Mohon tunggu...
Klezia Ivana
Klezia Ivana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Mahasiswi berdedikasi tinggi dan memiliki ketertarikan kuat terhadap hukum di Indonesia. Kemampuan untuk bersosialisasi dengan banyak orang dan dapat beradaptasi di lingkungan baru dengan cepat

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dilema Hukuman Mati: Bukan Pidana Pokok Melainkan Pidana Khusus

13 Desember 2022   12:55 Diperbarui: 13 Desember 2022   16:46 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.shutterstock.com/

Media kerap menyebut kurang lebih 75 persen masyarakat Indonesia setuju dengan pidana mati. Tetapi membingungkan kapan jumlah tersebut dikumpulkan atau bagaimana survei dilakukan. Menurut saya argumen suara seperti ini tidak mengunjukkan ulasan rinci atau analisis lebih detail tentang landasan di balik opini tersebut, dan kita tidak bisa sepenuhnya memercayai bahwa nominal tersebut dapat memperantarai kedudukan masyarakat Indonesia sekarang. 

Namun, politisi dan lainnya masih menganggap nominal itu bisa dibayangkan berlaku untuk audiensi masa kini. Kontroversi pidana mati menyertakan keadilan yang paling esensial, yaitu hak hidup. Tetapi supaya pertentangan pendapat tersebut bermanfaat  wajib melakukannya dengan mengaplikasikan data kontemporer dan akurat yang sudah diteliti dengan cermat guna membuktikan hal ini bagaimana sebenarnya pandangan orang Indonesia tentang hukuman mati hari ini.

Pasal 6 ayat (2) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) mengizinkan "retensi terbatas" hukuman mari hanyak untuk kejahatan "paling serius". Meskipun Dewan Ekonomi dan Sosial PBB mendefinisikan "kejahatan paling serius" sebagai tak satu pun perbuatan ‘di luar kejahatan yang disengaja dengan konsekuensi mematikan atau konsekuensi sangat berat lainnya’, di Asia. Teori ini telah diinterpretasikan secara terpisah tergantung pada adat dan kebiasaan, tradisi serta kepentingan politik. 

Sebuah keputusan tahun 2007 oleh Mahkamah Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa ICCPR, yang diratifikasi Indonesia pada tahun 2005, mengizinkan negara untuk mempertahankan hukuman mati hanya untuk kejahatan "paling serius", tetapi mencatat bahwa pelanggaran narkoba yang sangat serius dapat mencapai ambang tersebut.

Penjatuhan pidana adalah komponen yang bekerja pada praktik pengadilan pidana. Sehingga  perwujudannya harus berdasarkan pada sudut pandang humanistis dan tujuan pidana integratif serta aliran  pemidanaan modern yang mengutamakan proteksi khalayak umum. 

Sudut pandang humanistis menekankan pada kondisi penjatuhan pidana yang mencakup perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Dalam hukum pidana biasa diklaim aturan pidana yang mengutamakan dengan perbuatan dan aturan pidana yang menekankan pada seseorang. Penerapan pidana pada perspektif humanistis harus berdasarkan kesalahan pelaku atau yang dikenal menggunakan asas culpabilitas.

Dengan maksud penghukuman terpadu dalam menjatuhkan pidana, khususnya pidana mati wajib mengacu pada Hak Asasi Manusia terpidana dan membuat pemidanaan bersifat efektif dan efisien. Maka dari itu, dapat dilihat efek hukuman individu dan sosial dengan menggunakan pendekatan multidimensi. Penjatuhan pidana mati dapat dihitung berdasarkan pengaruhnya berkenaan perlindungan masyarakat dan terhadap terpidana.

Aliran modern pemidanaan menekankan doktrin determinisme, di mana manusia tidak dianggap memiliki kehendak bebas, tetapi kehendak manusia dipengaruhi oleh sifat pelaku dan motif lingkungan di luar pelaku. Sehingga masyarakat tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak membalas dendam atas kesalahan subjektif. Kemudian bentuk tanggung jawabnya berupa tindakan yang melindungi masyarakat.

Dapat disimpulkan bahwa perdebatan tentang hak untuk hidup masih minim diutarakan secara detail dan tergambar menggantung, sehingga hak untuk hidup akhirnya dipertegas dengan banyak hal yang terkesan menggantung dan belum selesai. Hal ini terus berlanjut dan tercermin dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang berdasarkan interpretasi sistematis terhadap ketentuan HAM dalam UUD 1945 yang memungkinkan pembatasan hak untuk hidup. 

Ketetapan tunduk dengan pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Inkonsistensi Mahkamah Konstitusi  dengan UUD 1945 semakin memperparah masalah. Meskipun Kovenan Sipil masih "mengizinkan" negara-negara dengan pidana mati, tetapi pidana mati diperbolehkan untuk kejahatan tertentu yang berat. Namun terdapat syarat-syarat tertentu yang  harus dipenuhi untuk pengecualian, seperti pembatasan hukuman mati pada "kejahatan paling berat", karena kelangsungannya tidak dapat diimplementasikan pada wanita hamil atau pelaku kejahatan yang masih muda.

Kemudian beberapa undang-undang Indonesia yang menerapkan pidana mati harus ditinjau kembali untuk melihat apakah masih sesuai dengan karakteristik kejahatan yang paling serius. Masalahnya, persepsi tentang kejahatan yang paling serius juga bercampur dengan persepsi tentang kejahatan yang membutuhkan perlakuan luar biasa. Pelbagai dasar untuk mempertahankan hukuman mati setelah kemerdekaan menunjukkan kurangnya pembahasan yang tepat tentang kejahatan yang paling serius. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun