Mohon tunggu...
Kholis Ardiansyah
Kholis Ardiansyah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Study at Psychology | UIN Maliki Malang | Never Stop to #Process |

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Nemu Problem?!

26 Mei 2015   12:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:35 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering


Every problem is a gift - without problems we would not grow. Anthony Robbins.

Sepatah quote Robbins tersebut, memberi pemahaman bahwa masalah adalah sesuatu yang mampu menumbuhkan diri kita. Tokoh - tokoh dunai sekalipun, mereka tidak akan berperan tanpa ada suatu masalah. Nelson Mandela, tokoh revolusioner masa apartheid menulis: "It always seems possible until it's done". Tanpa masalah kita bukan berarti apa - apa.Tak terkecuali dalam bidang penelitian. Peneliti mengungkapkan penelitiannya saat mereka benar - benar merasakan suatu masalah; permasalahan.

Kualitatif yang banyak berkutat pada paradigma interpretative membuang makna positivis dalam melihat suatu masalah. Paradigma intrretative melihat sejauh mana kita melihat rwlitas subyek - terlepas dari asusmi kita. Subyek membentuk realitas tersebut.

Alih - alih peneliti melepaskan asumsi yang ada di benaknya, kebnearan diungkap mellaui fakta apa adanya. Baik benar atau salah. Dalam pengambilan kebijakan, tentu paradigma ini mampu menagkap apa yang sebenarnya terjadi. Selaij itu, mampu melihat apakh kebijakan ini bisa dinikmati oleh orang - orang marginal. Seperti komunitas vespa, anak punk, anak jalanan, dan sebagainya. Positivis hanya meihat realitas yang kaku, tidak mampu membentuk celah untuk memaknai kebenaran. Satu - satunya kebenaran ketika ilmu sosial sama dengan ilmu alam.

Paling mudah melalui pen-skoran perilaku Setuju, Netral, dan sebagainya. Terkadang ketika subyek membaca skala yang diberikan peneliti mereka kebingungan karena tidak pernah mengalami apa yang ditulis di skala. LOhh!!!

COntoh jika kita ingin mengetahui komunitas vespa, harus diketahui dahulu mengapa mereka membentuk komunitas ini. Yang paling penting vespa-nya. Sejarah mencatat komunitas vespa merupakan refleksi mereka terhadap gaya hidup orang pinggiran. Kalau orang – orang kaya menggunakan movil – mobil wah.Porsche, Lamborghini, Mercedes, atau Harley-Davidson si Moge. Orang – orang komunitas vespa memakai vespa-nya untuk sekedar mengetahui keberadaan mereka. Kalau ditanya masalah kebersamaan mereka lebih baik karena menurut mereka kebersamaan bukan semata – mata materi. Selain itu mereka juga jago masalah oprek mesin. Bongkar pasang vespa bekas sekalipun jadilah vespa yang unik dan bergaya. Siap melaju di jalanan. Bersanding dengan Mercedes buatan ras Arya, Jerman.

Di tulisan saya sebelumnya sudah pernah dibahas alasan mengunakan metode kualitatif. Urgensinya kenapa kualitatif mementingkan proses kualitas daripada hasil. Kalau ditanya masalah analisa data menurut saya lebih ke pintar – pintarnya kita menginterpretasi fonem orang – orang atau subyek. Kalau fonem yang mereka hasilkan kita tahu maksudnya, lebih – lebih mengarah ke suatu variabel.. Why not??? Kalau di psikologi sendiri mahasiswa – mahasiswa nya sudah dapat mata kuliah observasi dan wawancara.Tinggal berangkat ke lapangan sambil ngopi (kopi merk asumsi) ya tinggal serawungan, kalo orang jawa bilang. Efektif kalo kamu pingin tahu caranya membangun rapport. Kalo udah membangun rapport ya silahkan saja eksekusi plan penelitian kamu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun