Mohon tunggu...
Kinanty Sindiana
Kinanty Sindiana Mohon Tunggu... Dokter

Hi, im a doctor who loved and passionate with aesthetics and entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Muda, Bekerja, Lelah: Burnout di Tengah Ambisi Gen Z dan Tantangan Manajemen SDM Masa Kini

12 Juni 2025   20:15 Diperbarui: 12 Juni 2025   20:15 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

“Kok kamu cepat capek sih, masih muda juga.”

Kalimat ini mungkin terdengar seperti hal yang biasa. Namun, bagi banyak anak muda modern, “capek” mengacu pada kelelahan mental dan emosional yang nyata, bukan hanya kelelahan fisik. Generasi Z sering merasa harus terus berlari di lingkungan kerja yang mengutamakan produktivitas. Tanpa ruang untuk bernafas, tanpa sempat menengok ke belakang. Fenomena burnout sudah menjadi bagian dari kehidupan pekerja muda, bahkan di usia awal karier mereka. Ini bukan lagi masalah bagi manajer atau pekerja senior. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Bagaimana manajemen sumber daya manusia (MSDM) berfungsi untuk mengatasi masalah ini?

Di tengah perkembangan dunia kerja yang makin cepat dan kompetitif, banyak generasi muda—khususnya Generasi Z—mengalami tantangan baru yang tidak hanya berkaitan dengan tuntutan fisik, tetapi juga tekanan mental dan emosional. Konsep kerja keras yang dibentuk oleh generasi sebelumnya kini dihadapkan pada kebutuhan akan keseimbangan hidup. Fenomena burnout tidak lagi menjadi isu pinggiran, melainkan kenyataan yang dihadapi sehari-hari oleh para pekerja muda. Esai ini akan mengupas fenomena burnout dari sudut pandang generasi muda serta bagaimana manajemen sumber daya manusia (MSDM) dapat menjadi solusi yang relevan dan manusiawi.

Banyak orang percaya bahwa usia muda adalah masa yang paling produktif. Namun, fakta menunjukkan hal yang berbeda. Bahkan sebelum memulai karir, banyak anak muda merasa kehabisan tenaga. Generasi Z, yang dikenal fleksibel dan berambisi, semakin rentan terhadap burnout, sebuah kondisi yang menyebabkan kelelahan fisik, mental, dan emosional akibat tekanan terus menerus. Mereka dibesarkan dalam lingkungan yang penuh dengan pekerjaan, di mana bekerja keras hingga lelah dianggap sebagai tanda keberhasilan. Ekspektasi sosial yang tinggi dan ritme kerja yang terlalu cepat seringkali tidak diimbangi dengan sistem pendukung yang memadai. Menurut survei Deloitte tahun 2023, hamper 46 persen Gen Z mengatakan mereka merasa stres hamper setiap hari. Seorang karyawan muda di perusahaan startup bercerita, bahwa ia terbiasa bekerja dari pagi hingga larut malam, tanpa jeda. “kalau aku izin istirahat, rasanya bersalah sendiri,” ujarnya. Ini menunjukkan bahwa tekanan itu tidak hanya datang dari atasan, tapi juga dari dalam diri akibat budaya kerja yang tidak sehat.

Burnout, sesuai dengan teori yang dikembangkan oleh Demerouti et al. Model Job Demands-Resources (JD-R) menyatakan bahwa kelelahan terjadi bila tuntutan kerja (jam kerja panjang, tekanan waktu) lebih besar daripada sumber daya yang dimiliki individu (dukungan sosial, otonomi kerja, istirahat cukup). Hal ini sangat relevan bagi Gen Z karena mereka sering menghadapi beban multitasking, tuntutan keterampilan digital yang tinggi, dan tekanan konstan untuk “berprestasi”. Sebaliknya, bisnis tidak selalu menyediakan waktu istirahat yang cukup, keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan, atau tempat yang aman untuk melepaskan lelah, Namun, pendekatan Work-Life Balance menyatakan bahwa pekerja modern sangat membutuhkan keseimbangan antara waktu produktif dan waktu pemulihan. Kelelahan tidak dapat dihindari ketika batas antara keduanya tidak jelas.

Gen Z tumbuh dalam era digital yang serba cepat, dan mereka terbiasa dengan notifikasi, deadline instan, dan keterlibatan di media sosial. Sejak kecil, mereka sangat bersemangat untuk sukses dan takut gagal. Tidak jarang mereka merasa sendirian di tempat kerja ketika lingkungan mereka tidak memberikan dukungan emosional. Ini adalah titik dimana peran manajemen sumber daya manusia diuji: apakah mereka mampu memenuhi tuntutan psikologis generasi ini atau malah terjebak pada pendekatan lama yang kaku dan tidak responsif.

Sebagai contoh, sebuah perusahaan startup teknologi di Jakarta melaporkan tingkat pergantian karyawan muda yang tinggi dalam dua tahun terakhir. Setelah dilakukan evaluasi, ditemukan bahwa sebagian besar resign karena kelelahan mental dan kurangnya dukungan dari atasan. Ini membuktikan bahwa burnout bukan sekadar keluhan emosional, tetapi masalah struktural. Dalam kerangka MSDM modern, pendekatan Human Capital Management (HCM) menekankan bahwa pekerja adalah aset yang perlu dikembangkan secara menyeluruh—bukan sekadar alat produksi. Implementasi program seperti one-on-one coaching, mentorship berbasis empati, dan pelatihan soft skills menjadi penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang mendukung keberlanjutan karier.

Burnout bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dengan libur sehari atau ucapan “semangat ya!”. Dibutuhkan pendekatan sistematis untuk manajemen sumber daya manusia yang benar-benar memahami kebutuhan pekerja muda saat ini. Langkah pertama adalah membuat lingkungan kerja yang terbuka dan mendukung. Program Kesehatan mental adalah kebutuhan vital. Bukan hal yang baru bahwa konsultasi kursus manajemen stres, dan sesi refleksi teratur menjadi bagian dari rutinitas seseorang.

Perusahaan juga harus membuat kebijakan kerja yang manusiawi dan fleksibel. Sesekali, kesehatan mental dapat dihargai dengan fleksibilitas waktu kerja, opsi hybrid, atau bahkan jeda karier, yang juga dikenal sebagai cuti karier (career break). Selain itu, Human Resource Development (HRD) berperan penting dalam menyediakan pelatihan pengembangan diri yang tidak hanya focus pada keterampilan teknis, tetapi juga penguatan mental dan resiliensi emosional.

Menurut teori pengembangan manusia, pendekatan berbasis empati dan pengembangan manusia dapat meningkatkan kinerja dalam jangka panjang. Bukan hanya produktivitas yang menjadi perhatian, tetapi juga kelangsungan hidup dan semangat pekerjanya. Manajemen sumber daya manusia tidak boleh hanya berorientasi pada produktivitas angka, tapi juga pada kualitas hidup karyawan. Lingkungan kerja yang sehat adalah fondasi dari performa jangka panjang.

Tentu saja, tidak semua solusi dapat diterapkan secara universal atau langsung di semua organisai. Namun, menjadi sadar bahwa burnout bukan masalah pribadi melainkan sistematik harus menjadi titik awal. Budaya kerja harus berubah dari menuntut ketahanan ekstrem ke arah ekosistem yang mendukung pemulihan. Human Resource (HR) bukan hanya administrator kebijakan, tapi fasilitator kesejahteraan mental.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun