Mohon tunggu...
Darman Eka Saputra
Darman Eka Saputra Mohon Tunggu... Guru SDN Sukaresmi Cikalongkulon

Guru SD, petani, belajar menulis, tinggal di lereng Sanggabuana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Organisasi Profesi Hanya Jadi Alat Politik dan Ambisi Pribadi

18 Oktober 2025   06:53 Diperbarui: 18 Oktober 2025   06:52 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber : DES dengan ChatGPT)

Ada masa ketika organisasi profesi menjadi tempat yang hangat tempat kita saling belajar, berbagi pengalaman, dan tumbuh bersama dalam satu semangat pengabdian. Di sana, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Semua sejajar sebagai insan yang mencintai profesinya.

Namun, belakangan, suasana itu perlahan memudar. Ada aroma lain yang masuk: aroma kepentingan, perebutan pengaruh, dan ambisi pribadi. Organisasi profesi yang seharusnya menjadi rumah ide dan karya, kini mulai tampak seperti panggung politik mini, di mana relasi kuasa lebih menonjol daripada nilai kebersamaan.

Sering kita menyaksikan rapat organisasi berubah menjadi arena perebutan posisi. Mereka yang dulu bersahabat, tiba-tiba berjarak karena beda kubu. Kata "profesionalisme" hanya tinggal jargon di spanduk, sementara yang berkuasa sibuk membangun lingkaran loyalitas. Dalam situasi seperti ini, organisasi profesi kehilangan ruhnya kehilangan jantung idealisme yang seharusnya menghidupi setiap gerak langkahnya.

Padahal, sejatinya organisasi profesi bukanlah jalan pintas menuju kekuasaan, melainkan jalan panjang menuju kematangan diri dan kolektivitas. Ia ada untuk memperkuat kompetensi, menjaga etika, dan memperjuangkan kesejahteraan bersama. Jika organisasi hanya dijadikan kendaraan ambisi, maka tujuannya akan melenceng jauh dari cita-cita awal.

Lebih menyedihkan lagi, banyak anggota yang merasa lelah, bahkan apatis. Mereka memilih diam, menyingkir pelan, karena tak ingin terseret arus yang kotor. Padahal, diam adalah bentuk kekalahan yang paling halus. Di titik inilah, kita seharusnya bertanya kepada diri sendiri: untuk apa kita bergabung dalam organisasi profesi? Apakah untuk jabatan, atau untuk pengabdian?

Mungkin sudah waktunya kita mengembalikan organisasi profesi ke makna sejatinya tempat untuk menumbuhkan martabat dan solidaritas profesi. Tempat di mana setiap suara dihargai, setiap ide diperjuangkan, dan setiap langkah didorong oleh niat tulus untuk memajukan sesama.

Kita tidak butuh pemimpin yang pandai berpolitik, tapi pemimpin yang mampu mendengar. Kita tidak butuh pengurus yang haus kuasa, tapi mereka yang rela berkorban waktu dan tenaga tanpa pamrih. Karena dalam organisasi profesi, yang sejati bukanlah mereka yang naik ke panggung, melainkan mereka yang tetap bekerja dalam diam untuk menjaga nyala idealisme.

Organisasi profesi sejatinya adalah cermin. Jika yang tampak di dalamnya mulai buram, mungkin bukan cerminnya yang rusak tapi hati kita yang perlu dibersihkan.

Penutup: Menyalakan Lilin di Tengah Kegelapan

Setiap zaman punya tantangannya sendiri. Dan mungkin, zaman ini adalah masa ujian bagi nurani kita --- apakah kita akan ikut larut dalam permainan kekuasaan, atau tetap berdiri menjaga nilai yang kita yakini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun