Di sebuah dapur sederhana, aroma gurih rambak memenuhi udara. Panci besar mendidihkan kulit sapi yang sudah dibersihkan, bumbu rempah harum menguar, dan tungku kayu bakar menyala hangat. Pemandangan ini bukanlah hal baru bagi Ibu Yuyun, pengusaha rambak dari Desa Trigonco yang mewarisi resep turun-temurun dari sang nenek. Resep yang sudah teruji oleh waktu ini tak hanya menghadirkan rasa yang khas, tetapi juga cerita panjang tentang ketelatenan, kesabaran, dan cinta pada tradisi. Hingga saat ini, proses pembuatan rambak masih menggunakan metode tradisional yang terjaga keasliannya, namun sudah mulai didukung oleh pemasaran melalui media sosial. Produksi dilakukan hingga tahap setengah jadi melalui tiga proses utama, yaitu pembersihan kulit sapi, pembumbuan, dan pengeringan. Kulit sapi yang digunakan dibersihkan dengan teliti, baik menggunakan silet maupun dibakar untuk menghilangkan sisa rambut. Setelah itu, kulit diberi bumbu bawang putih sebanyak setengah kilogram dan garam dua bungkus, dengan biaya bumbu sekitar Rp30.000 untuk setiap 1kg rambak.
Pengeringan dilakukan selama dua hari di bawah sinar matahari, lalu rambak digoreng setengah matang menggunakan minyak goreng sebanyak 4-5 kilogram. Minyak yang digunakan bisa berupa minyak curah maupun minyak bermerek, dan memakai jumlah minyak banyak untuk digunakan agar hasilnya lebih renyah. Bahan bakar yang digunakan adalah kayu mebel, sekitar 50 potong, karena dipercaya memberikan aroma dan rasa yang lebih baik. Bagian kulit sapi yang diolah beragam, mulai dari telinga, kepala, cecek, hingga bagian badan. Kulit sapi jantan menghasilkan rambak berwarna putih, sedangkan kulit sapi betina menghasilkan rambak berwarna merah. Meskipun ada perbedaan warna, harga produk tetap sama, bahkan pada periode menjelang Lebaran ketika permintaan meningkat.
Pemasaran produk rambak dilakukan tidak hanya di sekitar desa, tetapi juga menjangkau Malang dan Yogyakarta. Pengiriman biasanya menggunakan kardus yang berisi lima hingga tujuh kemasan. Ibu Yuyun pernah memanfaatkan platform seperti TikTok dan Facebook untuk promosi, yang terbukti membantu memperluas jangkauan pasar. Selain memproduksi rambak, ia juga membuat keripik usus dengan berbagai varian rasa. Seluruh proses produksi dilakukan sendiri dengan bantuan suami, sehingga keterbatasan waktu menjadi salah satu kendala untuk mengembangkan desain kemasan.
Beberapa tantangan lain yang dihadapi antara lain proses pengeringan yang terhambat saat musim hujan. Untuk mengatasi hal tersebut, Ibu Yuyun menggunakan pemanggang dengan tungku api sederhana. Dari sisi legalitas, dibutuhkan nomor NIB dan sertifikat halal agar produk dapat bersaing di pasar yang lebih luas. Meskipun demikian, usaha rambak ini telah menunjukkan kemampuan untuk bertahan sekaligus berkembang dengan memanfaatkan warisan resep keluarga dan peluang pemasaran modern. Dengan peningkatan pada kemasan, legalitas, dan kapasitas produksi, rambak buatan Ibu Yuyun memiliki potensi besar untuk merambah pasar nasional, bahkan internasional.
Mahasiswa KKN-K juga turut memberikan kontribusi nyata dalam mendukung pengembangan UMKM rambak milik Ibu Yuyun. Tim KKN membantu merancang desain logo yang merepresentasikan identitas dan keunikan produk, sekaligus memperkuat branding agar lebih mudah dikenali konsumen. Selain itu, dilakukan pendampingan dalam perhitungan biaya produksi secara terperinci, meliputi harga bahan baku, bumbu, minyak, bahan bakar, dan kemasan, sehingga Ibu Yuyun dapat menentukan harga jual yang kompetitif sekaligus memastikan margin keuntungan yang jelas. Pendampingan ini diharapkan mampu meningkatkan citra produk, memperluas pasar, dan mendorong keberlanjutan usaha rambak agar dapat bersaing di tingkat regional hingga nasional.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI