Mohon tunggu...
Kiswah Fadhilah
Kiswah Fadhilah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Tidak ada lift untuk mencapai kesuksesan. Kamu harus menaiki tangga.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Pelakor" Mengapa Bias terhadap Perempuan?

9 April 2021   21:29 Diperbarui: 10 April 2021   09:20 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebagian orang mengerti bahwa istilah "Pelakor" tidak pantas dijadikan label untuk perempuan yang berselingkuh.

Seakan - akan tindakan tersebut menjadi hukuman yang pantas bagi perempuan yang menjadi orang ketiga dalam hubungan itu, padahal seharusnya hukuman tersebut tidak perlu terlalu diekspos dan dipopulerkan di media sosial. Padahal, bukankah hubungan perselingkuhan dilakukan oleh komitmen kedua belah pihak?

Seperti beberapa bulan kebelakang tengah ramai diperbincangkan kasus - kasus perselingkuhan di media sosial. Salah satunya perselingkuhan yang dilakukan oleh Nissa Sabyan dengan Keyboardisnya Ahmad Fairus atau Ayus. 

Seorang perempuan yang dengan sadar menjalin hubungan romantis dengan laki-laki yang sudah memiliki istri tentu saja tidak perlu kita bela atas alasan apa pun. 

Tetapi, mari kita sepakati kecenderungan melabeli Nissa Sabyan dan perempuan lainnya sebagai “Pelakor” juga tak perlu di populerkan. Penggunaan kata tersebut juga dapat dianggap sebagai salah satu bentuk kekerasan verbal terhadap perempuan di media sosial. 

Dengan kata lain, saat kita mengekspresikan kebencian dengan berteriak pelakor tanpa menyebut - nyebut sang lelaki, hal itu menggambarkan kekerasan terhadap perempuan dan membentuk persepsi yang buruk terhadap perempuan. Mirisnya lagi, perundungan tersebut kerap dilakukan oleh sesama perempuan juga.

Menurut Peneliti linguistik Nelly Martin-Anatias, dalam artikel yang dirilis di situs The Conversation.com, menurutnya penggunaan istilah “Pelakor” tanpa istilah yang sepadan untuk laki - laki adalah Seksis.

“Secara kebahasaan istilah ini meminggirkan perempuan. Lebih dari itu istilah ini menunjukkan fenomena sosial-budaya yang lebih besar. Kerapnya istilah ini digunakan dalam cerita di media sosial dan dalam pemberitaan tanpa didampingi istilah yang sepadan untuk pelaku laki-laki, menunjukkan bahwa istilah ini seksis.”

Seksisme adalah prasangka yang didasarkan pada gender. Seksisme seringkali ditujukan pada wanita, sehingga yang dimaksud disini adalah adanya penilaian negatif terhadap seseorang karena seseorang tersebut adalah wanita. 

Seksisme dalam bentuk kata bisa dihindari dengan menggeser makna menjadi lebih positif dan netral. Seperti merubah penggunaan kata “Pelakor” yang terkesan merendahkan wanita sekali dengan “Letise” (Lelaki Tidak Setia). 

Selain itu zaman dulu, perempuan pihak ketiga dalam sebuah hubungan disebut sebagai WIL (Wanita Idaman Lain). Penggunaan istilah WIL terasa lebih netral karena laki - laki dan perempuan dianggap setara dalam perselingkuhan bukannya berat sebelah karena keduanya juga sama-sama salah.

 Istilah WIL juga tidak terkesan menggambarkan perempuan lain dalam hubungan sebagai pihak yang agresif. Kalau masih perlu melabeli seorang wanita sebagai orang ketiga maka menggunakan istilah WIL adalah pilihan yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun