak jarang pasien di Philipina tidak kembali memeriksakan diri manakala merasa tubuhnya dirasa sudah membaik. Atau mengingatkan dokter untuk mengetahui bagaimana perkembangan kesehatan pasiennya.
Walau sebenarnya obat yang diresepkan tersebut bukan untuk menyembuhkan penyakit pasien tapi sekedar untuk mengurangi rasa sakit yang diakibatkan oleh penyakit yang diderita pasien.
Dalam kasus lain tidak sedikit pasien yang tidak kembali ke dokter yang sama. Pindah ke dokter lain manakala setelah diberi obat ternyata tidak langsung sembuh. Padahal dalam mendiagnosis penyakit dan meresepkan obat, dokter juga perlu mengetahui efek dari obat yang diberikan ke pasien.
Acara yang berlangsung empat hari ini diikuti sekitar 300 peserta tercatat ada sepuluh negara. Seperti Malaysia, Philipina, Taiwan dan Kamboja.