Dalam dunia rekayasa perangkat lunak (RPL), pendekatan Agile telah menjadi “agama baru” bagi banyak tim pengembang. Janji-janji seperti fleksibilitas, adaptasi cepat, dan komunikasi langsung menjadikannya pilihan utama. Namun, artikel oleh Hoy dan Xu (2023) menunjukkan kenyataan yang jauh dari ideal. Melalui tinjauan sistematis terhadap 78 publikasi, mereka membuktikan bahwa banyak tantangan dalam rekayasa kebutuhan perangkat lunak justru tidak berasal dari metode Agile itu sendiri.
Masalah paling umum seperti dokumentasi minim, kesulitan memperkirakan usaha, atau kebutuhan pelanggan yang terus berubah, ternyata lebih sering berasal dari konteks organisasi dan manajemen proyek daripada kelemahan metodologi itu sendiri. Artinya, Agile hanyalah alat, dan seperti alat lainnya, keberhasilannya tergantung pada siapa dan bagaimana ia digunakan.
Dalam pandangan saya sebagai pakar RPL, pendekatan orkestrasi—seperti yang ditawarkan artikel ini—harus menjadi paradigma baru. Kita harus memandang keberhasilan Agile bukan sekadar dari kerangka kerja Scrum atau Kanban, tapi dari sinergi antara budaya organisasi, keterampilan manajemen proyek, dan kematangan komunikasi tim.
Framework yang mereka usulkan sangat relevan di era digital saat ini, di mana kebutuhan cepat berubah dan organisasi makin kompleks. Dengan menyelaraskan solusi dalam tiga dimensi—metodologi, manajemen proyek, dan bisnis—pengembangan perangkat lunak menjadi lebih manusiawi, realistis, dan tangguh terhadap dinamika nyata.
Agile bukan solusi segala-galanya. Justru, jika diterapkan tanpa mempertimbangkan konteks organisasi, ia bisa menjadi jebakan metodologi. Saya setuju dengan penulis bahwa sudah saatnya kita tidak lagi sibuk mencari metode baru, tapi mulai memperkuat fondasi kita dalam pemahaman kebutuhan, komunikasi lintas tim, dan manajemen perubahan.
***
Metode Agile telah menjadi standar dalam pengembangan perangkat lunak modern, namun artikel ini menegaskan bahwa masalah utama dalam rekayasa kebutuhan (requirements engineering) tidak semata-mata disebabkan oleh kelemahan Agile itu sendiri. Tantangan seperti dokumentasi yang buruk, estimasi usaha yang tidak akurat, hingga keterlibatan pelanggan yang rendah lebih banyak disebabkan oleh masalah organisasi dan manajemen proyek, bukan metode.
Referensi
Hoy, Z., & Xu, M. (2023). Agile software requirements engineering challenges–solutions—A conceptual framework from systematic literature review. Information, 14(6), 322. https://doi.org/10.3390/info14060322
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI