Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Prosesi Pemakaman di Kampung Kami

5 Oktober 2025   11:20 Diperbarui: 5 Oktober 2025   11:20 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari itu, kampung kami seperti terbelah oleh kabar duka. Dua orang wafat hampir bersamaan. Yang satu Pak Haryo, seorang pejabat tinggi dan kaya raya. Yang satu lagi Pak Jaya, buruh pabrik yang hidup pas-pasan.

Saya masih ingat betul, keduanya sakit cukup lama. Bedanya, Pak Haryo tak pernah kesulitan biaya. Ada jaminan asuransi, ada anak-anaknya yang mapan, dan tentu saja tabungannya yang melimpah. Rumahnya tetap berdiri megah, tak terganggu sakit yang menggerogoti tubuhnya.

Sedangkan Pak Jaya... ah, cerita hidupnya jauh berbeda. Sakit yang panjang itu telah meluluhlantakkan segalanya. Tabungan habis, perabot rumah terjual, bahkan rumah mungilnya pun akhirnya digadaikan. Saya sering melihat istrinya, Bu Wati, menangis diam-diam di dapur sambil menghitung receh untuk membeli obat.

Dan pagi itu, keduanya dipanggil Tuhan. Seakan malaikat maut datang ke kampung kami, mengetuk dua pintu sekaligus.

Rumah Pak Haryo sontak riuh. Jalan depan rumah macet dipenuhi mobil mewah. Karangan bunga berjejer seperti tembok, penuh tulisan besar dari pejabat, pengusaha, hingga kolega politik. Wartawan berdatangan, kamera televisi menyorot dari segala arah. Orang-orang sibuk berbisik, membicarakan warisan, jabatan, dan kariernya yang panjang.

Lalu saya melangkah ke rumah Pak Jaya. Kontrasnya seperti siang dan malam. Tak ada karangan bunga. Hanya tikar lusuh digelar di ruang tamu. Jenazah Pak Jaya terbujur di atas kain kafan putih. Beberapa tetangga duduk dengan wajah muram.

Ada yang datang membawa nasi bungkus, ada yang menyumbang gula, bahkan ada yang membawa sekilo beras. Anak-anak Pak Jaya duduk di sudut, memeluk lutut, tak tahu harus berkata apa.

Saya merasa nyesek melihatnya. Tapi anehnya, justru di rumah sederhana itulah empati terasa hidup. Ada tetangga yang menghibur Bu Wati, ada yang mengelus kepala anaknya, ada yang menyiapkan makanan di dapur. Semua datang dengan hati, tanpa papan besar karangan bunga, tanpa kamera.

Siang itu, dua liang lahat digali di permakaman kampung kami. Satu untuk Pak Haryo, satu untuk Pak Jaya. Prosesi pemakaman Pak Haryo diiringi mobil hitam berderet, protokoler lengkap, dan pidato panjang tentang jasa-jasanya. Sedangkan prosesi pemakaman Pak Jaya diiringi puluhan orang kampung yang berjalan kaki, sandal jepit berdebu, namun doa-doanya mengalir tulus tanpa henti.

Dan di tanah perkuburan kampung kami, keduanya sama saja. Tubuh terbaring sendiri, ditutupi tanah yang basah. Tak ada harta, tak ada jabatan yang ikut. Yang tersisa hanyalah doa dan amal yang pernah ditanam. Saat itu saya sadar, kematian memang adil. Tapi cara kita hidup dan cara kita meninggalkan jejak, itulah yang membuat perbedaan.

Waktu pun berjalan. Beberapa minggu kemudian, saya melewati rumah besar peninggalan Pak Haryo. Rumah itu tampak sepi, hanya sesekali ada penjaga yang membersihkan halaman. Karangan bunga sudah lama dibuang, papan kayu jadi sampah. Anak-anaknya jarang pulang, sibuk dengan urusan masing-masing. Rumah megah itu sunyi, seakan kehilangan jiwa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun