Kalau kita menonton, drama Korea di Netflix atau nonton teater di TIM, (Taman Ismail Marzuki), mungkin kita tidak nyangka, kalau ternyata drama punya sejarah ribuan tahun. Drama bukan sekadar tontonan, tapi juga catatan tentang bagaimana manusia bercerita dan berekspresi. Yuk, kita jalan-jalan sebentar menelusuri jejak panjang sejarah drama, dari Yunani Kuno sampai zaman sekarang.
Drama Dimulai di Yunani Kuno:
Drama lahir sekitar abad ke-5 SM di Yunani. Waktu itu, masyarakat mengadakan pertunjukan untuk menghormati Dionysus, dewa anggur dan kesuburan. Pertunjukan ini awalnya berupa nyanyian dan tarian berkelompok. Dari sini, lahirlah dua genre besar: tragedi dan komedi.
Tragedi: kisah sedih penuh penderitaan, biasanya tentang pahlawan yang kalah melawan takdir (contohnya karya Sophocles dan Euripides).
Komedi: lebih ringan, penuh sindiran, bahkan mengkritik politik (Aristophanes terkenal sekali dengan genre ini).
Menariknya, teater mereka besar sekali, terbuka, dan bisa menampung ribuan orang. Jadi, drama saat itu bukan sekadar hiburan, tapi juga "media massa" ala zaman kuno.
Romawi dan Abad Pertengahan:
Bangsa Romawi kemudian mengembangkan drama Yunani, tapi lebih fokus ke hiburan rakyat. Sayangnya, ketika kekaisaran runtuh, drama ikut surut.
Di Abad Pertengahan, drama bangkit lagi lewat gereja. Pertunjukan biasanya menceritakan kisah Alkitab, dimainkan di halaman gereja atau pasar. Bisa dibilang, drama menjadi "YouTube" masa itu---tempat orang belajar agama sambil terhibur.
Masa Keemasan: Renaisans:
Memasuki era Renaisans, drama kembali bersinar. Nama yang paling ikonik tentu saja William Shakespeare. Karyanya seperti Romeo and Juliet, atau Hamlet masih relevan sampai sekarang.
Di Italia muncul commedia dell'arte, drama dengan improvisasi, karakter topeng, dan humor yang segar. Bentuk ini nantinya menginspirasi drama komedi di berbagai belahan dunia.
Drama Modern: Dari Realisme ke Absurd.
Abad ke-19 dan 20, membawa perubahan besar. Drama tak lagi hanya soal hiburan, tapi juga menyuarakan kritik sosial. Henrik Ibsen, misalnya, lewat A Doll's House berani membahas isu perempuan.
Lalu lahir drama absurd seperti Waiting for Godot karya Samuel Beckett yang bikin penonton mikir: "Sebenarnya, ini cerita tentang apa sih?" Drama berubah menjadi ruang eksperimen ide-ide baru.
Drama di Indonesia:
Di Indonesia, drama berkembang lewat tonil, dan sandiwara rakyat. Setelah itu, muncul nama besar seperti W.S. Rendra dengan pementasan puitisnya dan Putu Wijaya dengan drama absurd yang khas.
Sekarang, drama tidak cuma hadir di panggung teater. Ia menjelma dalam film, sinetron, bahkan web series yang kita tonton lewat gawai.
Dari Panggung ke Layar Kaca:
Kalau dipikir-pikir, dari Yunani Kuno sampai sekarang, esensi drama tidak  berubah, manusia bercerita tentang dirinya sendiri. Bedanya, dulu penonton duduk di teater terbuka, sekarang kita bisa menonton dari kasur sambil rebahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI