Jumat pagi tadi, sebelum berangkat ke kantor, saya sempat mampir ke acara kecil yang hanya 30 menit di kantor kecamatan, nggak jauh dari rumah. Saya dan beberapa tetangga hadir sebagai perwakilan warga, dalam rangkaian acara 17-an, untuk menerima piagam keikutsertaan seminar nasionalisme yang digelar awal bulan. Biasa saja acaranya, tapi ada satu hal yang cukup mencuri perhatian saya.
Beberapa pejabat kecamatan, termasuk dari wilayah sebelah, tampil dengan gaya yang cukup mencolok. Salah satu dari mereka pakai sepatu lari Adidas Adizero, yang saya tahu harganya nggak main-main. Yang lain pakai Nike Air Zoom, juga masuk kategori premium. Atasannya? Polo shirt Ralph Lauren dengan logo kudanya yang khas, dan satu lagi pakai Uniqlo garis-garis, dimasukkan rapi ke celana katun. Saya sih nggak pernah masalah sama gaya berpakaian orang, tapi kali ini cukup bikin saya ingin berkomentar.
Langsung ingatan saya melayang ke sekitar tahun 2019--2020, saat tren pejabat tampil kasual lagi ramai-ramainya. Sepatu sneakers, kaos distro lokal, motor custom, semua jadi bagian dari gaya politik yang katanya "dekat dengan rakyat." Gaya ini muncul sebagai strategi visual: tampil santai, anti-elit, dan seolah-olah bisa diajak nongkrong. Di tengah dominasi media sosial dan pemilih muda, gaya anak motor dan kaos lokal jadi simbol bahwa pejabat juga paham budaya urban.
Awalnya saya anggap ini menarik, ada semacam usaha untuk membongkar citra birokrasi yang kaku. Tapi lama-lama, tren ini terasa makin latah. Banyak pejabat ikut-ikutan tampil kasual, tapi tanpa benar-benar paham makna budaya di baliknya. Ketika satu tokoh sukses membangun citra lewat gaya, yang lain pun meniru, meski tanpa komitmen nyata terhadap industri kreatif lokal atau komunitas yang melahirkan gaya tersebut. Akhirnya, penampilan jadi gimik kosong. Walau mungkin ada sedikit dampak positif, produk lokal jadi lebih dikenal, tapi itu pun seringkali cuma efek samping, bukan tujuan utama.
Kalau kita tarik lebih jauh, budaya populer sebenarnya bukan cuma soal gaya atau hiburan. Para ahli seperti John Fiske dan Stuart Hall menyebutnya sebagai ruang negosiasi makna, kekuasaan, dan identitas. Di era digital, politisi nggak cuma bicara lewat pidato, tapi juga lewat pakaian, musik, meme, dan konten visual yang mudah viral. Budaya populer jadi bahasa yang dimengerti massa, terutama anak muda, dan karena itu jadi alat komunikasi politik yang efektif.
Tapi efektivitas itu bisa jadi semu kalau nggak dibarengi komitmen. Ketika simbol-simbol budaya populer dipakai tanpa pemahaman dan keberpihakan, maka yang terjadi adalah estetika kekuasaan, bukan gerakan sosial. Publik sekarang makin kritis. Mereka bisa bedakan mana gaya yang otentik dan mana yang cuma kemasan. Jadi, kalau politisi mau pakai sneakers dan kaos lokal, silakan saja. Tapi semoga itu bukan sekadar gaya, melainkan bagian dari komitmen terhadap ekonomi kreatif dan komunitas yang membentuknya.
Di sisi lain, saya juga nggak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka yang ikut tren. Dalam politik, tampil menarik dan relevan memang jadi bagian dari strategi bertahan. Apalagi di era di mana perhatian publik bisa bergeser hanya dalam hitungan swipe. Tapi yang perlu diwaspadai adalah ketika gaya jadi satu-satunya modal, sementara substansi dan keberpihakan terhadap isu-isu lokal justru diabaikan. Kalau memang mau tampil dengan kaos lokal, kenapa nggak sekalian dorong kebijakan yang mendukung UMKM fashion, atau fasilitasi ruang kreatif bagi anak muda di daerah lewat kebijakan yang mereka bisa buat? Hayoh..
Saya percaya bahwa gaya bisa jadi gerakan, asal ada niat dan keberlanjutan. Bukan cuma soal tampil beda di depan kamera media, tapi soal bagaimana simbol-simbol itu bisa membuka ruang dialog, mendekatkan kebijakan dengan realitas warga, dan memberi panggung bagi komunitas yang selama ini dipinggirkan. Kalau pejabat politik bisa menjadikan kaos distro dan sneakers bukan sekadar kostum, tapi bagian dari komitmen terhadap ekonomi kreatif lokal, mungkin kita bisa mulai bicara tentang politik yang benar-benar berpihak, bukan cuma tampilannya, tapi juga isinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI