Larangan atribut keagamaan, seperti jilbab atau salib, dalam seragam sekolah memicu debat sengit antara netralitas institusi dan kebebasan beragama. Di dunia kerja, pegawai yang mengenakan busana adat atau keagamaan kerap dianggap tidak profesional karena tak sesuai dengan seragam korporat yang kaku. Padahal, seragam formal ini, meski bertujuan efisiensi, justru dapat menghambat kreativitas dan kenyamanan, membuat karyawan merasa seperti mesin.
Di ruang publik, ketegangan semakin kentara: perempuan berbusana syar’i distigma sebagai “konservatif,” sementara yang berpakaian bebas dianggap “liberal” atau “tak sopan.” Ketegangan ini mengungkap dinamika kekuasaan: siapa yang berhak menentukan norma? Institusi, masyarakat, atau individu?
Lantas, bagaimana menyikapi ketegangan ini dengan bijak? Sebagai bangsa majemuk, Indonesia membutuhkan pendekatan inklusif. Seragam harus dipahami ulang sebagai simbol kesatuan yang fleksibel, bukan alat penyeragaman paksa. Institusi bisa membuka ruang untuk modifikasi kecil, seperti aksesori keagamaan atau unsur budaya.
Keberagaman busana harus dihormati sebagai hak individu dan ekspresi budaya yang sah. Negara dan institusi tak boleh memaksakan standar tunggal yang menekan pluralitas; kebijakan seperti dress code harus lebih akomodatif. Yang terpenting, dialog antar nilai harus digalakkan.
Alih-alih melarang atau menghakimi, masyarakat perlu belajar memahami tanda-tanda busana dengan empati, menyadari bahwa setiap pakaian adalah cerita pribadi yang berharga. Dalam semiotika, busana adalah teks yang terbuka untuk ditafsirkan; tugas kita adalah menjadi pembaca yang kritis dan terbuka, bukan hakim yang kaku.
Pada akhirnya, busana seragam dan beragam adalah dua kutub tanda yang mencerminkan cara kita membentuk identitas di tengah dinamika sosial. Di era globalisasi dan digitalisasi, kemampuan kita menghargai makna di balik busana akan menentukan arah kebudayaan kita.
Apakah kita menuju homogenitas yang menjemukan, di mana semua seragam namun hati terpecah? Atau pluralitas atau kemajemukan yang sehat, di mana perbedaan menjadi kekuatan? Semoga pilihan kita didasarkan atas pertimbangan yang mencerdaskan.**
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI