Mohon tunggu...
Kinanthi Estu
Kinanthi Estu Mohon Tunggu...

writing is cool

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Kebijakan ASI Eksklusif Vs Eksistensi Susu Formula

12 Maret 2012   16:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:09 1491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dalam bidang promosi kesehatan, salah satu upaya pendekatan yang dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat adalah dengan pengadaan kebijakan (policy) yang diharapkan dapat memicu terjadinya perubahan perilaku masyarakat. Di dunia kesehatan ibu dan anak, salah satu kebijakan yang menjadi isu hangat saat ini adalah kebijakan mengenai pemberian ASI ekslusif. Pemberian ASI eksklusif adalah proses memberikan Air Susu Ibu (ASI) saja kepada bayi selama 6 bulan, sejak lahir, tanpa susu formula, tanpa air putih, dan dapat dilanjutkan sampai 2 tahun dengan memberikan makanan pendamping ASI.

Lewat berbagai sumber informasi, kita dapat mengetahui berbagai manfaat ASI, baik bagi ibu maupun bagi bayi yang dilahirkan. ASI dapat menjadi kontrasepsi alami yang mencegah ibu mengalami kehamilan dalam waktu singkat setelah kelahiran sebelumnya. Jika seorang ibu memberikan ASI ekslusif setidaknya selama 1 jam dalam 1 hari atau 6 kali selama masing-masing 10 menit, hal itu dapat memicu otak kecil sang ibu untuk memproduksi hormon prolaktin. Semakin banyak hormon prolaktin yang dihasilkan, akan semakin menekan ovulasi atau masa subur, sehingga bisa memperkecil terjadinya kehamilan walaupun sang ibu melakukan hubungan seksual (intercourse). Sekalipun ada sperma yang masuk tapi sel telur sang ibu tidak siap dibuahi sehingga tidak akan terjadi kehamilan. Selain untuk kontrasepsi alami, memberikan ASI eksklusif juga bermanfaat untuk menurunkan berat badan ibu paska melahirkan. Sedangkan manfaat ASI bagi bayi tentu sangat besar bagi kesehatan dan tumbuh kembangnya. Beberapa penelitian menunjukkan pemberian ASI eksklusif bagi bayi dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas (terutama akibat penyakit infeksi) pada bayi, membantu perkembangan kecerdasan anak (terutama saat periode emas atau 6 bulan pertama usia manusia) karena penelitian menunjukkan anak yang diberi ASI eksklusif memiliki tingkat IQ 5-10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak mengkonsumsi ASI eksklusif.

Dengan melihat banyaknya manfaat tersebut, maka dapat diprediksikan jika kebijakan pemberian ASI eksklusif ini berhasil, hal ini dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat suatu negara. Jika angka kematian ibu menurun, hal ini berpengaruh terhadap stabilitas keluarga-keluarga di Indonesia. Jika setiap bayi dapat melewati masa periode emasnya secara maksimal, maka tentu saja akan berpengaruh terhadap kualitas SDM bangsa Indonesia di masa depan.

Sayangnya, target Kemenkes RI tentang cakupan ASI eksklusif sebesar 80% masih jauh dari apa yang diharapkan. Sekalipun kebijakan sudah diatur dalam berbagai macam peraturan dan undang-undang di Indonesia, namun kebanyakan ibu di Indonesia masih saja belum berhasil memberikan ASI eksklusif kepada anaknya. Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 1997-2007 memperlihatkan terjadinya penurunan prevalensi ASI eksklusif dari 40,2% pada tahun 1997 menjadi 39,5% dan 32% pada tahun 2003 dan 2007. Sedangkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan pemberian ASI eksklusif pada bayi selama 6 bulan di Indonesia hanya 15,3%. Dalam penyedia layanan kesehatan pun sudah disediakan pojok ASI, klinik ASI, atau layanan sejenisnya yang bertujuan mendukung kebijakan pemberian ASI eksklusif ini. Tapi mengapa data yang ada masih menunjukkan fakta yang memprihatinkan?

Ternyata beberapa kondisi yang dialami oleh para ibu, seperti ASI yang tidak mau keluar, kondisi ibu yang bekerja, takut memberi ASI jika anak sakit, dimanfaatkan oleh produsen susu formula untuk menggantikan ASI bagi bayi. Labeling tambahan kandungan AA dan DHA, atau kandungan gizi lain, ditambah dengan kurangnya dukungan dari suami membuat para ibu dengan mudahnya berpaling dari ASI kepada merk susu formula yang ditawarkan. Padahal tetap saja susu formula tidak sama dengan ASI. Susu formula terbuat dari bahan dasar susu sapi yang tidak mempunyai manfaat seperti ASI. Kemudian jika terjadi salah pengenceran susu formula dapat berdampak buruk bagi pencernaan bayi. Selain itu, penyimpanan susu formula yang tidak steril sangat memungkinkan terjadinya kontaminasi yang juga berdampak tidak baik pada pencernaan.

Beberapa produsen susu formula melakukan promosi dengan mengadakan kontak langsung dengan para ibu melalui telepon atau dengan menggunakan hadiah atau labeling gratis pada sampel. padahal dalam pasal 5.5 Kode WHO secara jelas menyebutkan:

Personil pemasaran, dalam kapasitas bisnisnya, hendaknya tidak melakukan kontak langsung atau tidak langsung dalam bentuk apapun juga dengan perempuan hamil atau dengan ibu dari bayi atau anak (balita).

Itu berarti, para produsen susu formula diwajibkan untuk:

- Tidak mengiklankan susu formula kepada masyarakat

- Tidak memberikan sampel gratis pada ibu yang memiliki bayi

- Tidak melakukan promosi susu formula di sarana pelayanan kesehatan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun