Mohon tunggu...
kiki amaliapra
kiki amaliapra Mohon Tunggu... -

mahasiswi jurnalistik UPN VETERAN YOGYAKARTA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Komunikasi, Jadi Ajang Mahasiswi Cantik Beradu Gengsi

3 Mei 2013   18:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:10 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang terlintas di dalam benak anda ketika mendengar mahasiswi komunikasi ? Cantik,  itu jelas persepsi pertama yang sering menjadi jawaban.  Entah darimana semuanya bermula tetapi tak jarang yang berpendapat bahwa jurusan komunikasi menjadi “maskot” kumpulan mahasiswi cantik dan “high class”. Dari faktanya dari sekian jurusan yang ada dalam sebuah Universitas, memang jurusan satu inilah yang paling sering dipenuhi oleh perempuan-perempuan cantik, namun tidak secara menyeluruh dapat digeneralisasikan. Dari beberapa persepsi yang saya dapatkan dari beberapa orang diluar jurusan komunikasi, hampir semuanya mengidentikkan bahwa jurusan ini adalah jurusan mahasiswi yang hanya bermodal “cantik”. Ini membuat saya semakin tertarik untuk mengeruk lebih dalam apa sebenarnya yang menjadi dasar pemikiran mereka hingga terciptanya persepsi tersebut.

Berada dalam lingkungan komunikasi, awalnya saya merasa kurang nyaman. Minder itu kata pertama yang terlintas dalam hati saya melihat kehidupan mahasiswi komunikasi. Benar-benar merupakan arena perempuan-perempuan cantik dan mahal. Tas bermerek, baju dengan model terbaru, dandanan “ala” artis, sepatu dengan hak hampir 10 cm, mobil mewah, itu membuat saya heran dan bertanya-tanya, apakah memang itu semua keharusan untuk menjadi mahasiswi komunikasi? Masih dengan rasa bingung dan ingin tahu, saya menjalani kehidupan saya dengan menjadi mahasiswi jurusan komunikasi ini. Tiba pada suatu hari, di Universitas saya memang terdapat mata kuliah yang diharuskan untuk diambil oleh semua jurusan yaitu mata kuliah Olahraga. Mata kuliah ini dimulai sejak pukul 07.30 dan jelas dipenuhi oleh mahasiswi-mahasiswi hampir dari seluruh jurusan. Namun ada satu hal yang unik dari cerita ini. Pada saat datang, saya bingung mencari dimana barisan jurusan saya. Tetapi hal itu  tidak berlangsung lama, saya menemukan sebuah barisan dimana barisan itu benar-benar sangat mencolok dibandingkan barisan lain. Barisan dari jurusan lainnya yang hanya diisi dengan perempuan dengan dandanan yang ala kadarnya , rambut yang berantakan, muka yang masih sayu karena mengatuk, bahkan ada pula yang terlihat belum mandi karena aturan jam pagi tersebut. Namun beda dengan barisan satu ini. Barisan ini diisi dengan perempuan-perempuan yang sudah berdandan “ala” artis, blush-on merona dipipi, bulu mata yang dihias dengan maskara, hingga parfum yang menyerbak keseluruh ruangan, anda jelas bisa menebak jurusan apa dalam barisan ini ? iya jurusan komunikasi. Hebat memang dengan mata kuliah sepagi itupun mereka,  mahasiswi dari jurusan komunikasi rela untuk bangun pagi untuk tampil terlihat eksis. Dari kisah tersebut, setidaknya saya sudah dapat mengambil sedikit kesimpulan mengapa komunikasi diidentikkan dengan persepsi seperti itu.

Dalam jurusan komunikasi, terdapat empat kosentrasi yaitu Jurnalistik, Broadcasting, Advertising, dan Public Relations. Pada dasarnya lahirnya perempuan-perempuan untuk berpenampilan menarik dan cantik itu merupakan tuntutan dari salah satu kosentrasi yaitu kosentrasi Public Relation. Mahasiswa dari kosentrasi ini memang dituntut untuk selalu berpenampilan menarik karena itu merupakan bagian dari penilaian afektif mereka. High Hells, pakaian yang selalu menarik, cara berdadan dan sebagainya diatur sebagaimana menjadi tuntutan dari kosentrasi tersebut. Namun justru disinilah akhirnya munculnya sebuah ketimpangan. Banyak mahasiswi yang justru salah memanfaatkan tuntutan dari aturan kosentrasi tersebut. Cantik disini sebenarnya adalah dinilai dari pembawaan diri seseorang serta penampilan dari orang tersebut. Seorang mahasiswi yang akan menjadi praktisi Public Relations diajarkan untuk memakai pakaian yang rapi, dengan dandanan yang cantik, dan belajar untuk berjalan dengan menggunakan high heels. Namun justru disini permasalahannya, mahasiswi dari praktisi Public Relations ini membuat hal itu menjadi sebuah keharusan yang kemudian dicampuradukkan dengan keinginan dari ketidakrasionalan diri mereka. Dalam fenomena saat ini yang muncul justrul seorang Public Relations harus mengimplementasikan diri mereka dengan hal-hal yang berbau materi. Dandanan yang serba menor, baju mahal yang semakin terbuka dan minim, barang-barang yang harus bermerek kini justru menjadi simbol dari layaknya seorang praktisi Public Relations. Jelas sangat menyimpang dari aturan sebenarnya, bahkan bisa menjadi sebuah kesalahan yang cukup fatal. Hal ini yang pada akhirnya membuat jurusan komunikasi mendapatkan “julukan” sebagai jurusannya perempuan “high class”. Sebenarnya jurusan komunikasi sendiri tidak hanya merujuk pada kosentrasi Public Relations, namun memang tidak dapat dipungkiri bahwa peminat dari kosentrasi ini semakin lama semakin banyak sehingga secara tak langsung kosentrasi ini menjadi terlihat menonjol dibandingkan kosentrasi yang lain sehingga tak ayal memunculkan generasi perempuan cantik yang semakin luas.

Dilain hal, ketiga kosentrasi komunikasi lainnya lebih merujuk pada kemampuan mahasiswi untuk terjun langsung ke lapangan sehingga sulit bagi ketiga kosentrasi tersebut jika terkait dengan tutuntan seperti pada kosentrasi Public Relations. Hal inilah yang menyebabkan kebanyakan mahasiswi dari ketiga kosentrasi lainnya yaitu Jurnalistik, Broadcasting, dan Advertising lebih cenderung untuk berpenampilan kasual dan apa adanya, meskipun adapula yang juga berdandan selakyaknya mahasiswi dari praktisi Public Relations. Namun juga tidak berarti bahwa selain kosentrasi dari Public Relation, mahasiswinya tidak cantik dan fashionable, justru disinilah terlihat perbedaannya. Misalnya saya dan teman-teman saya dari kosentrasi Jurnalistik, kami tetep cantik dan menarik tanpa harus menjadi seorang praktisi Public Relations. Karena pada dasarnya cantik itu bukan dilihat dari “ada apanya” diri seseorang tapi dari “apa adanya”.

Tidak sampai disitu, dari tuntutan untuk selalu tampil menarik itu kini berimbas dan  menyebabkan implikasi yang cukup buruk yang terjadi dalam ruang lingkup perkuliahan. Kampus kini tidak lagi menjadi tempat untuk saling bersaing secara akademis, namun justru dijadikan sebagai arena untuk saling beradu gengsi. Mahasiswi kini saling beradu kecantikan, kekayaan, hanya untuk mendapatkan sebuah prestise untuk kata “POPULER”. Kapasitas dan peran kampus kini seakan-akan berubah dengan hadirnya perempuan-perempuan “mahal”  yang sebenarnya saling beradu gengsi namun tetap berkedok kuliah. Pada dasarnya kehidupan kampus memang akan selalu terkait dengan gaya hidup mahasiswanya. Fenomena yang terjadi saat ini mahasiswi cenderung untuk merepresentasikan apa yang dimilikinya dengan sebuah simbol materi. Tampilan fashion yang mahal dengan pakaian terbaru, tas bermerek, high heels, mobil, barang elektronik yang canggih, dianggap sebagai sebuah kebutuhan primer bagi mahasiswi. Itu semua hanya sebagai ajang untuk saling adu eksistensi didalam lingkungan dimana mereka berinteraksi, khususnya dikampus, agar diakui sebagai mahasiswi yang selalu eksis dan bukan seorang yang “cupu”. Keberadaan mereka justru menimbulkan kesenjangan sosial diantara para mahasiswi lainnya karena pada dasarnya tidak semua mahasiswi dapat bergaya hidup ala perempuan “mahal” , dan disinilah muncul permasalahan sosial yang baru.  Pada akhirnya setiap mahasiswi yang ada dalam jurusan komunikasi sendiri akan mulai terbawa arus untuk ikut dalam kehidupan yang serba konsumtif tersebut. Mahasiswi akan mulai terpengaruh dengan gaya hidup yang seakan-akan menjadi simbol “mahasiswi komunikasi”. Gaya hidup yang menjadi ajang saling beradu gengsi tersebut sebenarnya merujuk pada sebuah pola untuk menjadi seorang konsumerisme. Mahasiswi kini hanya berfikir untuk menjaga eksistensi mereka dalam dunia kampus tanpa berfikir rasional. Dari hal itulah maka tak salah apabila mahasiswi komunikasi adalah mahasiswi dengan gaya hidup yang menonjolkan pemborosan, betapa tidak, seringkali kita melihat mahasiswi saling adu gaya dengan memamerkan tas merek terbaru, gaya pakaian  terbaru, dan hal-hal yang lain yang sebenarnya tidak terkait sama sekali dengan hal yang berbau akademis.

Kampus, khususnya dalam jurusan komunikasi seharusnya menjadi wadah bagi mahasiswa untuk saling bersaing dalam hal akademis untuk menunjukkan aktualisasi diri mereka bukan sebagai arena untuk beradu gengsi. Meskipun memang sudah menjadi fenomena dan telah menjadi “predikat” yang terlanjur melekat namun setidaknya beberapa masalah dapat diminimalisir. Dengan aturan serta penerapan yang baik dari pihak kampus, tak ayal semuanya akan dapat kembali pada aturan semula. Dengan demikian, kita sebagai bagian dari kehidupan kampus, khususnya mahasiswi, jangan seringkali terbawa arus untuk mengikuti gaya hidup yang kurang sesuai untuk diterapkan dalam ruang lingkup perkuliahan. Kita harus menyadari bahwa kampus bukan tempat untuk saling beradu eksistensi tapi seharusnya kita sebagai mahasiswi harus dapat saling bersama menciptakan citra baik dari jurusan komunikasi. Satu hal yang perlu kita pamerkan adalah pembuktian bahwa mahasiswi komunikasi adalah generasi perempuan cantik yang bermodal kemampuan intelektual yang patut dibanggakan.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun