Mohon tunggu...
Muchamad Kiky
Muchamad Kiky Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ibuku Sosok Malaikat

9 Januari 2018   10:29 Diperbarui: 9 Januari 2018   10:57 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagiku, ibuku adalah sosok wanita belaham jiwaku. Ibulah wanita  pemberani, dan penyabar. Sejak aku masih dalam kandungan hingga dewasa, ibu tetap sabar menemani dan memperhatikanku.

Kini aku hidup jauh dari Ibuku, demi mendapatkan masa depanku dan membahagikan Ibuku.

Namun, aku tidak akan pernah melupakan ibuku sedikitpun meskipun aku jauh dari Ibu saat ini. Aku tidak akan melukai hati Ibuku sedikitpun meskipun nyawaku menjadi taruhannya.

Disaat ibuku meminta aku pulang karena rasa rindu yang mendalam kepadaku, aku rela tidak masuk kuliah dan kerja, aku ga takut mendapat nilai jelek dan bahkan ditegor sama atasanku di tempat kerja karena ijin pulang kampung hanya untuk menjenguk ibu.

Karena aku sadar, keberadaanku sekarang ini adalah karena berkat ibuku. Keberhasilanku saat ini karena jasa dan doa ibuku.

Bagiku, Ibuku adalah malaikat Tuhan yang turun ke bumi, meski ia tak memiliki sayap, tapi ia dikaruniai hati yang begitu mulia. Pengorbanan dan kasih sayangnya yang sama besar dari ia muda sampai menua. Pengorbanan seperti itulah yang membuat saya percaya bahwa ibu adalah sosok malaikat yang nyata.

Ibuku adalah seorang perawat, ia setia menemani dan merawat ketika aku sakit. Tangan seorang ibu terbuat dari kelembutan. Usapan tangannya yang halus mampu membuatku merasa tenang dan nyaman.  Ibuku adalah sosok koki yang andal, masakannya selalu lezat meski ia tidak punya latar belakang sekolah memasak.

Teringat saat masih kecil, penulis tidur sambil memeluk Ibu. Kadang tangan ibu kekuningan karena kunyit dan bau bawang merah. Dari bajunya tercium bau sabun dan agak lembab karena baru selesai mencuci. Ibu memang tak selalu wangi, tapi dia selalu cantik dan sempurna.

Saat aku pulang ke rumah, meskipun ibuku sedang lelah ataupun sakit, ibu akan terlihat baik-baik saja. Semua rela ia lakukan demi kebaikan anaknya meski anaknya tidak pernah menghitung berapa kerutan di wajahnya. 

Bibir ibu yang kian pudar warna merahnya, masih saja menyunggingkan senyuman manis untuk anaknya.

Terima kasih Ibu, atas jasamu yang tulus, aku tumbuh menjadi orang yang ibu harapkan.

Aku akan selalu ada untukmu Ibu, sampai nanti aku tua sekalipun

Ibuku, Malaikatku

Salam hangat penulis,

Muhammad Rizqillah

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun