Di ruang-ruang kelas pelosok desa maupun kota besar, di balik seragam sederhana dan tatapan penuh harap, berdirilah sosok yang kerap disebut "pahlawan tanpa tanda jasa". Mereka adalah guru. Namun, di tengah tantangan zaman yang kian kompleks, muncul pertanyaan reflektif: apakah cukup hanya menjadi guru yang hebat? Ataukah harus juga bermartabat? Mari kita renungkan bersama.
Antara Hebat dan Bermartabat
Guru hebat kerap diasosiasikan dengan kompetensi profesional yang tinggi: menguasai materi, piawai menggunakan teknologi, memiliki strategi pembelajaran inovatif, serta menghasilkan peserta didik berprestasi. Namun guru bermartabat adalah lebih dari itu: ia menjunjung etika, merawat integritas, dan memuliakan nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap laku mendidik.
Guru hebat bisa menginspirasi, tetapi guru bermartabat bisa menanamkan makna hidup. Hebat adalah soal kemampuan, martabat adalah soal kepribadian. Keduanya tak bisa dipisahkan.
Hebat Tidak Selalu Bermartabat
Mari kita jujur. Ada guru yang sangat ahli mengajar, tetapi mudah mencaci. Ada yang mampu menyiapkan modul digital interaktif, tetapi mempermalukan siswa di depan kelas. Ada pula yang fasih menjelaskan Pancasila, tetapi berlaku otoriter dan menutup ruang dialog. Di sinilah letak ironi: hebat secara teknis, namun kehilangan martabat sebagai pendidik.
Guru sejati tidak hanya mengajar dengan otak, tapi juga menyentuh dengan hati. Martabat tidak dibangun dari kepintaran, tetapi dari sikap yang konsisten, empati yang tulus, dan komitmen untuk mendidik tanpa menyakiti.
Bermartabat Itu Menjadi Teladan
Guru bermartabat tidak pernah memaksa anak untuk patuh, karena perilakunya sudah lebih dulu menjadi panutan. Ia tidak mengemis penghormatan, karena penghormatan datang dari keteguhan sikapnya. Ia menanam nilai dengan contoh, bukan dengan perintah. Di ruang kelasnya, disiplin tidak lahir dari ketakutan, tetapi dari kesadaran.
Martabat Itu Teguh dalam Godaan
Martabat seorang guru diuji bukan saat semua berjalan baik, tapi saat sistem sedang goyah. Ketika nilai bisa dipermainkan, ketika ada tekanan untuk menyuap, ketika integritas bisa dipertaruhkan demi kenyamanan pribadi di situlah martabat guru menunjukkan kekuatannya. Guru bermartabat memilih jalan sunyi yang benar, meski harus sendirian.