Menjadi sebuah perpanjangan nafas dari series yang telah tayang delapan tahun yang lalu, tak membuat film Sore: Istri dari Masa Depan terkungkung dalam cerita series lamanya. Justru filmnya menjadi babak baru dengan cerita yang tak kalah menarik dengan seriesnya.
Sebagi penonton seriesnya tentu saja kita tetap disuguhkan alur cerita --- bahkan dialog yang tak jauh berbeda dengan series pada paruh pertama.Â
Tapi siapa sangka, pada paruh selanjutnya merupakan kejutan-kejutan yang disiapkan Yandi Laurens dan menciptakan ruang-ruang baru tentang makna arti cinta.Â
Eksplorasi jalan cerita yang lebih luas, penggambaran karakter yang lebih mendalam, pun juga dengan visual yang sangat apik, menunjukkan film Sore merupakan sebuah penyempurnaan paripurna.
Kita diajak sekaligus dipaksa untuk memasuki jalan panjang lelah sekaligus amarah dalam durasi panjang dalam benak Sore. Pada saat yang sama pula, kita diajak sekaligus dipaksa untuk merasakan rasa cinta kepada seseorang yang begitu mendalam, sehingga mengalahkan akal sehat, mengesampingkan diri sendiri, dan berkorban atas nama cinta.
Kepercayaan yang mendalam dibersamai dengan rasa kasih-asuh yang tulus, mengajarkan kita bahwa seseorang bisa mengubah dirinya atas dasar kemauan dirinya sendiri dan kerinduan akan seseorang.Â
Sore tak sekadar seorang puan yang rela melakoni perjalanan melintas ruang dan waktu hanya untuk bertemu dengan Jonathan, tapi merupakan manifestasi kekuatan cinta dan pengorbanan pada saat yang sama.
Sore melintas ruang dan waktu demi berkorban, memaafkan, dan merelakan. Ia dijejali rasa kesal, kecewa, dan cinta pada saat yang bersamaan. Yandi membangun karakter Sore sebagai seorang yang lemah lembut namun menyimpan luka. Seorang yang gigih memperjuangkan sekaligus merelakan.