Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

"Honorer": Dari Makna Kehormatan Menjadi Derita yang Dilembagakan

6 Oktober 2025   02:24 Diperbarui: 6 Oktober 2025   02:24 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beban psikologis para pahlawan yang berjasa ini pun kian berat. Puluhan tahun mengabdi, mendidik ratusan murid yang kelak menjadi dokter, insinyur, atau pejabat, banyak guru honorer tetap hidup dalam ketidakpastian. Mereka merasa terabaikan, tak dihargai, dan seolah pengabdian mereka tak berarti di mata negara. Dedikasi yang semestinya menjadi sumber kekuatan perlahan terkikis oleh getir ketidakadilan.

Budaya nrimo dan ikhlas kerap dijadikan tameng birokrasi. Loyalitas honorer dipelintir menjadi legitimasi eksploitasi: seolah pengabdian tanpa imbalan layak adalah kewajaran. Mereka tetap bekerja penuh dedikasi, mendidik siswa, melayani masyarakat, bahkan mengorbankan waktu pribadi. Sementara sistem menutup mata atas penderitaan mereka.

Pemerintah memang telah menetapkan tahun 2025 sebagai batas akhir penyelesaian status honorer dengan skema PPPK sebagai solusi sementara. Namun, kebijakan ini masih jauh dari final. Akar masalah, seperti ketiadaan regulasi nasional yang tegas, lemahnya validasi data, serta budaya diskriminatif, belum disentuh serius. Alhasil, masa depan jutaan honorer tetap digantungkan pada belas kasihan pemerintah daerah dan kemampuan fiskal yang timpang antarwilayah.

Fenomena honorer pada akhirnya bukan sekadar persoalan administratif, tetapi cermin kegagalan negara dalam menghargai pengabdian warganya. Mereka bukan angka dalam tabel birokrasi atau beban fiskal dalam laporan keuangan, melainkan manusia dengan keluarga, cita-cita, dan harga diri. Mengabaikan mereka sama saja dengan mengabaikan wajah kemanusiaan dalam birokrasi.

Pertanyaannya: bagaimana mungkin bangsa ini berharap melahirkan generasi emas jika para pendidiknya diperlakukan sebagai warga kelas dua? Bagaimana mungkin birokrasi menjanjikan masa depan gemilang sementara para pelayan setianya justru dikhianati oleh sistem?

Selama negara belum menunaikan janji keadilan dan mengembalikan makna sejati 'honor',_ istilah "honorer" akan tetap menjadi luka semantik. Dari janji kehormatan, menjelma penghinaan yang dilembagakan. Sampai kapan?**

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun